“Orang-orang borjuislah yang telah memutarbalikkan agama menjadi
candu bagi rakyat dengan mengkotbahkan adanya Tuhan yang cuma bertahta di
surga, sementara itu mereka meraup semua isi bumi ini untuk dirinya sendiri.” –
Pastor Frei Betto
Bila ada di kalangan kaum Marxis yang masih memusuhi agama secara
membabi-buta, atau sebaliknya, pemeluk agama yang masih penuh prasangka
terhadap marxisme, buku ini kiranya dapat memberikan pencerahan-pencerahan.
Setidaknya bagi saya, peresensi, buku ini memberikan jawaban atas banyak
pertanyaan yang kerap muncul, baik dalam pikiran sendiri maupun dalam
diskusi-diskusi.
Contoh-contoh dan konteks penulisan buku ini memang lebih mengacu
pada pengalaman gerakan teologi pembebasan di negeri yang mayoritas penganut
agama Kristen atau Katolik. Namun dari sini dapat pula dibuat perbandingan
terhadap praktek teologi pembebasan pada agama lain, misalnya dengan mengacu
pada pemikiran Asghar Ali Engineer atau Haji Misbach dalam Islam.
DATA BUKU
Judul Buku : Teologi Pembebasan – Kritik Marxisme & Marxisme
Kritis
Penulis : Michael Löwy
Penerbit : INSISTpress, Yogyakarta
Tahun terbit : Cetakan ke-2, Maret 2013
“Teologi Pembebasan, Kritik Marxisme & Marxisme Kritis” adalah
buku karya Michael Löwy, seorang intelektual Marxis yang pernah memenangkan
penghargaan prestisius dari dunia akademis PrancisCentre National de la
Recherche Scientifique (CNRS). Löwy melakukan kajian yang relatif lengkap
mengenai topik ini dengan memaparkan aspek filosofis, konteks situasi sosial,
dan aktor atau komponen yang terlibat di dalamnya.
Para pemikir
Pada bagian bagian awal, Löwy membahas pandangan tokoh-tokoh atau
pemikir Marxis mengenai hal keagamaan. Di sini pemikiran tokoh-tokoh tersebut
diulas satu per satu; mulai dari Karl Marx sendiri, Frederich Engels, Lenin,
Kautsky, Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci, sampai dengan Lucien Goldman dan
Ernst Bloch. Masing-masing dari mereka punya metode pendekatan sendiri terhadap
keberadaan agama. Namun, pemikiran yang dinilai paling kontekstual dalam
hubungan dengan teologi pembebasan adalah metode pendekatan yang digunakan oleh
Goldman dan Bloch.
Baik Goldman maupun Bloch, menurut Lowy, menaruh minat dalam hal
menyelamatkan nilai kemanusiaan dan moral dari tradisi agama. Bloch tidak
bersepakat dengan pandangan sebagian kaum marxis yang memandang agama
semata-mata sebagai “selubung bagi kepentingan kelas”. Bagi Bloch, dalam
berbagai bentuk perlawanan dan protesnya, agama adalah “salah satu bentuk
penting kesadaran utopia”, atau juga “salah satu ungkapan yang amat kaya
tentang Asas Pengharapan”. Ini artinya agama telah memberikan pijakan sekaligus
dorongan bagi perubahan sosial ke arah yang lebih baik.
Sementara itu Goldman, masih menurut Lowy, coba
membandingkan—tanpa mencampuradukkan—antara iman agama dan kepercayaan Marxis:
bahwa keduanya memiliki persaman menolak tegas individualisme murni (yang
rasional maupun yang empiris), dan keduanya percaya pada nilai-nilai
trans-individual—yakni Tuhan dalam ajaran agama dan masyarakat manusia dalam
sosialisme.
Pada bab selanjutnya Lowy membuat defenisi tentang teologi pembebasan.
Menurut Löwy, teologi pembebasan dapat dipandang sebagai “suatu gerakan”,
“suatu doktrin”, dan “arus pada semua aras”. Sebagai gerakan, Löwy menyimpulkan
bahwa teologi pembebasan telah ada sebagai pantulan pemikiran sekaligus
cerminan dari keadaan nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelum ada penulisan
tentang teologi pembebasan itu sendiri. Sementara sebagai doktrin, buku ini
menjabarkan beberapa ajaran dasar yang dapat ditemukan dalam tulisan para
teolog pembebasan. Salah satu yang menarik dari doktrin tersebut adalah
perlawanan atas pemberhalaan (jadi bukan ateisme) sebagai musuh utama
agama—yakni menentang berhala-berhala baru yang disembah oleh Fir’aun-Fir’aun
baru, Ceasar-Ceasar baru, dan Herodes-Herodes baru: Uang, Kekayaan, Kekuasaan,
dan lain sejenisnya.
