Di Indonesia sendiri sengketa perbatasan bukan menjadi hal yang baru. Sebagai
negara yang dikelilingi air, Indonesia memiliki banyak masalah perbatasan yang
belum terselesaikan, antara lain; Indonesia dengan Malaysia, Indonesia dengan Singapura,
Indonesia dengan Timor Leste, Indonesia dengan Filipina, Indonesia dengan
Thailand, Indonesia dengan India, Indonesia dengan Australia, Indonesia dengan
Vietnam, dan Indonesia dengan Palau. Masih segar di ingatan kita pada Mei lalu
terjadi upaya pembangunan mercusuar oleh pihak Malaysia di Tanjung Datuk,
Kalimantan Barat. Padahal, daerah ini masih belum jelas statusnya karena belum
adanya penetapan garis batas antara Indonesia dan Malaysia. Maka seharusnya,
tidak boleh ada kegiatan apapun yang menguntungkan salah satu pihak di wilayah
tersebut.
Dalam menanggapi
masalah perbatasan, Indonesia cenderung lamban dan cenderung kurang waspada
(BBC Indonesia, 2014). Meskipun demikian, pada peristiwa Mei tersebut,
Indonesia memberikan reaksi cepat. Mengetahui adanya pembangunan mercusuar di
wilayah sengketa Tanjung Datuk, Panglima TNI menginstruksikan TNI AL untuk
mengirimkan kapal perang ke wilayah tersebut dan berhasil menghentikan niatan
Malaysia untuk membangun mercusuar. Kurangnya informasi dan perhatian terhadap
wilayah-wilayah yang disengketakan adalah salah satu faktor yang membuat negara
lain leluasa melakukan pelanggaran, selain yang telah dipaparkan diatas.
Pembangunan mercusuar ini pun dilaporkan bukan berdasarkan temuan TNI AL,
melainkan laporan dari warga lokal yang melihat pembangunan mercusuar dan
patroli kapal Malaysia di kawasan Tanjung Datuk. Ini menandakan masih kurangnya
pengawasan pemerintah terhadap wilayah sengketa.
Menariknya, isu
sengketa wilayah dan klaim perbatasan menjadi salah satu topik yang diajukan
pada debat capres 22 Juni lalu. Muncul sinyal bahwa keduanya menaruh prioritas
terhadap masalah ini. Terhadap kasus klaim, keduanya nampaknya memiliki
pandangan yang sama. Pada awal debat, capres Prabowo Subioanto menegaskan bahwa
demi mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, ia akan berjuang sampai titik darah
penghabisan. Berkaitan dengan hal ini, pada 2009 lalu, Prabowo juga sempat
memberikan komentar mengenai kasus Ambalat. Dalam memandang Ambalat, Prabowo
menyatakan bahwa ia siap kembali mengangkat senjata di garis terdepan
perbatasan. Capres urut dua memberikan pernyataan senada. Bahwa, jika
menyangkut kedaulatan wilayah, ia akan bersikap tegas dan bersedia mengambil
resiko sebagai seorang pemimpin. Meskipun, sikap yang diambil Jokowi mengarah
pada diplomasi dan tidak secara terang-terangan menyebut kata “perang” ketika
berhadapan dengan masalah perbatasan.
Ini merupakan
kabar baik sekaligus dilemma terhadap konsistensi politik luar negeri Indonesia
dan keikutsertaan Indonesia dalam ASEAN yang selalu mengedepankan cara
diplomatis dalam penyelesaian konflik. Disisi lain Indonesia sudah terlalu lama
bertindak pasif ketika terjadi pelanggaran perbatasan atau tindakan-tindakan
kurang sopan yang melukai harga diri Indonesia. Memaknai apa yang dikatakan
Prabowo, ini berarti ia akan menggunakan militer jika memang sudah menyangkut
keutuhan wilayah NKRI. Namun, terdapat hal yang perlu dipertimbangkan; apakah
kapabilitas militer kita sudah cukup mumpuni untuk berkonfrontasi dengan negara
lawan? Kedua, ini akan menjadi tidak berkesesuaian dengan konsep million
friends zero enemy yang diusung oleh kubu Prabowo/Hatta yang mengedepankan
kerjasama dan diplomasi sehingga menghasilkan win-win solution. Sedangkan
pernyataan Jokowi yang akan “melakukan segala daya dan upaya” dalam menanggapi
kasus caplok wilayah Indonesia berarti juga mengindikasikan akan menggunakan
kekuatan militer bila memang perlu untuk dilakukan demi melindungi kedaulatan
negara.
Kemudian, perairan Indonesia yang merupakan rute strategis perdagangan dunia membuat kecil kemungkinan terjadinya perang. Dan sebagai negara paling besar di kawasan Asia Tenggara, jika Indonesia berperang pasti akan menimbulkan ketidakstabilitasan kawasan. Lebih lanjut, sebagai tujuan ekspor perdagangan utama dan tempat investasi banyak negara di dunia, ketidakstabilitasan dalam negeri Indonesia akan berpengaruh pada roda ekonomi mereka. Sehingga, pilihan ini justru akan mengundang intervensi negara lain yang berkepentingan terhadap baik Indonesia maupun kestabilitasan kawasan dan ekonomi mereka untuk turut campur meredam dan menstabilitaskan keadaan.
Di era hubungan internasional saat ini dimana hukum internasional memiliki peran besar dalam interaksi antar bangsa menjadikan negara-negara tidak dapat dengan mudah mendeklarasikan perang terhadap negara lain, pengecualian bagi negara major powers. Hukum internasional dan norma-norma yang dijunjung Indonesia tidak akan dengan demikian mudahnya Indonesia langgar mengingat konsistensi politik luar negeri kita selama ini selalu mengedepankan jalan damai. Namun, bukan berarti Indonesia tidak dapat bertindak tegas. Banyak hal yang dapat dilakukan Indonesia. Pencegahan adalah salah satunya. Ini bukan masa kolonialisme dimana negara lain dapat dengan mudahnya mengklaim wilayah negara lainnya, apalagi ini adalah negara berdaulat. Kasus Israel – Palestina saja hingga saat ini belum selesai. Sebelum klaim benar-benar terjadi, terdapat proses panjang yang pasti dilewati.
Kemudian, perairan Indonesia yang merupakan rute strategis perdagangan dunia membuat kecil kemungkinan terjadinya perang. Dan sebagai negara paling besar di kawasan Asia Tenggara, jika Indonesia berperang pasti akan menimbulkan ketidakstabilitasan kawasan. Lebih lanjut, sebagai tujuan ekspor perdagangan utama dan tempat investasi banyak negara di dunia, ketidakstabilitasan dalam negeri Indonesia akan berpengaruh pada roda ekonomi mereka. Sehingga, pilihan ini justru akan mengundang intervensi negara lain yang berkepentingan terhadap baik Indonesia maupun kestabilitasan kawasan dan ekonomi mereka untuk turut campur meredam dan menstabilitaskan keadaan.
Di era hubungan internasional saat ini dimana hukum internasional memiliki peran besar dalam interaksi antar bangsa menjadikan negara-negara tidak dapat dengan mudah mendeklarasikan perang terhadap negara lain, pengecualian bagi negara major powers. Hukum internasional dan norma-norma yang dijunjung Indonesia tidak akan dengan demikian mudahnya Indonesia langgar mengingat konsistensi politik luar negeri kita selama ini selalu mengedepankan jalan damai. Namun, bukan berarti Indonesia tidak dapat bertindak tegas. Banyak hal yang dapat dilakukan Indonesia. Pencegahan adalah salah satunya. Ini bukan masa kolonialisme dimana negara lain dapat dengan mudahnya mengklaim wilayah negara lainnya, apalagi ini adalah negara berdaulat. Kasus Israel – Palestina saja hingga saat ini belum selesai. Sebelum klaim benar-benar terjadi, terdapat proses panjang yang pasti dilewati.
Wilayah-wilayah
yang terancam lepas dari kesatuan Republik Indonesia dapat mulai sekarang
diperhatikan betul, baik keadaan penduduk disana, maupun segala perkembangan
yang ada; pelanggaran seperti pembangunan ilegal fasilitas-fasilitas yang
bernilai jual, ataupun perkembangan budaya sosial dan ekonomi di wilayah
tersebut. Lama tak diperhatikan, jangan-jangan bahasa yang lebih sering
digunakan adalah bahasa negara seberang, atau mata uang yang digunakan
jangan-jangan sudah mata uang negara seberang. Hal-hal seperti ini perlu
diperhatikan sehingga peristiwa pencaplokan wilayah atau kekalahan Indonesia di
mahkamah internasional dapat terhindarkan. Jika memang terjadi peningkatan
tensi dengan negara bersengketa, tindakan tegas Indonesia dapat berupa
penangguhan kerjasama perdagangan atau kerjasama militer. Jika memang tensi
konflik antar negara sudah sangat tinggi, penangguhan lintas damai terhadap
kapal-kapal berbendera negara tersebut mungkin saja dilakukan dengan alasan
keamanan nasional. Masih banyak pilihan, selain langsung mendeklarasikan
perang.
4. Hubungan Bilateral Indonesia – Australia
Terakhir, penulis
ingin memberikan analisa terkait nasib hubungan bilateral Indonesia dengan
Australia. Di awal debat, moderator sempat mempertanyakan perihal pencari
suaka. Indonesia memang bukan penandatangan Konvensi 1951 dan Protokol 1967
tentang status pengungsi. Namun, Indonesia merupakan negara transit bagi
manusia perahu/pencari suaka yang hendak berlayar ke negara tujuan mereka,
Australia. Sejak Australia dipimpin oleh Tony Abbott terhitung 2013 lalu,
pemerintahan Australia memang membuat kebijakan yang sangat keras terhadap
penyelesaian masalah manusia perahu. Pemerintahan Abbott sendiri menerjemahkan
manusia perahu sebagai isu yang serius bagi keamanan nasional mereka.
Meskipun
pandangan terhadap Australia diangkat menjadi pertanyaan debat salah satu
kandidat, namun nampak jelas bahwa isu mengenai pencari suaka tidak akan
menjadi prioritas siapapun yang akan menjadi pemimpin di pemerintah Indonesia
empat tahun mendatang. Namun, besar kemungkinan kerjasama manusia perahu ini
akan terus berlanjut. Apalagi bila mengingat kandidat Prabowo/Hatta yang ingin
melanjutkan politik luar negeri SBY dimana SBY juga melakukan kerjasama
menangani masalah manusia perahu dengan Australia. Jika Jokowi yang terpilih,
isu pencari suaka boleh jadi bukan prioritas bagi kebijakan luar negeri
Indonesia, akan tetapi, pengamanan perairan Indonesia besar kemungkinan akan
lebih ketat dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan
keinginan Jokowi untuk menjadikan negara Indonesia sebagai poros maritim dunia,
sehingga dengan otomatis pemerintahan Indonesia nanti akan menaruh perhatian
terhadap perpindahan imigran ilegal yang melewati perairan Indonesia.
Masalah pencari suaka dengan menggunakan perahu sesungguhnya tidak dapat diselesaikan hanya melalui kerjasama Indonesia dan Australia saja. Australia harus mengajak serta negara asal para imigran untuk mengatasi permasalahan ini. Daripada menuntut Indonesia – yang tanpa masalah pencari suaka saja sudah kerepotan dengan masalah-masalah domestik negara tersebut – lebih baik Australia ikut serta membantu kestabilitasan negara-negara yang rawan konflik dimana penduduknya berpotensi mencari suaka kepada Australia melalui jalur-jalur ilegal.
Masalah pencari suaka dengan menggunakan perahu sesungguhnya tidak dapat diselesaikan hanya melalui kerjasama Indonesia dan Australia saja. Australia harus mengajak serta negara asal para imigran untuk mengatasi permasalahan ini. Daripada menuntut Indonesia – yang tanpa masalah pencari suaka saja sudah kerepotan dengan masalah-masalah domestik negara tersebut – lebih baik Australia ikut serta membantu kestabilitasan negara-negara yang rawan konflik dimana penduduknya berpotensi mencari suaka kepada Australia melalui jalur-jalur ilegal.
Ada beberapa sebab terjadinya sengketa internasional, antara lain:
a. Politik luar negeri
yang terlalu luwes atau sebaliknya terlalu kaku
Politik luar negeri suatu bangsa menjadi salah satu penyebab kemungkinan
timbulnya sengketa antarnegara. Sikap tersinggung atau salah paham
merupakan pemicu utama terjadinya konfl ik. Salah satu contohnya adalah
sikap Inggris yang terlalu luwes (fl eksibel) dalam masalah pengakuan
pemerintahan Cina. Pada akhirnya mengakibatkan ketersinggungan pihak
Amerika Serikat yang bersikap kaku terhadap Cina.
b. Unsur-unsur
moralitas dan kesopanan antarbangsa
Dalam menjalin kerja sama atau berhubungan dengan bangsa lain, kesopanan
antarbangsa penting untuk diperhatikan dalam etika pergaulan. Sebab jika
kita menyalahi etika bisa saja timbul konfl ik atau ketegangan. Hal ini
pernah terjadi saat Singapura mengundurkan diri dari perjanjian dengan
Malaysia, meskipun hubungan baik telah lama mereka jalin.
c. Masalah klaim batas
negara atau wilayah kekuasaan
Negara-negara yang bertetangga secara geografi s berpeluang besar terjadi
konfl ik atau sengketa memperebutkan batas negara. Hal ini dialami antara
lain oleh Indonesia-Malaysia, India-Pakistan, dan Cina-Taiwan.
d. Masalah hukum
nasional (aspek yuridis) yang saling bertentangan
Hukum nasional setiap negara berbeda-beda bergantung pada kebutuhan dan
kondisi masyarakatnya. Jika suatu negara saling bekerja sama tanpa
mempertimbangkan hukum nasional negara lain, bukan tidak mungkin
konfrontasi bisa terjadi. Hal ini terjadi saat Malaysia secara yuridis
menentang cara-cara pengalihan daerah Sabah dan Serawak dari kedaulatan
Kerajaan Inggris ke bawah kedaulatan Malaysia.
e. Masalah ekonomi
Faktor ekonomi dalam praktek hubungan antara negara ternyata sering kali
memicu terjadinya konfl ik internasional. Kebijakan ekonomi yang kaku dan
memihak adalah penyebab terjadinya konfl ik. Hal ini dapat terlihat ketika
Amerika Serikat mengembargo minyak bumi hasil dari Irak yang kemudian
menjadikan konfl ik tegang antara Amerika Serikat dan Irak.
