Oleh
Pdt. Dr. Mery Kolimon
Tanggal
13 Oktober 2015. Saya bangun masih tengah malam. Jam 2 dini hari di Frankfurt,
Jerman. Jam 8 pagi di Kupang. Pasti karena jet lag, saya sulit melanjutkan
tidur. Mungkin juga karena sangat antusias dengan kesempatan yang saya dapat
untuk bicara hari ini dalam konferensi yang diselenggarakan di Universitas
Goethe Frankfurt. Saya benar-benar bersyukur diundang oleh panitia Frankfurt
Book Fair (FBF) sebagai salah satu pembicara dalam konferensi dua hari itu.
Dalam
konferensi terkait FBF tahun ini, perhatian diberikan kepada 70 tahun produksi
tekstual di Indonesia. Saya diminta bicara dengan topik, “Menulis Kekerasan dan
Trauma Politik”. Undangan itu terkait studi-studi dan publikasi yang dilakukan
oleh perkumpulan kami, Jaringan Perempuan Indonesia untuk Studi Perempuan,
Agama, dan Budaya (JPIT). Perkumpulan kami telah menerbitkan Memori-Memori
Terlarang: Perempuan dan Penyintas Tragedi 1965 di NTT, pada tahun 2012 lalu,
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Forbidden Memories:
Women’s Experiences of 11965 in Eastern Indonesia, oleh Monash University
Publishing. Versi bahasa Inggris buku itu akan diluncurkan akhir bulan ini di
Ubud Writers Festival di Bali. Saya juga menulis feature hasil wawancara dengan
ayah terkait keterlibatannya dalam Tragedi 65 di TTS dalam buku Breaking the
Silence, yang disunting Pak Putu Oka Sukanta. Kini JPIT juga sedang membuat penelitian tentang
“Perempuan, Konflik, dan Perdamaian” di tiga daerah konflik. Kami mencoba menerbitkan
hasil penelitian itu pada tahun depan.
Menulis
sebagai Tindakan Politik
Buku
“Memori-Memori Terlarang: Perempuan dan Penyintas Tragedi 1965 di NTT” (2012)
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “Forbidden Memories:
Women’s Experiences of 11965 in Eastern Indonesia”, oleh Monash University
Publishing (2015). [ist]
Di
konferensi itu, saya bicara beberapa hal. Pertama mengenai alasan menulis
tentang kekerasan dan trauma politik gerakan anti komunis 1965. Periode itu
adalah periode senyap dalam sejarah bangsa dan gereja di Indonesia. Kita masih
bisa menemukan dokumen dari abad 18 dan 19 tentang sejarah gereja di Timor dan
Sumba, namun hampir tak ada dokumen tertulis tentang periode itu. Masa itu
menjadi sebuah lubang gelap. Kami membuat penelitian dan menulis dari
perspektif para perempuan korban/penyintas tragedy itu untuk mengisi lubang
hitam tersebut. Selain itu, bagi kami kekerasan politik 1965 bukan saja
meninggalkan trauma bagi para korban dan penyintas tetapi bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kekerasan 1965 telah meninggalkan sebuah trauma kolektif bagi bangsa
ini dan meninggalkan beban impunitas yang masih dipikul bangsa ini hingga
sekarang. Alasan lain adalah bahwa kekerasan itu juga menandai identitas dan
teologi gereja-gereja kita. Sebagai bagian dari bangsa, gereja menjadi bagian
dari kekerasan dan trauma, dan mestinya juga menjadi bagian dari penyembuhan
dan reparasi.
Menulis
kekerasan dan trauma politik karena itu adalah seperti melawan hantu-hantu masa
lalu yang menyakitkan dan membuka memori-memori terlarang. Menulis tentang itu
adalah upaya untuk mengupayakan rekonsiliasi dan perdamaian dengan masa lalu
yang pahit dan adalah sebuah keberanian untuk membayangkan sebuah masa depan
yang baru, sebuah masa depan yang ditandai oleh restorasi dan penyembuhan.
Menulis
tentang Tragedi 1965, dalam masyarakat yang sangat dikuasai oleh master
narrative negara yang sangat dominan dengan narasi tunggalnya, kami maksudkan
sebagai sebuah alternatif untuk melihat dan memahami sejarah bangsa ini. Dengan
menciptakan ruang bagi suara korban/penyintas, kami mempromosikan kesempatan
untuk mendiskusikan apa yang terjadi di masa lalu, berdebat tentang dampaknya
bagi gereja dan masyarakat, dan mendorong orang untuk berpikir tentang apa yang
mestinya kita lakukan untuk penyembuhan dan pemulihan. Dengan begitu penulisan
itu adalah juga sebuah tindakan politik: perjuangan bagi keadilan untuk semua,
terutama bagi korban dan penyintas.
