Oleh:
Victor F. Yeimo
Konflik
politik di Papua Barat tentang keabsaan wilayah terus dipertengtangkan.
dipertanyakan, diperbincangkan atau dikaji serta diselesaian sesuai mekanisme
hukum internasional agar diperoleh kebenarannya dan diterima oleh orang Papua
Barat dan Indonesia.
A. Penyelesaian Kasus Secara
Internasional (Sebuah Pendekatan dalam Kasus Papua Barat)
Masalah
utama bangsa Papua Barat adalah status politik wilayah Papua Barat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang belum final, karena proses memasukan
wilayah Papua Barat dalam NKRI itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap
standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM internasional oleh Amerika
Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB sendiri demi kepentingan ekonomi politik
mereka.
Karena
proses itu merupakan hasil kongkalingkong (persekongkolan) pihak-pihak
internasional, maka masalah konflik politik tentang status politik wilayah
Papua Barat harus diselesaikan di tingkat internasional. Lantas,bagaimana
menyelesaiannya? Ada 2 cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa
internasional, yaitu secara damai atau bersahabat dan secara paksa atau
kekerasan. Cara penyelesaian secara damai ada dua, yaitu secara politik dan
hukum. Secara politik meliputi negosiasi, jasa-jasa baik (good office),
mediasi, konsiliasi (conciliation), penyelidikan (inquiry), dan penyelesaian
dibawah naungan PBB2. Sedangkan secara hukum dilakukan melalui lembaga
peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama Internasional). Untuk
penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan, bisa berupa perang atau
tindakan bersenjata non perang, retorsi (retortion), tindakan-tindakan
pembalasann (repraisal), blockade secara damai (pacific blockade) dan
intervensi.
Setelah
perang dunia ke-II PBB menyeruhkan agar segala persoalan harus diselesaikan
secara damai3. Penyelesaian damai dilakukan melalui badan Arbitrase dan organ
PBB yaitu Mahkama Internasional.
1. Secara
Arbitrase berarti penyelesaian sengketa politik melalui pihak ketiga. Hal ini
sesuai kesepakatan wilayah yang bertikai. Dalam sejarah kasus Papua Barat, cara
arbitrase ini dilakukan secara sepihak oleh Belanda dan Indonesia yang menunjuk
Amerika Serikat yang pada saat itu sedang memiliki nafsu kepentingan ekonomi
(Freeport) untuk menjadi arbitrator (pihak ketiga). Perjanjian itu adalah New
York Agreement. Perjanjian ini sepihak karena tidak melibatkan orang Papua
Barat dan perjanjian itu tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan. Untuk menyelesaian
persoalan Papua Barat, pihak Indonesia dan Papua Barat harus sepakat untuk
menyerahkan penyelesaian status politik Papua Barat kepada pihak ketiga yang
ditentukan bersama.
2. Melalui
Mahkama Internasional (International Court of Justice/ICJ)4. Karena ICJ adalah
organ PBB, maka dalam penyelesaian kasusnya, harus melalui lembaga-lembaga
Internasional PBB seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan organisasi
non pemerintahan atau lembaga hukum internasional lainnya yang kapasitasnya
diakui oleh PBB. Secara umum juridiksi yang dimiliki ICJ dapat dibagi menjadi
2:
a. Juridiksi
atas kasus yang berdasarkan atas telah terjadinya sengketa, yaitu juridiksi
mahkama untuk mengadili suatu sengketa yang diserahkan kepadanya adalah
sengketa yang berhubungan dengan diterapkannya aturan-aturan atau
prinsip-prinsip hukum Internasional terhadap para pihak.
b. Juridiksi
untuk memberikan advisory opinion, yaitu juridiksi ICJ dalam memberikan
pendapat hukumnya atas persoalan hukum berdasarkan organ-organ yang memiliki
kewenangan untuk itu. Dalam kasus Papua Barat, proses penyelesaian sengketa
politik wilayah Papua Barat pada masa lalu hingga pada PEPERA 1969 itu tidak
dilakukan sesuai prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional5. Maka,
Negara-negara anggotan PBB bisa mendesak Majelis Umum PBB di setiap
pertemuannya agar meminta ICJ memberikan pendapat hukumnya atas status hukum
Papua Barat.
