A. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut UU Otonomi Khusus untuk Papua)
merupakan kebijakan khusus yang berguna bagi peningkatan taraf hidup dan
penegakan hak-hak dasar masyarakat asli Papua, serta mengurangi kesenjangan
pembangunan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Namun dalam 14 (Empat belas) tahun pelaksanaannya,
UU Otonomi Khusus untuk Papua belum berjalan optimal sesuai dengan amanat dari
Undang-Undang tersebut.
Permasahan utama yang dihadapi antara lain adalah:
persepsi yang berbeda dalam mewujudkan substansi dari UU Otonomi Khusus untuk
Papua, belum terbitnya beberapa peraturan-peraturan pendukung seperti Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang mendukung
pelaksanaan Otonomi Khusus, maupun belum optimalnya pemanfaatan dana Otonomi
Khusus, terutama yang ditujukan untuk pemenuhan hak-hak dasar penduduk asli
Papua; yang mencakup hak atas tanah, hak atas rasa aman dan sebagainya.
Penerbitan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
OTSUS disebabkan oleh adanya mencuat issu Papua Merdeka. maraknya issu Papua
Merdeka di seluruh pelosok tanah Papua membuat Pemerintah Pusat kaget dan berniat
baik untuk menawarkan atau memberikan sebagian kekuasaan (Kewenangan) kepada Pemerintah
Propinsi Papua untuk mengatur dan mengkoordinasi sesuai dengan kondisi daerah
itu. namun sayangnya hingga saat ini pemerintah belum mampu mengoptimalkan
pemanfaatan dana UU Otsus tersebut. Pembagian kewenangan pemerintah pusat kepada
pemerintah propinsi papua pun belum jelas.
Menurut Jakarta, UU Otsus tidak berjalan optimal disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya: Wilayah yang cukup luas, Penduduknya
heterogen, sistem pemerintahan yang tidak efetif dan sebagainya. Namun
sesungguhnya bukan menjadi alasan pemerintah pusat, hanya sebagai sebuah
sandiwara politik demi kepentingan Ekonomi dan Politik bagi para Elit Pusat
maupun Daerah (lokal).
Setelah 4 Tahun kemudian Otsus Papua berlaku, lahirlah sebuah lembaga Pemerintah yang
melindungi dan menyuarakan hak-hak dasar orang asli Papua (selanjudnya disebut
Majelis Rakyat Papua). Namun MRP pun tidak ada dasar hukum yang mengikat untuk
menjalankan Tugas dan Tanggungjawabnya. Pemerintah Propinsi Papua dan DPR Papua
selalu berupaya mendorong Perdasi dan Perdasus agar segera disahkan. Namun
upaya itu selalu diabaikan oleh Pemerintah Pusat. Dimana kewenangan yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Propinsi Papua? Dimana Hak dan Kebebasan
bagi Orang Asli Papua? Kedua Pertanyaan ini menjadi tolak ukur dan mulai lahir
mosi ketidakpercayaan bagi rakyat Papua.
Akibat ketidakpuasan tentang hadirnya Otsus Papua bagi
orang Papua. Rakyat Papua berkali–kali turun jalan (Demo) dan menyatakan UU No.
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua telah gagal. Kegagalan Pemerintah
Pusat menyikapi Otonomi Khusus di Tanah Papua telah diakui oleh publik. Selain
itu, menjadi perbincangan yang serius pada sidang HAM PBB tahun 2008 lalu. Ada
lima Negara mempertanyakan, meningkatnya pelanggaran HAM di Papua, Era Otonomi
Khusus Papua; yaitu: Jerman, Prancis, Kanada, Belanda dan Inggris.
B. Penerbitan Inpres RI No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua (Inpres Papua).
B. Penerbitan Inpres RI No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua (Inpres Papua).
Selanjutnya, dalam
kerangka mengoptimalkan pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus. Pemerintah memandang bahwa diperlukan beberapa pendekatan kebijakan
baru melalui penerbitan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua (Inpres Papua). Penerbitan
INPRES lahir sejak tahun 2003. Didalam kebijakan INPRES, pemerintah pusat
(Presiden) memulai beberapa pendekatan kebijakan melalui INPRES diantaranya; Pemantapan
ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan; Peningkatan kualitas
penyelenggaraan pendidikan; Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; Peningkatan
infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil,
pedalaman dan perbatasan negara; dan Perlakuan khusus (affirmative action) bagi
pengembangan kualitas sumberdaya manusia putra-putri asli Papua.
Selain itu, dalam kerangka mengoptimalkan pelaksanaan Inpres
Pemerintah Pusat memandang bahwa diperlukan adanya pemekaran wilayah, untuk
memenuhi dan mensejahterakan rakyat Papua. Pembagian wilayah Papua di bagi kedalam
tiga Propinsi, tiga kabupaten dan satu Kodya yakni Propinsi Papua (Induk),
Propinsi Papua Tengah, Propinsi Papua Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak
Jaya, Kabupaten Mimika dan Kodya Sorong.
Namun, Pemekaran Propinsi Papua Tengah dan Propinsi Papua
Selatan ditolak oleh rakyat Papua, sedangkan Pemekaran Propinsi Irian Jaya
Barat (kini Papua Barat) pun terjadi perdebatan yang panjang, bahkan terjadi
memakan korban nyawa. Pada umumnya rakyat Papua menolak, hanya saja berkeinginan
pejabat Papua yang kuat dan berambisi jabatan ”Notabene bermata Duitan” akhirnya
menerima Pemekaran itu; kemudian di back up oleh Pemerintah Pusat. Setiap
produk UU Jakarta untuk kedua Propinsi di Tanah Papua selalu bertolakbelakang
dengan apa yang diinginkan oleh rakyat Papua. Tetapi itu merupakan bukan hal
baru, sudah menjadi kebiasaan bagi negara ini.