Kesimpulan
Sebagaimana telah disebutkan diawal, penulis menyajikan analisa dengan menggunakan pisau analisis pemikiran-pemikiran dari Hans J. Morgenthau. Mana yang lebih pantas untuk memimpin Indonesia saat ini penulis serahkan kepada pembaca. Yang jelas, betul bahwa tidak akan banyak perubahan terhadap politik luar negeri Indonesia kedepannya, kecuali jika kepemimpinan Indonesia nanti dipimpin oleh presiden yang ber-geopolitik maritim. Kebijakan luar negeri Indonesia mungkin akan sedikit berbeda karena negara ini akan memberi perhatian lebih besar, terlibat lebih aktif pada isu-isu maritim yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya, serta memainkan peran diplomasi maritim sebagai bargaining power Indonesia di arena internasional. Siapapun yang terpilih, empat tahun kedepan, Indonesia masih akan tetap menerapkan politik bebas aktif sebagaimana yang telah dilakukan sejak Indonesia merdeka. Dan siapapun yang nanti akan menjabat sebagai Presiden Indonesia, mudah-mudahan mampu membangun lebih besar wibawa dan bargaining power Indonesia di arena internasional.
Sebagaimana telah disebutkan diawal, penulis menyajikan analisa dengan menggunakan pisau analisis pemikiran-pemikiran dari Hans J. Morgenthau. Mana yang lebih pantas untuk memimpin Indonesia saat ini penulis serahkan kepada pembaca. Yang jelas, betul bahwa tidak akan banyak perubahan terhadap politik luar negeri Indonesia kedepannya, kecuali jika kepemimpinan Indonesia nanti dipimpin oleh presiden yang ber-geopolitik maritim. Kebijakan luar negeri Indonesia mungkin akan sedikit berbeda karena negara ini akan memberi perhatian lebih besar, terlibat lebih aktif pada isu-isu maritim yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya, serta memainkan peran diplomasi maritim sebagai bargaining power Indonesia di arena internasional. Siapapun yang terpilih, empat tahun kedepan, Indonesia masih akan tetap menerapkan politik bebas aktif sebagaimana yang telah dilakukan sejak Indonesia merdeka. Dan siapapun yang nanti akan menjabat sebagai Presiden Indonesia, mudah-mudahan mampu membangun lebih besar wibawa dan bargaining power Indonesia di arena internasional.
Referensi:
BBC Indonesia (2014) ‘Indonesia “lamban” Soal Isu Perbatasan dengan Malaysia’, BBC, Mei 21, tersedia di: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/05/140521_malaysia_ indonesia_perbatasan.shtml [diakses pada 23 Juni 2014].
BBC Indonesia (2014) ‘Indonesia “lamban” Soal Isu Perbatasan dengan Malaysia’, BBC, Mei 21, tersedia di: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/05/140521_malaysia_ indonesia_perbatasan.shtml [diakses pada 23 Juni 2014].
Drew, D. dan Snow, D. (1990) ‘Grand National
Strategy’ dalam Lloyd, R., Naval War College (U.S) Force Planning Security,
Fundamental of Force Planning, Vol.1, Newport: Naval War College Press, hal:
15-26.
Hatta, M. (1953) ‘Indonesia’s Foreign Policy’, Foreign Policy, April 1953, tersedia di: http://www.foreignaffairs.com/articles/71032/mohammad-hatta/indonesias-foreign-policy [diakses pada 24 Juni 2014].
Meyerson, H. (1966) The Motives of De Gaulle, New Orleans: The Times-Picayune.
Morgenthau, H. J. (2010) Politik Antarbangsa, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Till, G. (2009) Sea Power: A Guide for the Twenty-First Century, New York: Routledge.
Hatta, M. (1953) ‘Indonesia’s Foreign Policy’, Foreign Policy, April 1953, tersedia di: http://www.foreignaffairs.com/articles/71032/mohammad-hatta/indonesias-foreign-policy [diakses pada 24 Juni 2014].
Meyerson, H. (1966) The Motives of De Gaulle, New Orleans: The Times-Picayune.
Morgenthau, H. J. (2010) Politik Antarbangsa, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Till, G. (2009) Sea Power: A Guide for the Twenty-First Century, New York: Routledge.
0 komentar:
Posting Komentar