Se Kalimat "Coretan Tinta Merah" Akan Mengukir Seribu Makna Dalam Segala Fenomena Kehidupan.

Selasa, 23 Februari 2016

Sengketa Perbatasan


Di Indonesia sendiri sengketa perbatasan bukan menjadi hal yang baru. Sebagai negara yang dikelilingi air, Indonesia memiliki banyak masalah perbatasan yang belum terselesaikan, antara lain; Indonesia dengan Malaysia, Indonesia dengan Singapura, Indonesia dengan Timor Leste, Indonesia dengan Filipina, Indonesia dengan Thailand, Indonesia dengan India, Indonesia dengan Australia, Indonesia dengan Vietnam, dan Indonesia dengan Palau. Masih segar di ingatan kita pada Mei lalu terjadi upaya pembangunan mercusuar oleh pihak Malaysia di Tanjung Datuk, Kalimantan Barat. Padahal, daerah ini masih belum jelas statusnya karena belum adanya penetapan garis batas antara Indonesia dan Malaysia. Maka seharusnya, tidak boleh ada kegiatan apapun yang menguntungkan salah satu pihak di wilayah tersebut.
Dalam menanggapi masalah perbatasan, Indonesia cenderung lamban dan cenderung kurang waspada (BBC Indonesia, 2014). Meskipun demikian, pada peristiwa Mei tersebut, Indonesia memberikan reaksi cepat. Mengetahui adanya pembangunan mercusuar di wilayah sengketa Tanjung Datuk, Panglima TNI menginstruksikan TNI AL untuk mengirimkan kapal perang ke wilayah tersebut dan berhasil menghentikan niatan Malaysia untuk membangun mercusuar. Kurangnya informasi dan perhatian terhadap wilayah-wilayah yang disengketakan adalah salah satu faktor yang membuat negara lain leluasa melakukan pelanggaran, selain yang telah dipaparkan diatas. Pembangunan mercusuar ini pun dilaporkan bukan berdasarkan temuan TNI AL, melainkan laporan dari warga lokal yang melihat pembangunan mercusuar dan patroli kapal Malaysia di kawasan Tanjung Datuk. Ini menandakan masih kurangnya pengawasan pemerintah terhadap wilayah sengketa.
Menariknya, isu sengketa wilayah dan klaim perbatasan menjadi salah satu topik yang diajukan pada debat capres 22 Juni lalu. Muncul sinyal bahwa keduanya menaruh prioritas terhadap masalah ini. Terhadap kasus klaim, keduanya nampaknya memiliki pandangan yang sama. Pada awal debat, capres Prabowo Subioanto menegaskan bahwa demi mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, ia akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Berkaitan dengan hal ini, pada 2009 lalu, Prabowo juga sempat memberikan komentar mengenai kasus Ambalat. Dalam memandang Ambalat, Prabowo menyatakan bahwa ia siap kembali mengangkat senjata di garis terdepan perbatasan. Capres urut dua memberikan pernyataan senada. Bahwa, jika menyangkut kedaulatan wilayah, ia akan bersikap tegas dan bersedia mengambil resiko sebagai seorang pemimpin. Meskipun, sikap yang diambil Jokowi mengarah pada diplomasi dan tidak secara terang-terangan menyebut kata “perang” ketika berhadapan dengan masalah perbatasan.
Ini merupakan kabar baik sekaligus dilemma terhadap konsistensi politik luar negeri Indonesia dan keikutsertaan Indonesia dalam ASEAN yang selalu mengedepankan cara diplomatis dalam penyelesaian konflik. Disisi lain Indonesia sudah terlalu lama bertindak pasif ketika terjadi pelanggaran perbatasan atau tindakan-tindakan kurang sopan yang melukai harga diri Indonesia. Memaknai apa yang dikatakan Prabowo, ini berarti ia akan menggunakan militer jika memang sudah menyangkut keutuhan wilayah NKRI. Namun, terdapat hal yang perlu dipertimbangkan; apakah kapabilitas militer kita sudah cukup mumpuni untuk berkonfrontasi dengan negara lawan? Kedua, ini akan menjadi tidak berkesesuaian dengan konsep million friends zero enemy yang diusung oleh kubu Prabowo/Hatta yang mengedepankan kerjasama dan diplomasi sehingga menghasilkan win-win solution. Sedangkan pernyataan Jokowi yang akan “melakukan segala daya dan upaya” dalam menanggapi kasus caplok wilayah Indonesia berarti juga mengindikasikan akan menggunakan kekuatan militer bila memang perlu untuk dilakukan demi melindungi kedaulatan negara.
Kemudian, perairan Indonesia yang merupakan rute strategis perdagangan dunia membuat kecil kemungkinan terjadinya perang. Dan sebagai negara paling besar di kawasan Asia Tenggara, jika Indonesia berperang pasti akan menimbulkan ketidakstabilitasan kawasan. Lebih lanjut, sebagai tujuan ekspor perdagangan utama dan tempat investasi banyak negara di dunia, ketidakstabilitasan dalam negeri Indonesia akan berpengaruh pada roda ekonomi mereka. Sehingga, pilihan ini justru akan mengundang intervensi negara lain yang berkepentingan terhadap baik Indonesia maupun kestabilitasan kawasan dan ekonomi mereka untuk turut campur meredam dan menstabilitaskan keadaan.
Di era hubungan internasional saat ini dimana hukum internasional memiliki peran besar dalam interaksi antar bangsa menjadikan negara-negara tidak dapat dengan mudah mendeklarasikan perang terhadap negara lain, pengecualian bagi negara major powers. Hukum internasional dan norma-norma yang dijunjung Indonesia tidak akan dengan demikian mudahnya Indonesia langgar mengingat konsistensi politik luar negeri kita selama ini selalu mengedepankan jalan damai. Namun, bukan berarti Indonesia tidak dapat bertindak tegas. Banyak hal yang dapat dilakukan Indonesia. Pencegahan adalah salah satunya. Ini bukan masa kolonialisme dimana negara lain dapat dengan mudahnya mengklaim wilayah negara lainnya, apalagi ini adalah negara berdaulat. Kasus Israel – Palestina saja hingga saat ini belum selesai. Sebelum klaim benar-benar terjadi, terdapat proses panjang yang pasti dilewati.
Wilayah-wilayah yang terancam lepas dari kesatuan Republik Indonesia dapat mulai sekarang diperhatikan betul, baik keadaan penduduk disana, maupun segala perkembangan yang ada; pelanggaran seperti pembangunan ilegal fasilitas-fasilitas yang bernilai jual, ataupun perkembangan budaya sosial dan ekonomi di wilayah tersebut. Lama tak diperhatikan, jangan-jangan bahasa yang lebih sering digunakan adalah bahasa negara seberang, atau mata uang yang digunakan jangan-jangan sudah mata uang negara seberang. Hal-hal seperti ini perlu diperhatikan sehingga peristiwa pencaplokan wilayah atau kekalahan Indonesia di mahkamah internasional dapat terhindarkan. Jika memang terjadi peningkatan tensi dengan negara bersengketa, tindakan tegas Indonesia dapat berupa penangguhan kerjasama perdagangan atau kerjasama militer. Jika memang tensi konflik antar negara sudah sangat tinggi, penangguhan lintas damai terhadap kapal-kapal berbendera negara tersebut mungkin saja dilakukan dengan alasan keamanan nasional. Masih banyak pilihan, selain langsung mendeklarasikan perang.