Penghargaan
bagi Penulis Indonesia
Pembicara
lain dalam panel bersama saya adalah Ayu Utami, aktifis jurnalis dan sastrawan
Indonesia yang terkenal karena novel-novelnya, seperti Saman, Larung, Bilangan
Fu, dan Si Parasit Lajang. Sebagian novel-novelnya telah diterjemahkan ke
berbagai bahasa dan mendapat sambutan yang sangat hangat di banyak negara. Bagi
Ayu kekerasan politik tidak hanya menyakiti fisik dan dunia material, tetapi
juga dunia simbolik kita. Itu sebabnya dalam novel-novelnya, dia banyak memakai
simbol untuk melukiskan kekerasan yang terjadi. Bagi dia, semua kita punya
tugas untuk belajar dari sejarah dan karena itu penulisan sejarah adalah
penting.
Versi
Bahasa Inggris dari "Memori-memori Terlarang" akan diluncurkan akhir
bulan Oktober di Ubud Writers Ferstival. (web UWF)
Ketika
ditanya mengapa dia menulis hal-hal yang sensitif, Ayu menjawab ia menulis hal
yang sensitif bukan hanya untuk sekedar menulis isu sensitifitas itu sendiri,
tetapi terutama karena itu berhubungan dengan ketidakaadilan dan hak asasi
manusia. Jadi yang disentuh adalah masalah, bukan orang. Menulis isu sensitif
membawa kita bersentuhan dengan ketidaknyamanan.
Namun itulah tugas penulis untuk mengalihkan masyarakat dari denial
(penyangkalan) kepada consciousness (kesadaran) terhadap substansi sebuah
masalah.
Buku-buku
lain yang dibahas dalam konferensi itu adalah, di antaranya, Amba karya Laksmi
Pamuntjak, dan Pulang, karya Leila S. Chudori. Para sastrawan memakai banyak
cara untuk berbicara mengenai kekerasan dan trauma. Yang jelas, sejarah dan
fiksi itu berbeda. Para novelis banyak kali mendasarkan tulisan mereka pada
fakta sejarah, namun menggunakannya secara kreatif. Dengan cara itu pula mereka
melawan pola master narrative negara yang monolitik dalam menulis dan menilai
sejarah.
Tema
dan buku lain yang dibahas nampak dalam ulasan terhadap karya Oka Rusmini, yang
menggugat tradisi Bali dari perspektif feminis. Tiga novelnya yang dibahas
adalah Tarian Bumi, Kenanga, dan Tempurung. Dalam ketiga novel itu, Oka Rusmini
mengritik tradisi Bali yang memarjinalkan perempuan, sekaligus mengembangkan
tafsir mengenai pemberdayaan dan pembebasan perempuan dalam peminggiran
tersebut.
Sebuah
presentasi menarik dibawakan oleh Dyah Ariani Arimbi dari Universitas
Airlangga. Dia mengupas sisi yang lain sama sekali dari realitas tekstual
Indonesia hari ini. Dosen Unair ini mengulas apa yang dia sebut sebagai hyper
realitas di kalangan anak muda Indonesia di kota-kota besar. Dia menunjuk karya
penulis yang dapat digolongkan di sini, yaitu Ika Natassa. Karyanya sangat
menunjukkan hibriditas dari budaya metro pop. Bahasa yang dipakai campuran
bahasa Inggris dan Indonesia. Bahkan salah satu buku Ika berasal dari kumpulan
twitter dia. Ini sebuah sisi lain dari realitas literatur Indonesia hari ini,
yang justeru digandrungi oleh orang-orang muda.
Buku
karya Laksmi Pamuntjak diiklan pada bus di Frankfurt Book Fair . [Credit:
Hendra Suhendra via facebook]
Para
pembicara lain dalam konferensi dua hari itu berasal dari berbagai negara. Saya
mencatat guru besar dari Australia, Kanada, Jepang, Belanda, dan berbagai
universitas di Jerman turut memberi ulasan, di berbagai sesi konferensi itu.
Mereka mengapresiasi perkembangan literatur di Indonesia.
Konferensi
ini mencatat hal yang membanggakan bagi saya. Seluruh pembiayaan untuk
pembicara dari Indonesia dibiayai dari kas negara, dalam hal ini oleh
Kementerian Pendidikan Republik Indonesia. Kementerian yang dikomandani oleh
pak Anies Baswedan ini membiayai transportasi domestik dan internasional, biaya
penginapan, uang saku, dan asuransi perjalanan kami. Saya merasa terharu bahwa
pemerintah bangsa kami mengakui pekerjaan-pekerjaan kami untuk penyembuhan dan
pendidikan bangsa melalui dukungannya untuk kehadiran dan partisipasi kami di
konferensi tersebut. Saya berharap akan semakin banyak penulis Indonesia, termasuk
NTT, bersuara di panggung internasional.
Sumber: http://satutimor.com/menulis-untuk-penyembuhan-bangsa.php
0 komentar:
Posting Komentar