Septinus George Saa lahir di
Manokwari pada 22 September 1986. Sejak kecil, dia sering tinggal
berpindah-pindah mengikuti orang tuanya. Bahkan, tak jarang dia hidup terpisah
dari orang tua. Oge lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah
Kepala Dinas Kehutanan Teminabuhan, Sorong. Oge lebih senang menyebut ayahnya
petani ketimbang pegawai. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
Silas, dibantu isterinya, Nelce Wofam, dan kelima anak mereka, harus mengolah
ladang, menanam umbi-umbian. Kelima anak Silas mewarisi keenceran otaknya.
Silas adalah lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas tahun 1969, sebuah jenjang
pendidikan yang tinggi bagi orang Papua kala itu. Minimnya ekonomi keluarga,
Oge sering tidak masuk sekolah ketika SD hingga SMP. Jarak dari rumah ke
sekolah sekitar 10 km. Oge harus naik “taksi” (angkutan umum) dengan ongkos Rp
1.500 sekali jalan. Itu berarti Rp 3.000 pulang pergi. “Tidak bisa jajan. Untuk
naik “taksi” saja mama sering tidak punya uang. Kalau Oge mau makan harus
pulang ke rumah,” katanya. Bagi Oge prestasi tidak selalu berarti karena uang.
Pemuda yang dikenal sebagai playmaker di lapangan basket ini adalah orang yang
haus untuk belajar. Selalu ada jalan untuk orang-orang yang haus seperti Oge.
Prestasinya di bidang fisika bukan semata-mata karena ia menggilai ilmu yang
menurut sebagian anak muda rumit ini. “Saya tertarik fisika sejak SMP. Tidak
ada yang khusus kenapa saya suka fisika karena pada dasarnya saya suka belajar
saja. Lupakan saja kata fisika, saya suka belajar semuanya,” katanya. “Semua
mata pelajaran di sekolah saya suka kecuali PPKN. Pelajaran itu membosankan dan terlalu banyak mencatat. Saya
suka kimia, sejarah, geografi, matematika, apalagi bahasa Indonesia. Saya
selalu bagus nilai Bahasa Indonesia,” tambahnya.
Septinus George Saa
Selepas SD dan SMP yang kerap
diwarnai bolos sekolah itu, Oge diterima di SMUN 3 Buper Jayapura. Ini adalah
sekolah unggulan milik pemerintah daerah yang menjamin semua kebutuhan siswa,
mulai dari seragam, uang saku, hingga asrama. Kehausan intelektualnya seperti
menemukan oase di sini. Ia mulai mengenal internet. Dari jagad maya ini ia
mendapat macam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika
dunia.
Kebrilianan otak mutiara hitam
dari timur Indonesia ini mulai bersinar ketika pada 2001 ia menjuarai lomba
Olimpiade Kimia tingkat daerah. Karena prestasinya itu, ia mendapat beasiswa ke
Jakarta dari Pemerintah Provinsi Papua. Namun mamanya melarang putera bungsunya
berangkat ke Ibu Kota. Prestasi rupanya membutuhkan sedikit kenakalan dan
kenekatan. Dibantu kakaknya, Frangky, Oge berangkat diam-diam. Ia baru
memberitahu niatnya kepada mama tercinta sesaat sebelum menaiki tangga pesawat.
Mamanya menangis selama dua minggu menyadari anaknya pergi meninggalkan tanah
Papua.
Oge kemudian membuktikan bahwa
kepergiannya bukan sesuatu yang sia-sia. Tangis sedih mamanya berganti menjadi
tangis haru
ketika November 2003 ia menduduki
peringkat delapan dari 60 perserta lomba matematika kuantum di India.
Prestasinya memuncak tahun ini dengan menggenggam emas hasil riset fisikanya.
Mamanya pun tidak pernah menangis lagi. “Saya ingin jadi ilmuwan. Sebenarnya
ilmu itu untuk mempermudah hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu membuat
hidup manusia menjadi nyaman. Saya berharap kalau saya menjadi ilmuwan, saya
dapat membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman,” kata dia.
Orang tak akan mengira, Oge yang
sekarang remaja 18 tahun ini, yang kerap terpaksa tidak masuk sekolah – karena
orangtuanya tak mampu memberi ongkos jalan Rp 1.500 untuk perjalanan 10 km
antara rumah dan sekolah – ini mampu unjuk gigi di arena internasional tingkat pelajar. Medali emas “The First Step
to Nobel Prize in Physics 2004″ disabetnya lewat hasil experimen fisikanya.
Karya ilmiah tersebut berhasil menyisihkan ratusan makalah lainnya dari 73
negara. Bahkan 30 juri dari 25 negara yang diketuai Prof. Waldemar Gorzkowzski
dari Polandia yang memberikan penilaian, tak ada satupun yang menentang.Hasil
penelitian Oge sebenarnya sederhana, tetapi bisa mempunyai manfaat kelak jika
dikembangkan lebih jauh. Lewat tulisannya di harian Kompas, Dr Kebamoto, ahli
fisika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia,
menilai eksperimen fisika Oge ini boleh jadi akan menjadi langkah awal
pengungkapan misteri struktur sarang tawon yang berbentuk heksagon. Struktur
sarang tawon dikenal bisa membuat berbagai material-seperti grafit atau
nanokomposit-menjadi memiliki sifat fisika yang aneh -aneh, seperti daya hantar
listrik tinggi, tahan terhadap suhu tinggi, dan kekuatan mekaniknya 500 kali
dari baja. Padahal, pada bahan yang sama, jika strukturnya tak sarang tawon,
sifat fisika seperti disebut di atas tidak akan tampak.