4. Hubungan Bilateral Indonesia – Australia
Terakhir, penulis ingin memberikan analisa terkait nasib hubungan bilateral Indonesia dengan Australia. Di awal debat, moderator sempat mempertanyakan perihal pencari suaka. Indonesia memang bukan penandatangan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang status pengungsi. Namun, Indonesia merupakan negara transit bagi manusia perahu/pencari suaka yang hendak berlayar ke negara tujuan mereka, Australia. Sejak Australia dipimpin oleh Tony Abbott terhitung 2013 lalu, pemerintahan Australia memang membuat kebijakan yang sangat keras terhadap penyelesaian masalah manusia perahu. Pemerintahan Abbott sendiri menerjemahkan manusia perahu sebagai isu yang serius bagi keamanan nasional mereka.
Meskipun pandangan terhadap Australia diangkat menjadi pertanyaan debat salah satu kandidat, namun nampak jelas bahwa isu mengenai pencari suaka tidak akan menjadi prioritas siapapun yang akan menjadi pemimpin di pemerintah Indonesia empat tahun mendatang. Namun, besar kemungkinan kerjasama manusia perahu ini akan terus berlanjut. Apalagi bila mengingat kandidat Prabowo/Hatta yang ingin melanjutkan politik luar negeri SBY dimana SBY juga melakukan kerjasama menangani masalah manusia perahu dengan Australia. Jika Jokowi yang terpilih, isu pencari suaka boleh jadi bukan prioritas bagi kebijakan luar negeri Indonesia, akan tetapi, pengamanan perairan Indonesia besar kemungkinan akan lebih ketat dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan keinginan Jokowi untuk menjadikan negara Indonesia sebagai poros maritim dunia, sehingga dengan otomatis pemerintahan Indonesia nanti akan menaruh perhatian terhadap perpindahan imigran ilegal yang melewati perairan Indonesia.
Masalah pencari suaka dengan menggunakan perahu sesungguhnya tidak dapat diselesaikan hanya melalui kerjasama Indonesia dan Australia saja. Australia harus mengajak serta negara asal para imigran untuk mengatasi permasalahan ini. Daripada menuntut Indonesia – yang tanpa masalah pencari suaka saja sudah kerepotan dengan masalah-masalah domestik negara tersebut – lebih baik Australia ikut serta membantu kestabilitasan negara-negara yang rawan konflik dimana penduduknya berpotensi mencari suaka kepada Australia melalui jalur-jalur ilegal.