B.Masalah Papua Barat Harus
Diselesaian Melalui Proses Hukum di Mahkama Internasional
1. Alasan
Pembenaran
Untuk
menyelesaikan melalui proses hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu
hal-hal apa saja yang membenarkan bahwa masalah Papua Barat harus diselesaikan
di Mahkama Internasional (International Court of Justice/ICJ).
a.Papua
Barat Pernah dan Masih Menjadi Sengketa Internasional
Papua
Barat dalam proses sejarahnya pernah menjadi wilayah yang dipersengketakan dan
dalam prosesnya banyak kejanggalan seperti:
1) Dalam
pelaksanaanya Indonesia tidak mematuhi hak dan kewajiban untuk melaksanakan
berbagai perjanjian salah satunya perjanjian New York Agreement itu;
2) Terjadi
perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian internasional seperti Roma
Agreement dan New York Agreement tahun 1962;
3) Wilayah
Papua Barat telah menjadi perebutan sumber-sumber ekonomi. Contoh nyata adalah
kongkalingkong Indonesian dan Amerika Serikat dalam perjanjian kontrak karya
Freeport Mc MoRaNd tahun 1967;
4) Papua
Barat telah menjadi wilayah perebutan pengaruh ekonomi, politik atau keamanan
regional dan internasional;
5) Papua
Barat yang telah berdaulat tahun 1961 telah diintervensi kedaulatannya dengan
maksud menguasai dan menjajah oleh Indonesia dengan dikeluarkannya Trikora;
6) Poin
5 merupakan bukti penghinaan terhadap harga diri bangsa.
Hal
inilah yang masih menjadi perselisihan orang Papua dan harus menjadi
perselisihan internasional. Dan itu merupakan sebab-sebab mengapa suatu wilayah
disebut sebagai wilayah yang dipersengketakan.
b. Kasus
Papua Barat Termasuk dalam Kategori Hukum Internasional
Hal-hal
yang menyebabkan kasus Papua Barat sesuai dengan pandangan Sistem Hukum dan
Peradilan Internasional adalah:
1) Kasus
Papua Barat dalam Asas hukum Internasional
Menurut
resolusi majelis umum PBB No. 2625 tahun 1970, ada tujuh asas. Poin-poin yang
mendukung penyelesaian konflik Papua Barat adalah
a) Setiap
Negara harus menyelesaian masalah Internasional dengan cara damai. Masalah
Papua Barat adalah masalah internasional dan setiap pihak yang sedang
mempermasalahkan Papua Barat harus diselesaian secara damai;
b) Asas
persamaan hak dan penentuan nasip sendiri, kemerdekaan dan perwujudan
kedaulatan suatu Negara ditentukan oleh rakyat. Rakyat Papua Barat punya hak
dalam penentuan nasip sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu
Negara sesuai dengan kemerdekaan 1 Desember 1961.
2) Kasus
Papua Barat sebagai Subjek Hukum Internasional
Subjek
hukum internasional adalah pihak-pihak yang membawa hak dan kewajiban hukum
dalam pergaulan internasional. Menurut Starke, yang menjadi subjek hukum
Internasional adalah Negara, Individu, Organisasi Internasional, tahta suci dan
Pemberontak dan pihak yang bersengketa. Dalam keadaan tertentu pemberontak
dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dan mendapat
pengakuan sebagai gerakan pembebasan dalam menuntut hak kemerdekaannya. Contoh PLO
(Palestine Liberalism Organization).
c. Kasus
Papua Barat Sesuai Dengan Sumber-Sumber Hukum Internasional
Sumber
hukum internasional adalah sumber-sumber yang digunakan oleh mahkama
internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber
hukum internasional dibedakan menjadi dua:
1) Sumber
hukum dalam arti Material dalam aliran naturalis berpendapat sumber hukum
Internasional didasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan, dan aliran
positivism berpendapat hukum Internasional berdasarkan pada
persetujuan-persetujuan bersama dari Negara-negara ditamba dengan asas pacta
sunt servanda;
2) Sumber
hukum dalam arti Formal adalah sumber hukum dari mana kita mendapatkan atau
menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dipergunakan oleh
Mahkama Internasional, didalam pasal 38 Piagam Mahkama Internasional yang
menyebutkan sumber-sumber hukum Internasional terjadi dari: Perjanjian
Internasional (traktak), Kebiasaan-kebiasaan Internasional yang terbukti dalam
praktek umum dan diterima sebagai hukum, asas-asas umum hukum yang diakui oleh
bangsa-bangsa beradab, keputusan-kepuptusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli
hukum internasional dari berbagai Negara sebagai alat tambahan untuk menentukan
hukum dan pendapat para ahli hukum yang terkemuka.
2. Mahkama
Internasional (ICJ) Dalam Menyelesaian Masalah Papua Barat
Mahkama
Internasional atau International Court of Justice (ICJ) adalah badan kehakiman
PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Didirikan pada tahun 1946. Terdiri
dari 15 hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun.
Mereka direkrut dari warga Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti
China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris dan Perancis.
Mahkama
Internasional berfungsi untuk menyelesaian kasus-kasus internaasional sesuai
dengan pertimbanga-pertimbangan hukum Internasional yang menjadi dasar
pertimbangannya. Ada dua fungsi Mahkama dalam menyelesaian suatu kasus, yaitu
memutuskan Perkara-perkara pertikaian (contentious case) dan memberikan
opini-opini yang bersifat nasehat. Dalam menyelesaian kasus Papua Barat yaitu:
a) Bila
Orang Papua Barat dengan segala kekuatannya menjadikan wilayah Papua Barat
sebagai wilayah yang sedang bertikai maka Mahkama Internasional dapat
memutuskan pertikaian itu sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang bertikai,
dan terlebih atas desakan Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional.
b) Negara-negara
Anggota PBB mendesak Badan-badan PBB seperti Majelis Umum PBB dan Dewan
Keamanan PBB agar meminta Mahkama Internasional memberikan opini-opini yang
bersifat nasehat (advisory opinion) tentang status hukum Papua Barat. Hal ini
karena ada fakta-fakta baru dalam proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan standar-standar hukum internasional.
3.
Mekanisme Penyelesaian di Mahkama Internasional
Bila
Persolan Papua Barat Harus diselesaikan untuk mengambil keputusan final dari
Mahkama Internasional, maka bagaimana cara kerja lembaga ini?
Dua
pihak yang berperkara, yaitu Indonesia dan Papua Barat masing-masing menunjuk
lebih dahulu seorang hakim untuk mewakilinya sehingga ditambah 15 hakim tetap
Mahkama Internasional keseluruhannya menjadi 17 hakim.
Dua
belah pihak harus memaparkan apa yang menjadi inti permasalahan dalam kasus
status hukum Papua Barat.
Dalam
memaparkan inti kasus dari masing-masing pihak, pertama-tama persidangan
mengadakan tiga putaran permohonan tertulis dari kedua pihak. Hal ini karena
masing-masing akan mempresentasikan hasil kajian sejarah dan argumentasi hukum.
Setelah
persidangan mencatat semua, persidangan masuk kedalam tahap selanjutnya yaitu
mendengarkan argumentasi lisan dari pihak-pihak yang bertikai. Ini bisa
mencapai waktu berhari-hari.
Setelah
para penasehat hukum pulang, para hakim mengadakan musyawarah. Tahap musyawarah
ini bisa mencapai waktu 3-4 bulan.
Dalam
musyawarah, para hakim menyusun tanggapan pertama mereka serta
mendiskusikannya. Lalu persidangan membuat Komisi Rancangan (Drafting
Committee).
Komisi
ini menyusun secara berurutan setiap naskah pendapat para hakim dan menjadi
bahan diskusi ataupun amandemen (perubahan) dalam rapat pleno para hakim.
Dan
akhirnya muncul sebuah pendapat yang mendapat dukungan mayoritas hakim di
persidangan.
Sementara
jika ada hakim yang tidak sepakat dengan pendapat itu, bisa membuat disseting
opinion.
Kemudian
pendapat akhir Mahkama Internasional dibacakan dalam persidangan terbuka, di
depan para penasehat hukum pihak yang bertikai (pihak yang memperkarakan).
4.
Pentingnya Pengacara Internasional bagi Papua Barat (ILWP sebagai Solusi)
Pengacara
internasional atau Penasehat Hukum Internasional adalah para pakar hukum
internasional yang melakukan pembelaan hukum terhadap kasus-kasus yang
bertentangan dengan atau melanggar hukum Internasional. Pengacara Internasional
biasanya diakui secara internasional karena kontribusinya dalam membawa
kasus-kasus internasional ke lembaga Internasional sesuai dengan piagam-piagam
PBB, standar-standar serta prinsip-prinsip hukum internasional.
Karena
kasus Papua Barat adalah kasus yang berkaitan dengan proses hukum
internasional, maka penyelesaiannya harus melalui jalur hukum internasional.
Dengan demikian, pengacara internasional bagi bangsa Papua Barat adalah suatu
keharusan. Tugas-tugas pengacara internasional adalah melakukan penyelidikan
atas masalah Papua Barat dan mengkajinya sesuai hukum internasional. Pengacara
internasional atas kajian itu terus mendesak pentingnya penyelesaian masalah
Papua Barat melalui pengadilan internasional dengan cara memaksa semua
pihak-pihak internasional dan lembaga internasional untuk menyelesaikan
persoalan Papua Barat melalui jalur hukum sesuai mekanisme internasional. Tidak
sampai disitu, pengacara internasional kemudian hari ditunjuk oleh pihak Papua
Barat untuk membela kasus Papua Barat selama proses peradilan internasional
berlangsung, yaitu mempresentasikan kajian hukum tentang status Papua Barat
didepan Hakim Mahkama Internasional.
Sebaliknya,
Indonesia melalui pengacara Internasionalnya juga akan mempresentasikan materi
untuk membenarkan bahwa status hukum Papua Barat dalam NKRI itu sah menurut
kajian hukum internasional. Indonesia kini memperkuat status hukum Papua Barat
melalui resolusi Majelis Umum PBB no 2504 tahun 1971. Di Mahkama Internasional
nanti, pihak Indonesia harus bisa menjelaskan apakah proses memasukan Papua
Barat kedalam NKRI sejak tahun 1960 hingga 1969 itu sudah sah sesuai
standar-standar, prinsip-prinsip hukum internasiona dalam menyelesaikan masalah
Papua Barat.
Saat
ini telah dibentuk Internasional Lawyers for West Papua [ILWP] yang diketuai
oleh Mrs. Melinda Jankie dan terus menghimpun anggota-anggota pengacara
internasional lain di berbagai belahan dunia.
5.
Materi Papua Barat di Mahkama Internasional
Bila
proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tanggal 1 Desember 1961 hingga
1969 itu dianggap sah, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus dijelaskan oleh
Mahkama Internasional sesuai pokok-pokok yang dibicarakan dalam Sidang Mahkama
Internasional dengan menghadirkan Belanda, Amerika Serika dan Indonesia adalah:
1) Menanyakan
Belanda dan PBB apakah Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 yang dilakukan
secara defakto itu sesuai dengan mandat resolusi PBB 1514 dan atau 1541
sehingga Belanda sebagai Negara yang menduduki wilayah Papua Barat itu telah
berkewajiban memerdekakan wilayah Papua Barat dan deklarasi kemerdekaan itu
juga merupakan hasil kongres Papua Barat yang memilih wakil resmi rakyat Papua
Barat, Dewan Nieuw Guinea Raad. Bukankah ini adalah proses dekolonisasi, atau
bagian dari semangat pembentukan komisi dekolonisasi PBB?.
2) Bila
kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 sah sesuai semangat itu, maka invasi
militer Indonesia di Papua Barat atas mandat trikora 19 Desember 1961 adalah
suatu tindakan yang bertentangan dengan resolusi-resolusi, prinsip-prinsip
hukum dan HAM PBB.
3) Jika
itu sesuai dengan semangat dekolonisasi PBB yang disahkan dalam resolusi
Majelis Umum PBB No 1514 dan atau 1541 tahun 1960, maka harus dipertanyakan
mengapa PBB mengabaikan resolusi itu lalu secara sepihak PBB melalui UNTEA
menyerahkan wilayah administrasi Papua Barat ke tangan Indonesia pada tanggal 1
Mei 1963 sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan semangat memerdekakan
wilayah jajahan sesuai mandat dekolonisasi PBB.
4) Bila
proses mengalihkan kekuasaan dari tangan Belanda ke PBB dan selanjutnya ke
tangan Indonesia itu sudah sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip HAM
dan Hukum PBB, maka mengapa Perjanjanjian New York 15 Agustus 1962 yang
membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam
prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
5) Bila
keputusan New York Agreement itu disepakati secara sah, maka mengapa pada tahun
1967 Amerika Serikat dan Indonesia menandatangani kontrak karya PT. Freeport Mc
Morand yang berada di Timika, Papua Barat sebelum status Papua Barat disahkan
melalui referendum (PEPERA) tahun 1969 sesuai kesepakatan New York Agreement.
6) Bila
keputusan New York Agreement itu sah dan di terima oleh semua pihak, termasuk
rakyat Papua Barat, mengapa pelaksanaan PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai
dengan Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement yang mengatur bahwa “The
eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to
participate in the act of self determination to be carried out in accordance
whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus
dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan
penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini
tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan
cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang
dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk
memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah
disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada
di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi
kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu. Selain itu, teror,
intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969
untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer
Indonesia.
Itulah
serangkaian proses yang tidak dijalankan oleh pihak-pihak internasional sesuai
dengan standar-standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional.
Proses inilah yang harus digugat kembali. Lembaga-lembaga Internasional seperti
Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan Negara-negara angggota PBB dapat
meminta advisory opinion atau penjelasan berupa nasihat tentang prose itu dari
Mahkama Internasional.
6.
Kemungkinan Resolusi PBB
a) Pengakuan Kemerdekaan Papua Barat:
Pengakuan
bagi kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 dianggap sah oleh Mahkama
Internasional bila ternyata ditemukan fakta persidangan bahwa Kemerdekaan Papua
Barat 1 Desember 1961 telah sesuai dengan resolusi 1514 dan atau 1541 sehingga
Belanda telah sesuai dan berkewajiban memerdekakan Papua Barat, maka pengakuan
secara de jure bisa saja diberikan.
b) Referendum
Majelis
Umum dapat memberikan keputusan untuk diadakannya referendum di Papua Barat
karena Pepera 1969 yang melahirkan Resolusi Majelis Umum PBB 2504 tahun 1971
itu tidak kuat hukum (weak law) karena Indonesia dan PBB (UNTEA) tidak
dilakukan sesuai dengan Perjanjian New York Agreement atau kesemua proses itu
melanggar standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional.
C. Fokus Perjuangan di Internasional
dan Ke Internasional
Konflik
politik di Papua Barat tentang keabsaan wilayah terus dipertengtangkan.
dipertanyakan, diperbincangkan atau dikaji serta diselesaian sesuai mekanisme
hukum internasional agar diperoleh kebenarannya dan diterima oleh orang Papua
Barat dan Indonesia. Untuk itulah, maka tugas utama perjuangan di internasional
saat ini adalah menggalang solidaritas internasional, mendesak Negara-negara
anggota PBB agar membuat mosi (sikap) di Majelis Umum PBB, selanjutnya Majelis
Umum PBB merekomendasikan Pengadilan Internasional (International Court of
Justice) menjelaskan apakah proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak
tahun 1960 hingga 1969 itu sudah sah sesuai standar-standar, prinsip-prinsip
hukum internasiona dalam menyelesaikan masalah Papua Barat atau bila tidak maka
masalah Papua Barat harus diselesaian kembali melalui mekanisme internasional.
Untuk
menggugat proses yang cacat itu, maka dibutuhkan tahapan strategis yang secara
konsen diperjuangan di tingkat Internasional. Tahapan itu harus didorong melaui
proses politik maupun hukum di tingkat internasional. Paling tidak ada jalur-jalur
strategis yang sedang ditempuh seperti:
1.IPWP
dan ILWP
a) IPWP
(Internasional Parliamentarians for West Papua) atau Parkumpulan
Parlemen-Parlemen untuk Papua Barat. IPWP diluncurkan di London 15 Oktober
2008, yang kemudian dideklarasikan pada 1 Desember 2008 di gedung Parlemen
Kerajaan Inggris di London, yang diketuai oleh Andrew Smith, saat ini IPWP
telah terbentuk di Vanuatu, PNG, Uni Eropa, Republik Ceko, schotland dan
anggota Parlement negara-negara lain yang secara pribadi ikut menandatangani
untuk menjadi anggota IPWP. Anggota IPWP kini mencapai 68 orang6.
b) Internasional
Lawyers for West Papua (ILWP)7 atau Perkumpulan Pengacara-pengacara
Internasional untuk Papua Barat. ILWP diluncurkan di Brussels pada tanggal 3
April 2009 dan diketuai oleh Mrs. Melinda Jankie. Melinda Jankie adalah seorang
pengacara Internasional. Anggota ILWP terus terhimpun, dan sedang menyiapkan
kajian hukum yang selanjutnya mendorong ke Majelis Umum PBB dan Internasional
Court of Justice (Pengadilan Internasional) sebagai tempat penyelesaian seluruh
proses sejarah yang cacat itu.
2. MSG
dan PIF melalui kawasan Pasific
Selain
dua lembaga internasional bagi bangsa Papua Barat itu, tahapan poloitik yang
sudah dan terus dilakukan yaitu melalui loby politik di kawasan pasifik,
seperti:
a).
MSG (Melanesian Spearhead Groups) adalah sebuah group antar Negara-negara
Melanesia. Pertemuan MSG biasanya dilakukan setahun sekali. Dalam pertemuan itu
Negara-negara Melanesia membicarakan isu-isu penting serta kesepakatan kerja
antar Negara-negara Melanesia ini. Sampai sekarang Papua Barat belum masuk kedalam
anggota MSG karena terus diblokade oleh PNG melalui Michael Somare, sekalipun
sudah dilakukan berbagai upaya agar masalah Papua Barat dibicarakan atau paling
tidak ada delegasi Papua Barat untuk ikut MSG. Negara Vanuatu yang mendukung
hak penentuan nasip sendiri bagi bangsa Papua Barat terus berupaya namun kandas
terus menerus. Saat ini upaya terus dilakukan oleh para diplomat Papua Barat di
Fiji, PNG, Vanuatu agar Papua Barat bisa menjadi anggota MSG.
b).
