Duta Besar Pemerintah Amerika Serikat untuk Indonesia, pada bulan
Juni 1969 kepada anggota Tim PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz, secara rahasia
mengakui: “ 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (Sumber
Dok: Jack W.Lydman’s Report, Juli 18, 1969, in AA). Sedangkan, Dr. Fernando
Ortiz Sanz, perwakilan PBB untuk mengawasi pelaksanaan PEPERA 1969 melaporkan:
“Penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat tidak
dipercaya. Sesuai dengan laporan resmi, alasan pokok pemberontakan rakyat Papua
yang dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan. Karena tanpa ragu-ragu,
penduduk Irian Barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka” (Laporan
Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, alinea 164, 260). Lebih
tegas, Fernando Ortiz Sanz, menyatakan: “Mayoritas orang Papua menunjukkan
berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran Negara Papua
Merdeka.” ( Dokumen resmi PBB, Annex I, A/7723, alinea, 243, hal. 47).
Sementara kesaksian pelaku dan saksi sejarah yang
dikirim oleh Pemerintah Indonesia untuk memenangkan PEPERA 1969, Piter Sirandan
(alm), pada awal Desember 2009 setelah membaca buku: “Permusnahan Etnis
Melanesia” (2007) dan “Suara Bagi Kaum Tak Bersuara” (2009) menyatakan
penyesalan.
Kami orang Indonesia benar-benar menipu orang-orang Papua yang mau
berkata benar pada waktu itu. Kami benar-benar menipu orang Papua. Kami
benar-benar menindas orang Papua. Kami benar-benar merugikan masa depan orang
Papua. Kami benar-benar tidak menghargai hati nurani orang Papua untuk
benar-benar mau merdeka. Kami mengetahui bahwa pada waktu pelaksanaan PEPERA
1969 itu, orang-orang Papua benar-benar mau merdeka. Saya mengetahui bahwa 100%
orang Papua mau merdeka. Impian dan harapan mereka, benar-benar kami hancurkan.
Pada waktu itu, saya mendapat hadiah uang sebesar Rp 7.000.000; dari Pemerintah
Indonesia karena saya dianggap berhasil menipu orang Papua dan memenangkan
PEPERA 1969. Karena itu, sekarang saya sangat mendukung perjuangan orang Papua
untuk merdeka” ( baca: Dumma Socratez Sofyan Yoman: Integrasi Belum
Selesai: 2010, dan Socratez Sofyan Yoman: Gereja dan Politik di Papua Barat:
2011,)
Bertolak dari kutipan laporan resmi PBB ini dan pengakuan pelaku
sejarah di atas, pertanyaan yang perlu saya ajukan di sini adalah:
Pertama, apakah sejak 1963-2013 dalam kurun waktu 49 tahun
pendudukan pemerintahan Indonesia di Papua telah menurunkan jumlah keinginan
rakyat Papua mau merdeka dari 95% atau jumlah mayoritas itu ke level 10 % atau
sebaliknya justru dari 95% telah meningkat tajam melebihi 95% untuk
keinginan merdeka dan berdiri sendiri? Kedua, Apakah benar hanya segelintir
orang asli Papua yang mendukung Papua merdeka dan mayoritasnya mendukung
dan memperkuat pendudukan dan penjajahan pemerintah Indonesia di Tanah Papua?
Kita menjawab pertanyaan ini dengan fakta, bukti atau realitas bukan ilusi dan
imajiner. Contoh-contoh realitas.
- Pada
Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium Uncen
Jayapura yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP). Para
pembicara adalah Menkopolhukam, Gubernur, Kapolda, Pangdam XVII
Cenderawasih, Uskup Dr. Leo Laba Ladjar, OFM., Dr. Tonny Wanggai,
Dr. Pdt. Benny Giay dan Saya (Socratez Sofyan Yoman). Pada saat
giliran dari perwakilan KODAM XVII untuk menyampaikan materi, pembicara
diberikan kesempatan dan mengambil tempat di podium oleh moderator.