Keingintahuan pada asal-usul teologi pembebasan dapat terjawab
pada bab ketiga. Di sini Löwycoba menjawab pertanyaan sebab munculnya teologi
pembebasan yang mulai masif sebagai gerakan di tahun 1960-an. Terdapat dua
pendapat para pakar sebelumnya yang dicantumkan Löwy. Pertama, yang melihat
kemunculan gerakan ini sebagai “upaya gereja mempertahankan pengaruh” di
kalangan rakyat (umat) miskin. Kedua, yang berpendapat bahwa lembaga gereja
telah diambil-alih oleh rakyat miskin. Löwy mengkritik dua pendapat tersebut
dan mengajukan pendapat sendiri. Bahwa gerakan ini muncul terutama karena
adanya perubahan-perubahan di dalam maupun di luar gereja.
Konsep dan acuan berpikir
Bahwa gereja memiliki perhatian terhadap kaum miskin sama sekali
bukan hal yang baru. Ini merujuk pada sejarah pendirian gereja sendiri, yang
sudah berlangsung dua ribu tahun, yang pada awalnya lebih diterima oleh kaum
miskin atau orang-orang yang tertindas. Tidak sedikit diantara para teolog
pembebasan yang menginginkan agar gereja kembali ke khitah sebagai pembebas
kaum tertindas. Mereka memberi perhatian penting pada bagian Kitab Keluaran
“sebagai paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak”.
Dalam perjalanannya, gereja memang tetap memberi perhatian pada
kaum miskin. Tapi pendekatan yang digunakan semata-mata bersifat kedermawanan
atau cenderung paternalistik. Pendekatan ini yang ditentang dan diubah oleh
teologi pembebasan. Salah satu doktrinnya menyebutkan:
“Orang-orang miskin tak boleh lagi terus-terusan menjadi sasaran
kedermawanan, tetapi sebagai pelaku dari upaya pembebasan mereka sendiri.
Bantuan atau pertolongan yang bersifat kebapakan harus digantikan dengan aksi
kesetiakawanan bersama dalam perjuagan rakyat miskin untuk menentukan nasib
sendiri.”
Oleh karena itu, Löwy menyimpulkan bahwa bagi para teolog
pembebasan “Marxisme tampak sebagai suatu penjelasan yang sistematik, padat,
dan menyeluruh mengenai sebab-sebab kemiskinan dan merupakan satu-satunya
kesimpulan radikal yang memenuhi syarat untuk memberantas kemiskinan tersebut”.
Löwy tidak menampik adanya perbedaan-perbedaan antara marxisme dan
teologi pembebasan. Sedikit di antaranya yang paling mendasar adalah soal-soal
filsafat materialis, ideologi ateis, dan pemaknaan “agama sebagai candu rakyat”.Namun
dalam banyak hal perbedaan tersebut lebih kepada perbedaan tafsir terhadap
Marxisme. Bagi Gustavo Gutierrez, misalnya, Marxisme tidak semata menyediakan
alat analisa ilmiah, tetapi juga suatu kehendak perubahan sosial yang utopis.
Ketika masuk ke dalam praxis politik, Löwy menilai apa yang
dilakoni oleh para teolog pembebasan jauh lebih Marxis dibanding orang-orang
yang mengklaim diri ‘Marxis murni’. Bahkan Löwy mempertanyakan kemampuan kaum
‘Marxis text-book’ dan ‘materialis kasar’ yang jauh ketinggalan dalam praxis
dibandingkan para teolog pembebasan yang mampu membaca keadaan obyektifAmerika
Latin sehingga membawa kemajuan luar biasa dalam gerakan sosial dan politik di
Amerika Latin, termasuk dalam memenangkan revolusi Sandinista di Nicaragua.
Di sini disebutkan pula bahwa para filusuf teolog pembebasan
cenderung mengecam pandangan kaum Marxis yang dinilai “terlalu ilmiah”, seperti
Althusser. Mereka lebih tertarik pada “Marxisme Barat” yang sering disebut “Neo
Marxisme” seperti Ernst Bloch. Namun tetap yang paling menginspirasi mereka
adalah seorang Marxis Amerika Latin, Jose Carlos Mariategui, yang mengingatkan
agar sosialisme di Amerika Latin tidak boleh menjadi suatu “tiruan murni” atau
“salinan” saja dari pengalaman-pengalaman sosialisme yang sudah ada, tetapi
lebih merupakkan suatu “hasil cipta perjuangan” sendiri. Bukankah ini mirip
dengan pandangan Bung Karno tentang Pancasila dan Marhaenisme?