PIF (Pasific Islands Forum) atau Forum Pulau-pulau (negara-negara) pasifik
adalah sebuah forum Negara-negara di wilayah pasifik yang pertemuannya
dilakukan setahun sekali. Forum ini mengagendakan dan membicarakan
masalah-masalah atau isu-isu regional (kawasan ) pacific. Sejak Belanda masih
berada di Papua Barat, delegasi bangsa Papua Barat selalu diikutkan dalam forum
ini, namun kini Papua Barat sudah tidak sebagai anggota PIF sejak penjajah
Indonesia dan kepentingan kapitalisme mengambil peran penting dalam memblokade
isu-isu Papua Barat. Berbagai upaya terus didorong agar kemudian ada delegasi
Papua Barat atau paling tidak isu Papua Barat diangkat didalam setiap pertemuan
itu.
3. Dialog
atau Perundingan oleh Mediator
Dialog
atau perundingan bisa dilakukan tanpa intervensi dari luar. Dalam proses ini kedua
bela pihak yang bertikai bisa mengambil kemauan bersama untuk dialog. Hasil
dialog tidak mengikat dan final. Tapi juga pihak yang merasa menguntungkannya,
bisa menyatakannya sebagai keputusan yang final. Dalam hasil dialog kedua pihak
yang bertikai bisa menyepakati untuk menyelesaian masalah status hukum Papua
Barat di Mahkama Internasional, atau bisa saja mengambil keputusan bersama
untuk melakukan referendum secara damai.
Dalam
pendekatan Papua Barat, Apakah dialog dengan Jakarta bisa menghasilkan kesepakatan
Jakarta dan Papua Barat untuk membawa persoalan status politik Papua Barat
untuk diselesaikan di Mahkama Internasional atau referendum? Pertanyaan ini
yang harus dijawab.
a) Indonesia
sangat mengerti gelagat politik Papua Merdeka bila terjadi dialog. Saat ini
Jakarta tahu bahwa dialog yang mempersoalkan status politik pada ujungnya akan
menguntungkan orang Papua Barat yang secara dominan ingin Merdeka, maka
Indonesia akan hati-hati dalam menyikapi wacana dialog. Terlepas dari siapa
yang harus jadi mediator.
b) Bila
Indonesia harus menerima dialog, sangat dimungkinkan status politik Papua Barat
tidak ikut didialogkan. Barangkali pihak Jakarta akan lebih menerima dialog
bila itu membicarakan tentang perbaikan Otonomi Khusus (Review Otsus), isu HAM
dan Penegakan Hukum dalam NKRI.
c) Tapi
bila tuntutan Papua Merdeka dibicarakan, maka Indonesia akan punya alasan bahwa
Otsus adalah jawaban dari tuntutan Papua merdeka, sehingga bisa saja Tuntutan
Papua Merdeka direduksi ke perbaikan Otsus. Hal ini selalu menjadi alasan
Jakarta, kalau rakyat demonstrasi tuntut Papua Merdeka atau TPN OPM buat aksi,
maka mereka dengan mudah mengatakan “itu karena mereka tidak puas”, “ itu
luapan kekecewaan pembanguan”, dan berbagai alasan lainya.
d) Dialog
dengan isu penyelesaian status politik Papua Barat hanya bisa terjadi kalau ada
desakan kuat dari rakyat Papua Barat dan pihak Internasional.
e) Dalam
dialog sangat tidak mungkin dibicarakan dan disetujui mengenai penyelesaian
masalah Papua Barat melalui solusi referendum. Hal itu kemungkinan bisa terjadi
bila Papua Barat dalam kondisi emergency secara fisik seperti Timor Leste saat
itu dan lebih utama kuatnya intervensi Internasional. Contoh kasus Sahara
Barat, sekalipun disana terjadi krisis kemanusiaan yang krusial akibat pertikaian
Sahara Barat yang ingin Merdeka dan Maroko yang masih ingin menjajah, namun
pemerintah Maroko tidak ingin menggelar referendum karena khawatir sikap rakyat
Sahara Barat yang akan memilih opsi merdeka.
f) Dalam
kondisi itu, dialog atau perundingan justru akan dipakai oleh Jakarta untuk
menghalau proses perjuangan di Internasional. Hal yang sama dilakukan Jakarta
terhadap GAM di Aceh. Masalah GAM yang pada saat itu sedang memaksa
internasional justru direduksi (dipersempit) ke persoalan Tsunami dan korban
kemanusiaan yang terjadi, sehingga resolusi dialog di Helsinki tidak banyak
menguntungkan bagi perjuangan politik GAM kedepan, yang terjadi adalah solusi
Otsus diterima dan rekonsiliasi di Aceh dalam kerangka NKRI menjadi pil pahit
yang tidak menguntungkan pihak GAM untuk penentuan nasip sendiri (Kemerdekaan
secara politik).
Dari
beberapa jalur yang ditempuh diatas, maka sebenarnya tidak ada yang salah. Yang
salah adalah ketika orang Papua Barat dan pejuang Papua Barat tidak dapat
membaca dan memetahkan solusi-solusi itu agar dapat memandang solusi itu secara
rasional (masuk akal), tanpa saling menyalahkan antara satu kubu perjuangan dan
kubu yang lainya.
Yang
rasional adalah perjuangan Papua Merdeka membutuhkan kekuatan internal Papua
Barat dan terutama Internasional yang saling mendukung. Untuk mendorong
perjuangan di tingkat Internasional dengan strategis, maka strategi
Internasional lewat MSG dan PIF harus diperjuangkan terus menerus, karena bila
isu-isu Papua Barat menjadi topik penting dalam pertemuan-pertemuan regional,
maka bukan tidak mungkin persoalan Papua Barat menjadi isue
D. Catatan-Catatan
Penting
Hal-hal
yang menjadi pertimbangan suatu Negara dalam mendukung kemerdekaan bangsa Papua
Barat
1. Sangat
kecil kemungkinan bagi sebuah Negara secara resmi mendukung kemerdekaan bangsa
Papua Barat, terlepas dari dan untuk kepentingan apapun Negara tersebut di
Papua Barat. Hal ini karena setiap Negara sesuai kode etik internasional saling
menghargai dan menghormati integritas dan kedaulatan Negara lain. Intervensi
Negara lain secara diplomatis dilakukan melalui jalur yang legal. Jalur legal
adalah bahwa suatu Negara tidak mendukung secara langsung tetapi mendukung
penyelesaian konflik suatu wilayah yang kesalahannya melibatkan pihak
Internasional, lembaga internasional seperti PBB. Oleh karena itu, bila suatu
Negara mau konsen terhadap persoalan Papua Barat maka dia harus menempu jalur
yang legal, dimana Negara-negara itu sebagai anggota PBB berhak mempersoalkan
konflik Papua Barat dengan mempertentangkan atau memaksa PBB mereview proses
memasukan Papua Barat kedalam Indonesia yang tidak sesuai dengan
standar-standar, prinsip-prinsip Hukum dan HAM PBB di Pertemuan tahunan PBB.
2. Intervensi
suatu Negara di Negara yang sedang terjadi konflik dilakukan bila suatu wilayah
yang sedang bertikai itu dalam kondisi konflik dan sangat darurat, yaitu
kondisi yang memaksa pihak-pihak internasional intervensi demi penegakan
prinsip-prinsip, standar-standar hukum dan ham internasional. Hal inipun
terjadi atas restu PBB, karena Indonesia adalah anggota PBB.
3. Saat
ini Komisi Dekolonisasi PBB masih melakukan tugas sesuai resolusi 1514 untuk
memerdekakan wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan atau masih dijajah. Ada
sekitar 16 wilayah yang menjadi tugas komisi ini. Komisi ini diketuai oleh
Marty Natalegawa yang kini menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia. Sepertinya
tidak strategis bila kasus Papua Barat dibawa lewat komisi ini.
4. Orang
Papua Barat sebagai warga pribumi Papua Barat berhak untuk menentukan nasip
mereka sendiri. Hal ini didukung oleh deklarasi Komisi Indigenous People di
PBB, dimana Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani dan
meratifikainya. Komisi ini turut memperkuat dukungan Negara-negara anggota PBB.
Ini juga menjadi alasan penting bagi jaringan Papua Merdeka diluar negeri untuk
terus mengkompanyekan dan mendesak pihak internasional dalam hal ini PBB
mengakomodir suatu mekanisme bagi hak penentuan nasip sendiri bangsa pribumi
Papua Barat.
5. Proses
internasionalisasi persoalan status politik Papua Barat akan semakin menuju
pada target seperti yang tergambar diatas bila status politik Papua Barat terus
menjadi masalah yang dipertentangkan di Papua Barat melalui aksi-aksi dengan
metode apapun. Artinya, Papua Barat harus dalam kondisi yang emergency
(darurat) agar menjadi perhatian internasional, serta mendorongnya ke tahapan
penyelesaian. Ini adalah tugas mendesak rakyat Papua Barat yang berada di
Wilayah ini. Tapi bila sebaliknya, orang Papua Barat lebih banyak bicara
Kesejahteraan, Otsus, Pembangunan dan topic-topik lain selain topik
pertentangan status politik, maka dunia internasional justru akan memihak
Jakarta agar melakukan dialog dan mendorong perbaikan di segala bidang di Papua
Barat. Lalu Jakarta akan bilang, persoalan Papua Barat adalah persoalan dalam
negeri dan harus diselesaikan didalam negeri, maka target politik perjuangan
Papua di tingkat internasional akan meleset.