Sebelum pembicara menyampaikan materi, ada komanda seperti ini:
“Saudara-saudara, kalau saya sebut kata “Papua”, saudara-saudara peserta
menyahut dengan kata “Damai”. Pembicara dari Kodam ini sebut
Papua dan peserta menjawab dengan Merdeka. Pembicara sebut
Papua: Peserta menjawab: Merdeka. Dan terakhir ketiga kalinya: Pembicara
sebut Papua dan peserta menyambut dengan kata Merdeka.
- Pada
tanggal 17-19 Oktober 2011, Rakyat Papua berkumpul di lapangan
sepak bola Zakeus Padang Bulan Abepura dan menyatakan merdeka dan berdiri
sendiri sebagai bangsa berdaulat di atas tanah leluhurnya.
- Pada
tanggal 10 Januari 2012, saya dengan Pendeta Marthen Luther Wanma
mengadakan pertemuan dengan rakyat Manokwari di Gereja GKI Effata
Manokwari untuk memberikan penjelasan hasil pertemuan kami dengan bapak
Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono, di Cikeas, 16
Desember 2011. Sebelum kami memberikan penjelasan, saya mengajukan
satu pertanyaan sebagai seorang gembala umat kepada umat atau domba-domba
yang hadir. Pertanyaan saya sebagai berikut: “ Saudara-saudara,
siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini?”
Seluruh rakyat yang hadir serentak berdiri dan angkat tangan dan
mengatakan merdeka….merdeka…..merdeka….”. Yang tidak berdiri hanya 3 orang
PNS, salah satunya adalah Bapak Sekda Kabupaten Manokwari.
- Pada
tanggal 20 Januari 2012 pertemuan dengan rakyat di Sorong dengan tujuan
yang sama. Pada pertemuan itu yang mewakili Danrem Sorong dan Kapolreta
Sorong hadir untuk mengikuiti penjelasan itu. Saya mengajukan pertanyaan
yang sama. Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah
leluhur orang Melanesia ini? “ Seluruh hadirin yang memenuhi ruangan
itu berdiri dan angkat tangan dan mengatakan: merdeka… .merdeka……
merdeka…….. merdeka…..”. Yang tidak berdiri hanya bapak yang mewakili
Danrem dan Kapolresta Sorong.
Apakah ini dikatakan segelintir orang? Ini masalah hak
politik dan demi masa depan bangsa Papua. Kekuatan rakyat ini, tidak bisa kita
bendung. Berapapun jumlahnya. Kita harus memberikan ruang untuk rakyat Papua.
Karena sudah lama mereka menderita. Saudara-saudara, ini fakta. Ini bukti.Ini
realitas. Ini di depan mata kita. Ini dibicarakan dalam era Otonomi
Khusus yang GAGAL itu. Ini dibicarakan di tempat resmi. Ini disampaikan dengan
jujur dan sopan kepada pejabat resmi. Tidak bicara ditempat sembunyi-sembunyi.
Tidak dibicarakan di hutan-hutan. Ini bukti kejujuran. Ini bukti
keterbukaan sebagai bangsa yang bermartabat. Pejabat Indonesia,
Pemerintah dan aparat keamanan bukalah hati nuranimu sebagai manusia.
PEPERA 1969, OTONOMI KHUSUS 2001, UP4B 2011. “ Para pembaca opini
ini, Anda percaya atau tidak. Anda akui atau tidak. Anda suka atau tidak suka.
Anda senang atau tidak senang. Saya TAHU, saya SADAR, saya MENGERTI, saya
PERCAYA dengan IMAN, bahwa CEPAT atau LAMBAT nubuatan ini akan terwujud,
hanyalah persoalan waktu. “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban
orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi,dan marifat,
tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin
dirinya sendiri” (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).
Karena itu, solusi terbaik yang berprospek damai dan manusiawi yang saya
usulkan sebagai bahan pertimbangan pemerintah Indonesia ialah:
- Pemerintah
Indonesia dengan jiwa besar harus mengakui kekagagalan dan kesalahan
terhadap penduduk asli Papua sejak 1 Mei 1963 sampai hari ini dan
harus mengakhiri pendudukan dan penjajahan di atas Tanah Papua.
- Pemerintah
Indonesia dan Rakyat Papua harus membuat perjanjian-perjanjian kerja sama
dalam bidang : ekonomi, keamanan, politik dan bagaimana nasib orang-orang
Melayu, Indonesia yang sudah lama berada di Papua dan termasuk penduduk
Transmigrasi.
- saya
ingatkan kepada pemerintah dan aparat keamanan, walaupun di Tanah Papua
akan dibangun sejumlah infrastruktur milite di darat, dilaut dan di udara
dan datangkan para pendatang tanpa terkendali di Tanah Papua untuk menekan
orang asli Papua, tetapi saya katakan kepada Anda semua: “ Dunia tidak
berada dalam pengawasan dan kontrol Indonesia. Indonesia sekarang sedang
dipantau dan dikontrol dengan ketat setiap detik.” Ini awasan sejak dini
dari seorang gembala umat, supaya Indonesia harus baik-baik dan perbaiki
relasi yang manusiawi dengan penduduk asli Papua, pemilik tanah dan negeri
ini. Supaya Indonesia diberkati dan dikasih oleh Tuhan.
Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan yang bertugas di Tanahnya
orang Melanesia Papua ini diharapkan supaya mempelajari dan merenungkan
nubuatan ini. ”Di Tanah ini, kita bekerja di antara satu bangsa (Papua)
yang kita tidak tahu apa maksud TUHAN buat bangsa ini. Di Tanah ini, kita boleh
pegang kemudi tetapi kita tidak menentukan arah angin, arus, dan gelombang di
laut serta tujuan yang hendak kita capai di Tanah ini. Siapa yang bekerja
dengan jujur, setia, dan dengar-dengaran pada Firman Allah di Tanah ini, maka
ia akan berjalan dari satu pendapatan heran yang satu ke pendapatan heran yang
lain” ( Pdt. Isaac Samuel Kijne, Holandia Binnen, Numbay/Abepura, 26 Oktober
1956).
Sebenarnya, Otonomi Khusus 2001 adalah kesempatan emas dan
peluang terakhir bagi Indonesia untuk membangun kembali
kepercayaan (trust) dan memulihkan hubungan harmonis dengan rakyat
Papua, tapi sayang, OTSUS GAGAL. Pemerintah Indonesia selalu memakai kaca mata
lama yaitu kecurigaan yang berlebihan kepada orang-orang asli
Papua dengan memelihara stigma separastime selama ini, dan hasilnya bayi Papua
merdeka terus bertumbuh dan berkembang di hati rakyat Papua.
Selama kurun waktu sejak 1 Mei 1963-2013 ini, hampir 49
tahun, Pemerintah Indonesia telah gagal meminimalisasi (menurunkan) atau
setidaknya menghilangkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka yang mencapai 95%
tahun 1969. Kurun waktu 49 tahun adalah waktu yang cukup panjang
tapi Pemerintah Indonesia gagal dan hanya berhasil menunjukan wajah dan watak
kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang suram terhadap penduduk asli Papua.
Pemerintah Indonesia telah gagal menjaga martabat dan kedaulatan
manusia Papua sehingga tidak berhasil menurunkan tuntutan rakyat Papua
dari mayoritas ke level minoritas atau segelintir orang. Pemerintah
Indonesia hanya sukses mengintegrasikan ekonomi dengan kekuatan politik
dan keamanan ke dalam Indonesia tapi manusia Papua disingkirkan dari
tanah leluhur mereka dan dibantai seperti hewan dengan stigma anggota OPM dan pelaku
makar. Akhirnya, ”…. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya
sendiri.” Dan tergenapilah seperti Sudjarwo mengakui: “ banyak orang
Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.”(Ketua Umum Badan
Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua)
Sumber: suarabaptisblogpost.com
0 komentar:
Posting Komentar