Bisa dibayangkan, seorang murid
kelas 3 SMU Negeri Buper, Jayapura, bisa menurunkan persamaan rumit itu ke
dalam formula sederhana. Dengan rumusnya itu, ia bisa menghitung hambatan
(resistensi) di antara dua titik dalam sebuah rangkaian sarang tawon. Padahal,
menurut Kebamoto, karena rumit dan solusi analitisnya sulit ditentukan, Oge
harus belajar terlebih dulu soal analisis numerik dan program komputer yang
bisa menyelesaikan kasus itu. Semua ini biasanya baru dipelajari mahasiswa
tahun ke-3.
Perjalanan hidup Oge membuat
rumus yang layak ia klaim sebagai “George Saa Formula” sebenarnya berawal dari
terpilihnya ia bersama dengan empat siswa lain oleh Departemen Pendidikan
Nasional untuk ikut Olimpiade Fisika. Saat itulah ia mulai berkenalan dengan
pelatihan tiga bulan yang dilakukan Tim Olimpiade Fisika di Universitas Pelita
Harapan (UPH), Karawaci, Tangerang. Hasilnya, ia dikirim keIndia, mengikuti
lomba fisika, di mana Oge memperoleh gelar honourable. Berikutnya, ia
menghasilkan makalah berjudul “Apakah Elektron merupakan Partikel atau
Gelombang?” yang merupakan hasil tinjauan ulang atas berbagai makalah yang
pernah ditulis sejumlah ilmuwan. Dari makalah yang dinilai biasa saja, tetapi
penjelasan dan cara menyimpulkannya menarik. Yohanes Surya-guru besar UPH yang
juga Ketua Tim Olimpiade Fisika-mulai melihat adanya potensi pada diri Oge.
Dari situlah, Oge mulai meneliti soal penghitungan hambatan pada struktur
sarang tawon.
Jika menilik ke belakang, apa
yang dihasilkan Oge bukannya tanpa hambatan. Untuk mengikuti lomba ilmiah
tingkat pelajar di luar daerahnya bukanlah hal mudah. Beruntung ia memiliki
kakak yang bisa diajak “bersekutu”. Adalah Franky Albert Saa, kakak Oge yang
tertua, yang secara diam-diam mempersiapkan kepergian adiknya ke Jakarta
setelah Oge menjuarai lomba Olimpiade Kimia tingkat daerah tahun 2001. Sang ibu
rupanya tidak rela berpisah dari si bungsu yang dilahirkan 22 September 1986
ini. Persis menjelang Oge akan melangkah menuju pesawat, baru kabar itu
disampaikan kepada Nelce. Keruan tangis Nelce pun pecah dan itu berlangsung
sampai dua pekan.
Bagi Oge, masa sulit bersekolah
praktis terlewati begitu ia diterima di SMUN 3 Buper Jayapura, sebuah sekolah
unggulan milik Pemerintah Provinsi Papua, yang dikhususkan untuk menampung
siswa berprestasi. Di sekolah itu pula, Oge mulai mengenal internet, yang
menjadi sumber inspirasi penulisan risetnya. Dari internet juga, ia mendapat
bermacam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para ahli fisika dunia yang
mengilhami Oge dalam menurunkan rumusnya. Itulah yang membuat dia berkomentar,
“UANG BUKAN SEGALA-GALANYA UNTUK MAJU. SELALU ADA JALAN UNTUK MENIMBA ILMU.”
Karena itu pula, ia berharap para remaja Papua juga dapat melakukan hal serupa
dan tidak perlu resah dengan urusan uang. “ORANG PAPUA BANYAK YANG HEBAT DAN
MEMILIKI OTAK BRILIAN. TETAPI, MEREKA SELALU MELIHAT UANG SEBAGAI HAMBATAN. PADAHAL,
YANG PENTING KAN KEMAUAN DAN SEMANGAT KERJA KERAS,” ujar remaja yang juga
mendapat kesempatan belajar riset di PolishAcademy ofScience di Polandia selama
satu bulan.
Kesempatan itu tentu saja amat
diimpi – impikan Oge yang bercita-cita meraih Nobel bidang fisika kelak. “Saya
memang masih harus bekerja keras, disiplin, dan terus mencari yang terbaik
untuk sampai kesana,” katanya.Di Jakarta, ia digembleng khusus oleh Bapak
Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya. Awal November 2006 ia harus mempresentasikan
hasil risetnya di depan ilmuwan fisika di Polandia. Ia harus membuktikan bahwa
risetnya tentang hitungan jaring-jaring resistor itu adalah orisinil
gagasannya. Setelah itu, ia akan mendapat kesempatan belajar riset di Polish
Academy of Science di Polandia selama sebulan di bawah bimbingan fisikawan
jempolan. Setelah menerima penghargaan itu, George diganjar banyak fasilitas.
Menteri pendidikan saat itu, Malik Fadjar, meminta George memilih perguruan
tinggi mana pun di Indonesia tanpa tes. Kampus tempat dia kuliah juga
diwajibkan memberikan fasilitas belajar.
Referensi :
–
http://www.astrodigi.com/2010/08/septinus-george-saa-anak-petani-papua.html
–
http://id.wikipedia.org/wiki/Septinus_George_Saa
–
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1085284643
0 komentar:
Posting Komentar