6. Indonesia
dan Amerika Serikat yang masing-masing sedang menindas dan mengeksploitasi
wilayah Papua Barat akan terus mengaburkan (menghilangkan) isu perjuangan
bangsa Papua yang sedang dilakukan atas kebenaran sejarah ini dengan cara
menstigmanisasi pejuang dan jalur perjuangan yang sedang ditempuh sebagai
teroris, separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dll. Hal ini dilakukan oleh
mereka untuk terus menutupi kesalahan mereka sebagai akar persoalan Papua Barat
dan agar kepentingan ekonomi politik kedua Negara terus berlangsung di Papua
Barat
kawasan
yang bisa didorong ke PBB melalui forum-forum dan Negara-negara anggota PBB
yang ada di kawasan pasifik.
Yang
lebih penting dari itu adalah bagaimana para diplomat kita di pasifik dan di
Eropa melalui IPWP terus menggalang solidarias internasional dengan cara
mempengaruhi Negara-negara anggota PBB dan lebih penting lagi Negara pemegang
hak veto melalui kompanye, loby ke tingkat Parlement (tingkat DPR) di
Negara-negara. Parlemen adalah wakil resmi masyarakat internasional yang ada di
setiap Negara, sehingga dukungan tingkat parlemen terhadap penyelesaian Papua
Barat merupakan suara rakyat atau suara komunitas Internasional yang mau tidak
dapat memaksa pemerintahan di Negara-negara mereka untuk mengambil kebijakan,
terlepas dari kepentingan ekonomi politik Negara tersebut terhadap Papua Barat.
Semua
jaringan Papua Merdeka yang ada di setiap Negara harus menggalang (loby) ke
parlement dari Negara tersebut untuk tergabung ke IPWP agar membentuk kekuatan
bersama mendorong penyelesaian Papua Barat. Kekuatan internasional dapat
mendorong Jakarta untuk mengambil kemauan-kemauan politik dalam penyelesaian
masalah Papua Barat secara damai. Contoh: Kongresman AS yang terus memaksa
kebijakan luar negeri AS melalui draf (bill) oleh DPR AS Urusan wilayah Asia
dan Pasifik Eny Faleomavaega dan Donal Pyne untuk membentuk komisi khusus dalam
penyelesaian masalah Papua Barat. Inilah tugas-tugas yang harus dicontohi
parlement-parlement internasional yang tergabung dalam IPWP agar mendorong
negaranya membuat kebijakan-kebijakan luar negeri khususnya terhadap
penyelesaian masalah Papua Barat melalui mekanisme internasional. Berikut ini
tahapan dan tugas-tugas yang sedang didorong di tingkat Internasional secara
umum dalam penyelesaian status politik Papua Barat.
kawasan
yang bisa didorong ke PBB melalui forum-forum dan Negara-negara anggota PBB
yang ada di kawasan pasifik.
Yang
lebih penting dari itu adalah bagaimana para diplomat kita di pasifik dan di
Eropa melalui IPWP terus menggalang solidarias internasional dengan cara mempengaruhi
Negara-negara anggota PBB dan lebih penting lagi Negara pemegang hak veto
melalui kompanye, loby ke tingkat Parlement (tingkat DPR) di Negara-negara.
Parlemen adalah wakil resmi masyarakat internasional yang ada di setiap Negara,
sehingga dukungan tingkat parlemen terhadap penyelesaian Papua Barat merupakan
suara rakyat atau suara komunitas Internasional yang mau tidak dapat memaksa
pemerintahan di Negara-negara mereka untuk mengambil kebijakan, terlepas dari
kepentingan ekonomi politik Negara tersebut terhadap Papua Barat.
Semua
jaringan Papua Merdeka yang ada di setiap Negara harus menggalang (loby) ke
parlement dari Negara tersebut untuk tergabung ke IPWP agar membentuk kekuatan
bersama mendorong penyelesaian Papua Barat. Kekuatan internasional dapat
mendorong Jakarta untuk mengambil kemauan-kemauan politik dalam penyelesaian
masalah Papua Barat secara damai. Contoh: Kongresman AS yang terus memaksa
kebijakan luar negeri AS melalui draf (bill) oleh DPR AS Urusan wilayah Asia
dan Pasifik Eny Faleomavaega dan Donal Pyne untuk membentuk komisi khusus dalam
penyelesaian masalah Papua Barat. Inilah tugas-tugas yang harus dicontohi
parlement-parlement internasional yang tergabung dalam IPWP agar mendorong
negaranya membuat kebijakan-kebijakan luar negeri khususnya terhadap
penyelesaian masalah Papua Barat melalui mekanisme internasional. Berikut ini
tahapan dan tugas-tugas yang sedang didorong di tingkat Internasional secara
umum dalam penyelesaian status politik Papua Barat.
0 komentar:
Posting Komentar