Sesungguhnya pemekaran daerah tak dapat mengungtungkan
bagi orang asli Papua; mengapa tidak menguntungkan orang papua? Sebab ada
akibatnya. Ketika ada pemekaran wilayah tentu saja pembangunan semeraut. Hal
tersebut berawal dari kurangnya Kesiapan SDM. Kualitas Sumber daya Manusia akan
menentukan Pembangunan suatu daerah; baik Pembangunan fisik maupun pembangunan
non fisik. sehingga hal-hal tersebut dapat berakibat adanya marginalisasi, ketidakadilan, KKN dan lainnya; yang
bersifat merugikan bagi orang asli Papua.
C. Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
Hadirnya UP4B di tanah Papua, bukanlah tuntutan rakyat
Papua. Sebuah tawaran itu datang dari Pemerintah Pusat; melalui TNI yang di
kumandangi oleh seorang Letnan Jendaral Bambang Darmono. Ketika Darmono
menawarkan, mengkampanyekan UP4B di setiap kabupaten/kota di Tanah Papua; Rakyat
Papua secara tegas menolak. Sebab rakyat Papua menilai kehadiran UP4B akan
mengundang, meningkatkan berbagai masalah bagi rakyat Papua.
UP4B bertujuan untuk Percepatan Pembangunan diwilayah
Papua dan Papua Barat, sebab adanya Indikasi Jakarta menilai Rakyat Papua
rata-rata mencapai di bawah garis kemiskinan, masih tertinggal (Primitive), Perang suku. UP4B menjadi
Jembatan antara Jakarta-Papua, dimana UP4B merupakan proyek bagi TNI untuk
mengerjakan Pembangunan fisik di Tanah Papua. UP4B sendiri bergerak dalam
berbagai aspek, diantaranya: Pendidikan (Affirmation),
Kesehatan, dan sebagainya. Namun, yang menjadi Program Utama adalah Pembangunan
Fisik (Jalan & Jembatan).
Di balik niat baik Jakarta, selalu ada tantangan bagi
rakyat Papua. Hal itu terbukti, ketika
Darmono sebagai Pimpinan UP4B melakukan sosialisasi ke setiap Kota di Tanah
Papua. Kehadiran Darmono di Tanah Papua membuat semakin memanas situasi
didaerah bahkan mengorbankan Nyawa orang asli Papua. Disertai dengan adanya pemaksaan
TNI atas kehendak rakyat Papua, dengan menggunakan berbagai metode.
Negara tidak akan menyelesaikan segala akar masalah yang
ada di Tanah Papua; jika dengan kekerasan (Militerisme).
Kekerasan mengundang konflik yang berkepanjangan; Karena itu, perlu ada saling
percaya antara Jakarta dan Papua untuk menuntaskan setiap masalah secara
bertahap dan menyeluruh. Ketidakseriusan
Kondisi riil di Papua; dapat di buktikan dengan adanya
ketidakadilan, kekerasan, konflik yang selama ini terjadi di seluruh pelosok Tanah Papua. dijadikan sebagai obyek
mencari nafkah dengan bebas melakukan
segala kejahatan Negara, demi menguasai wilayah tanpa Kompromi kepada orang
asli Papua sebagai Hak Ulayat Adat. Melihat kondisi seperti itu, para elit
–elit lokal Papua tidak tinggal diam atau pangku tangan, dan dituntut menyikapi
masalah-masalah yang terjadi di tanah Papua; baik masalah internal maupun
eksternal. Baik Sadar atau tidak sadar, ini adalah sesuatu tantangan yang harus
dihadapi oleh seorang Pejabat di daerah, karena sebagai pejabat mempunyai
kapasitas untuk mengatasi dan menyelesaikan segala bentuk masalah.
Dengan melihat kondisi yang sangat memprihatinkan bagi
masyarakat Papua, dari masa ke masa; dibawah
pemerintahan Gubernur Papua Lukas Enembe, S.IP, MH dan DPR Papua serta
mengumpulkan para bupati se Tanah Papua. Untuk berupaya mendorong Otonomi plus,
agar dapat memaksimalkan, meningkatkan taraf hidup orang asli Papua. Namun
upaya – upaya yang dilakukan itu begitu saja diabaikan oleh Jakarta. Berarti
jelas sekali ada unsur kesengajaan; Jakarta menginginkan nasib hidup orang
Papua lebih terpuruk. Negara tidak peduli dengan hidup orang Papua; dengan
Sikap Negara tersebut Rakyat Papua selalu tidak percaya terhadap segala
kebijakan Jakarta untuk Papua.
Kesimpulan
ü
Sesungguhnya, jika
Negara berniat baik membina Orang Papua maju dan berkembang dalam segala aspek;
maka, Pemerintah Pusat memberikan peluang kepada rakyat Papua berupa
pelatihan-pelatihan, agar orang Papua dapat berkiprah dalam dunia kerja.
ü
Indonesia gagal
meningkatkan taraf hidup rakyat Papua, sejak Papua di integrasikan kedalam NKRI.
Solusinya indonesia mengakui kebebasan bagi rakyat Papua, sebagai sebuah negara
yang pernah merdeka sejak 1 Desember 1963.