Para martir
Pada beberapa bagian dari buku ini pembaca dapat menemukan
berbagai ulasan maupun kisah menarik seputar perjuangan politik rakyat yang
melibatkan para uskup, pastor, suster, pendeta, tokoh agama, dan kaum awam.
Nama-nama yang tidak asing lagi sebagai pentolan teologi pembebasan juga
disebutkan dan secara singkat diulas di sini, seperti Gustavo Gutierrez, Frei
Betto, uskup Dom Helder Camara, uskup Oscar Romero, dan lain-lain. Tidak
sedikit dari mereka yang gugur dalam pertempuran melawan kekuasaan diktator atau
ditangkap dan disiksa karena dukungan mereka terhadap gerakan politik.
Beberapa yang turut mengangkat senjata dan gugur dalam pertempuran
melawan tentara diktator adalah Romo Camilo Torres di Kolombia dan Romo Gaspar
Garcia Laviana di Nicaragua. Sementara banyak lain yang terbunuh karena
aktifitas politiknya, seperti Romo Domingo Lain (1974), Romo Joao Bosco Penido
Burnier (1976), Rutilio Grande (1977), dan Uskup Oscar Ramero (1980). Antara
lain karena pengorbanan-pengorbanan ini sehingga Löwy menyimpulkan bahwa
teologi pembebasan sama sekali bukan “siasat”atau “gerak tipu agamawan”
menghadapi kemiskinan yang ada, melainkan suatu pemihakan rohani yang amat
mendalam pada sebab-sebab perjuangan rakyat miskin.
Lenin dan Frei Betto
Di buku ini pula ada sebuah temuan menarik yang ingin saya bagikan
secara khusus. Löwy secara tidak sengaja[?] mengambil dua kutipan dari dua
orang yang berbeda dari rentang waktu yang juga berbeda, yakni Vladimir I.
Lenin dan Frei Betto, seorang misionaris dari ordo Dominican. Dikisahkan suatu
waktu Frei Betto ditangkap dan diinterogasi oleh seorang algojo rezim diktator
yang terkenal bengis. Ia ditanya:
“Bagaimana seorang Kristen kok bisa bekerjasama dengan orang
komunis?”
Betto menjawab:
“Bagi saya, manusia tidak dibedakan antara mereka yang beriman dan
mereka yang ateis, tetapi dibagi antara mereka yang ditindas dan mereka yang
menindas, antara mereka yang ingin mempertahankan tatanan masyarakat yang tidak
adil ini dan mereka yang berjuang demi tegaknya keadilan.”
Kutipan ini menarik karena pada bagian awal buku telah diambil
sebuah kutipan lain dari Lenin tentang agama yang dapat ditemukan benang
merahnya sebagai berikut:
“…persatuan dalam perjuangan revolusioner yang nyata dari kelas
tertindas demi mencapai suatu surga di muka bumi adalah jauh lebih pennting
ketimbang kesatuan pendapat kaum proletar tentang surga yang akan datang nanti
di akhirat.”
Bisa jadi Frei Betto terilhami oleh tulisan Lenin ketika menjawab
pertanyaan sang algoju. Namun kesamaan pandangan ini setidaknya telah
memperjelas suatu kedekatan yang begitu erat antara Marxisme dan Teologi
Pembebasan. Tidak heran bila pada akhir tulisannya Löwybersepakat dengan banyak
kalangan di Amerika Latin yang menyatakan bahwa hubungan antara gerakan Marxis
dan Teologi Pembebasan bukan hanya sebatas taktis untuk memenangkan suatu
pertempuran tertentu, tetapi sesuatu yang organik.
Akhirnya, menurut Löwy, beberapa hal yang perlu didiskusikan lebih
lanjut antara teologi pembebasan dan Marxis bukan lagi dasar filosofis (idealis
revolusioner dan materialisme dialektik), melainkan adalah pada soal-soal yang
masih sensitif bagi kalangan gereja, seperti persoalan pengguguran kandungan,
penggunaan alat kontrasepsi, dan peran atau posisi sosial perempuan secara
lebih luas.
Pada akhirnya, buku berisi 155 halaman ini kaya akan berbagai
ulasan lain terkait teologi pembebasan yang tentu saja tidak ditulis sepenuhnya
dalam resensi ini. Selain itu terdapat suplemen sebuah risalah dari Frei Betto
yang mengupas hubungan antara Teologi dan Marxisme.
Dominggus Oktavianus, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik
(PRD)
Sumber Artikel:
http://www.berdikarionline.com/33988-2/#ixzz43QDvxd3s
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on
Facebook