Ada beberapa sebab terjadinya sengketa internasional, antara lain:
a. Politik luar negeri yang terlalu luwes atau sebaliknya terlalu kaku
Politik luar negeri suatu bangsa menjadi salah satu penyebab kemungkinan timbulnya sengketa antarnegara. Sikap tersinggung atau salah paham merupakan pemicu utama terjadinya konfl ik. Salah satu contohnya adalah sikap Inggris yang terlalu luwes (fl eksibel) dalam masalah pengakuan pemerintahan Cina. Pada akhirnya mengakibatkan ketersinggungan pihak Amerika Serikat yang bersikap kaku terhadap Cina.
b. Unsur-unsur moralitas dan kesopanan antarbangsa
Dalam menjalin kerja sama atau berhubungan dengan bangsa lain, kesopanan antarbangsa penting untuk diperhatikan dalam etika pergaulan. Sebab jika kita menyalahi etika bisa saja timbul konfl ik atau ketegangan. Hal ini pernah terjadi saat Singapura mengundurkan diri dari perjanjian dengan Malaysia, meskipun hubungan baik telah lama mereka jalin.
c. Masalah klaim batas negara atau wilayah kekuasaan
Negara-negara yang bertetangga secara geografi s berpeluang besar terjadi konfl ik atau sengketa memperebutkan batas negara. Hal ini dialami antara lain oleh Indonesia-Malaysia, India-Pakistan, dan Cina-Taiwan.
d. Masalah hukum nasional (aspek yuridis) yang saling bertentangan
Hukum nasional setiap negara berbeda-beda bergantung pada kebutuhan dan kondisi masyarakatnya. Jika suatu negara saling bekerja sama tanpa mempertimbangkan hukum nasional negara lain, bukan tidak mungkin konfrontasi bisa terjadi. Hal ini terjadi saat Malaysia secara yuridis menentang cara-cara pengalihan daerah Sabah dan Serawak dari kedaulatan Kerajaan Inggris ke bawah kedaulatan Malaysia.
e. Masalah ekonomi
Faktor ekonomi dalam praktek hubungan antara negara ternyata sering kali memicu terjadinya konfl ik internasional. Kebijakan ekonomi yang kaku dan memihak adalah penyebab terjadinya konfl ik. Hal ini dapat terlihat ketika Amerika Serikat mengembargo minyak bumi hasil dari Irak yang kemudian menjadikan konfl ik tegang antara Amerika Serikat dan Irak.

Kesimpulan
Sebagaimana telah disebutkan diawal, penulis menyajikan analisa dengan menggunakan pisau analisis pemikiran-pemikiran dari Hans J. Morgenthau. Mana yang lebih pantas untuk memimpin Indonesia saat ini penulis serahkan kepada pembaca. Yang jelas, betul bahwa tidak akan banyak perubahan terhadap politik luar negeri Indonesia kedepannya, kecuali jika kepemimpinan Indonesia nanti dipimpin oleh presiden yang ber-geopolitik maritim. Kebijakan luar negeri Indonesia mungkin akan sedikit berbeda karena negara ini akan memberi perhatian lebih besar, terlibat lebih aktif pada isu-isu maritim yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya, serta memainkan peran diplomasi maritim sebagai bargaining power Indonesia di arena internasional. Siapapun yang terpilih, empat tahun kedepan, Indonesia masih akan tetap menerapkan politik bebas aktif sebagaimana yang telah dilakukan sejak Indonesia merdeka. Dan siapapun yang nanti akan menjabat sebagai Presiden Indonesia, mudah-mudahan mampu membangun lebih besar wibawa dan bargaining power Indonesia di arena internasional.

Referensi:
BBC Indonesia (2014) ‘Indonesia “lamban” Soal Isu Perbatasan dengan Malaysia’, BBC, Mei 21, tersedia di: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/05/140521_malaysia_ indonesia_perbatasan.shtml [diakses pada 23 Juni 2014].
Drew, D. dan Snow, D. (1990) ‘Grand National Strategy’ dalam Lloyd, R., Naval War College (U.S) Force Planning Security, Fundamental of Force Planning, Vol.1, Newport: Naval War College Press, hal: 15-26.
Hatta, M. (1953) ‘Indonesia’s Foreign Policy’, Foreign Policy, April 1953, tersedia di: http://www.foreignaffairs.com/articles/71032/mohammad-hatta/indonesias-foreign-policy [diakses pada 24 Juni 2014].
Meyerson, H. (1966) The Motives of De Gaulle, New Orleans: The Times-Picayune.
Morgenthau, H. J. (2010) Politik Antarbangsa, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Till, G. (2009) Sea Power: A Guide for the Twenty-First Century, New York: Routledge.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Media Text

Media Text

Profil Text

Seiring dengan berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Tegnologi (IPTEK), belahan dunia lain (terutama Negara-negara Maju) berlomba-lomba meraih Impian yang di dambakan pada setiap Negara. Belahan dunia lain masih terbelakng; hal ini melatarbelakangi dari berbagai faktor; salah satunya adalah terbatasnya layanan IPTEK terhadap masyarakat umum. Melihat segala fenomena dalam kehidupan bangsa dan negara, maka Blogspot "WAIKATO NEWS" hadir untuk mencoba mengemukakan Opini, gagasan, ide melalui tulisan dari berbagai aspek kehidupan.

 

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Visitor

Flag Counter

Music Papua

Post Populer

 

Templates by Kidox Van Waikato | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger