Dari judul di atas telah menunjukkan bagaimana penulis
mengambil posisi, yaitu globalisasi sebagai sebuah situasi yang tidak bisa
dihindari keberadaanya, perlu dimanajemen ulang agar lebih peduli pada suara
dari kalangan alternatif seperti aktivis lingkungan hidup ataupun negara
berkembang, agar tidak lagi diidentikkan dengan dominasi industrialisasi dan
kapitalisme yang lebih cenderung berorientasi mencari keuntungan. Lingkungan di
sini tidak terbatas pada alam, hewan, dan tumbuhan tapi juga pada lingkungan
dimana manusia hidup seperti tetangga dan keluarga. Manajemen ini dimaksudkan
agar kerusakan lingkungan dapat diminimalisasi bukan untuk mencari siapa yang
salah, apakah globalisasi yang membuat rusak lingkungan ataukah aktor dari
globalisasi yaitu manusia karena perubahan iklim global telah menjadi isu
global yang banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat dunia saat ini, dengan
dampak yang di timbulkannya pada kelangsungan hidup bumi dan isinya.
Terkait dari sumber utama bacaan penulis yaitu
Joshepson yang menyatakan bahwa efek globalisasi ke lingkungan bisa dilihat
dari aspek kesejarahan, maka penulis akan memberikan penjabarannya serta alasan
mengapa tak sependapat dengan disertai argumen pribadi penulis yang dilandaskan
dari realita sosial maupun dari sumber bacaan yang lain. Dalam tulisannya,
Joshepson menjabarkan aspek kesejarahan yang dimaksudkannya meliputi tiga aspek
yaitu tradisional, kolonial, dan perang dingin.[1] Pertama, aspek tradisional
adalah dimana populasi semakin bertambah sedangkan jumlah sumber daya alam
(SDA) terbatas, apalagi manusia tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhannya tapi
juga keinginannya yang mengarah pada keserakahan. Secara nyata hal ini
tergambar pada tingginya tindakan pengabaian keberlangsungan lingkungan hidup,
antara lain pembukaan kawasan hutan untuk bertani dan perkebunan yangberakibat
pada rusaknya tatanan keseimbangan antara alam dan manusia. Kedua, aspek
kolonial di mana modernisasi SDA sebagian di bawa ke negara penjajah karena
para pengoloni menginginkan pemaksimalan keuntungan dan mengutamakan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri mereka terlebih dahulu daripada negara yang dijajah.
Bila mau sedikit merenung pada sejarah Indonesia di era kolonialisme, maka itu
akan mengingatkan penulis pada
perjalanan panjang proses kesadaran semangat kebangsaan rakyat Indonesia,
sekaligus membawa kesadaran bahwa bumi yang penulis pijak merupakan ibu pertiwi
yang telah merdeka ini harus dipertahankan dan dijaga bukannya dieksploitasi
terus-menerus. Aspek yang terakhir adalah Perang Dingin dimana selisih antara
populasi dan sumber daya alam menyebabkan kelaparan sehingga bantuan oleh
negara asing lebih difokuskan pada makanan seperti penanggulangan bahaya
kelaparan di Afrika sedangkan di Asia,
MNC lebih peduli pada aspek pertanian seperti bantuan teknologi canggih,
penggunaan pestisida, dan pupuk kimia yang ternyata hanya memberi keuntungan
sesaat. Keuntungannya seperti panen yang melimpah dalam waktu singkat namun
efek lanjutnya adalah degradasi lingkungan yang sangat parah serta resiko
hasil produksi yang mengandung zat kimia berbahaya akibat kemajuan proses
pembuatan makanan.
Hal ini
menunjukkan indikasi adanya program tersembunyi atau siasat tersistem dari
donatur asing baik negara ataupun non-negara agar para petani lambat laun
tergantung pada produksi teknologi pertanian buatan mereka dan mengabaikan atas
semua kerusakan yang terjadi. Ini terbukti dengan tingginya angka kemiskinan
dan adanya segelintir orang yang memiliki kekayaan yang mencolok diantara
jutaan warga miskin. Kedua, tingginya angka pengangguran dan rendahnya upah.
Ketiga, tata kelola sumberdaya alam di negara berkembang didominasi oleh pihak
asing.[2] Kekurangan dari Joshepson di sini adalah lebih menyoroti masalah
siapa yang salah namun tidak memberikan solusi bagaimana mengatasinya dan
bagaimana degradasi lingkungan itu akan berjalan linier dengan waktu yang terus
berubah. Menurut penulis tanpa adanya kapitalisme dan industrialisasipun, itu
tidak akan meniadakan kerusakan lingkungan yang sudah terjadi baik secara
alamiah seperti bencana alam maupun oleh perbuatan manusia. Tuduhan bahwa
globalisasi dan masuknya perusahaan multinasional asing merusak lingkungan juga
tidak selalu benar. Sebagai contohnya adalah pengelolaan hutan Indonesia yang
selama 34 tahun dilindungi pemerintah dan hak kelola sumber daya hutan hanya
diberikan kepada perusahaan domestik, ternyata malah merusak hutan dan
lingkungan karena berbagai alasan, misalnya manajemen yang tidak profesional
dan kasus-kasus KKN yang menyebabkan tidak efektifnya pengawasan dan
pengendalian kerusakan lingkungan. Di lain pihak industri migas yang sudah lama
mengalami 'globalisasi' malah tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang
berarti.[3]
Penulis sebanarnya juga menyadari paradoksal akan
keberadaan globalisasi memang nyata ada namun yang terpenting ini bisa
diminimalkan, di satu sisi globalisasi
membuat manusia jadi lebih bergantung pada sumber-sumber alam yang akan
menyebabkan krisis lingkungan hidup, populasi dunia yang terlalu cepat dan
banyak sehingga lahan untuk perumahan dan bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan
sudah mulai langka, pemanasan global akibat peningkatan jumlah emisi dari
industri ke atmosfer yang meningkatkan suhu global dan berdampak pada lubang di
lapisan ozon. Namun di sisi lain globalisasi memberikan konsekwensi luas dalam
berbagai segmen kehidupan rakyat dan tata kelola SDA serta para aktivis
lingkungan hidup bisa lebih kritis dan menghimbau para simpatisan lingkungan
akan bahaya yang mengancam baik dari internet maupun media informasi lain denan
lebih cepat. Selain itu berbagai negara juga semakin intensif dalam melakukan
kerjasama lingkungan hidup seperti pembuatan beberapa rezim dan pertemuan antar
negara yang membahas tentang efek pemanasan global beberapa waktu lalu. Salah
satu contohnya adalah kebijakan pemerintah Indonesia untuk bekerja sama dengan
negara-negara tetangga, seperti dalam kawasan ASEAN, untuk menangani
permasalahan lingkungan dan bahkan membuat suatu perjanjian, yang merupakan
perjanjian internasional lingkungan, di mana perjanjian ini mengikat secara
hukum dan ditandatangani antara semua negara-negara ASEAN, sebagai suatu
perjanjian yang menanggapi adanya salah satu permasalahan lingkungan, yaitu
kabut asap.
Keberadaan rezim yang ada tidak terlalu efektif mana
kala tidak didukung oleh Negara besar seperti Amerika Serikat, bahkan AS dan
beberapa Negara Barat justru meminta Negara berkembang yang mengurangi emisi
karbon dan menyalahkan pembakaran hutan dan berbagai polutan yang dihasilkan
dari aktivitas industri mereka, ini sungguh tidak adil padahal justru pusat
industrialisasi ada di Negara maju. [4] Solusi yang penulis tawarkan adalah
mulai saat ini rekonstruksi pemikiran perlu dilakukan oleh masyarakat dunia,
bahwa globalisasi seharusnya mengutamakan rakyat dan bumi.[5] Hal ini
mengisyaratkan bahwa satu-satunya cara untuk hidup adil dan damai sebagai suatu
negara bangsa dan sebagai warga dunia ialah keharusan pengarusutamaan bagi
keberlangsungan kehidupan rakyat dan bumi sebagai wujud kemandirian tata kelola
sumberdaya alam, karena globalisasi adalah situasi buatan manusia sehingga
keberadaannya adalah digunakan untuk kepentingan manusia dan lingkungannya
dengan asumsi tanpa lingkungan manusia tidak bisa hidup karena peranannya
sebagai makhluk social. [6] Hal ini didukung oleh pernyatan Stiglitz bahwa
manusia dapat mengambil kekuatan ekonomi dari globalisasi yang sejauh ini telah
menghancurkan lingkungan hidup dan membuatnya bekerja untuk melindungi
lingkungan hidup.[7] Caranya adalah aturan dan kesepakatan yang dibuat perlu
adanya sanksi bila dilanggar bukan lagi bersifat sukarela, bila perlu dibuat
hukum nasional dan internasional yang mengikat. Paling tidak dalam lingkungan
terkecil yaitu keluarga kita bisa mengajak untuk melakukan penghematan energi,
kertas, atau penanaman satu rumah minimal dengan satu pohon. Diharapkan dengan
tindakan lokal yang sederhana ini akan meluas menjadi global, jadi tidak lagi
sebatas pemikirannya yang sudah mencapai taraf global namun tidak ada aksi
nyata sama sekali. Di tingkat Negara, Bangladesh, Maladewa, Selandia Baru dan
kepulauan kecil lainnya di Asia Pasifik terancam dengan adanya pemanasan global
akibat geografinya yang kecil, mereka begitu giat merealisasikan berbagai
kebijakan dalam negeri dan luar negeri di bidang lingkungan, ini sebaiknya
didukung bahkan bila perlu dilakukan untuk menekan Negara besar agar lebih
memperhatikan aspek diluar komersialitas dan keuntungan, karena bila lingkungan
rusak maka bukan hanya aspek bisnis mereka yang terancam tapi juga keseluruhan
ekosistem dunia. Peran PBB dan organisasi regional serta internasional lainnya
sebagai lembaga dunia menjadi sangat penting dan perlu bertindak netral disini,
karena sekarang adalah era globalisasi diamana globalisasi mulai menjadi suatu
system yang menyediakan kesamaan akses dan kesempatan untuk bersuara dan
berbuat di lingkup dunia- bukan lagi dominasi sistem hegemoni AS yang
terstrukturalisasi dimana yang kuatlah yang menentukan dan memegang pengaruh.
Referensi
Anonim. 2008. Globalisasi dan Lingkungan hidup diakses
dari http:www.tempointeraktif.com diakses pada 14 April 2010
Artikel Development, Colonialism, and the Environment
oleh Paul R. Joshepson
Harsono Andi. Globalisasi Tak Seburuk yang Mereka
Duga. Diakses dari hhtp://www.kompas.com
pada 14 April 2010
Manurung, Jones Batara. 2010. Mengutamakan Rakyat dan
Bumi diakses dari http://www.mediaindonesia.com pada 14 April 2010
Stiglitz , Joseph. 2007. Making Globalization Work :
Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.
[1] Artikel Development, Colonialism, and the
Environment oleh Paul R. Joshepson
[2] Manurung, Jones Batara. 2010. Mengutamakan Rakyat
dan Bumi diakses dari http://www.mediaindonesia.com pada 14 April 2010
[3] Harsono Andi. Globalisasi Tak Seburuk yang Mereka
Duga. Diakses dari hhtp://www.kompas.com
pada 14 April 2010
[4] UNFCCC, Protokol Kyoto, dll.
[5] Op cit Manurung
[6] Anonim. 2008. Globalisasi dan Lingkungan hidup
diakses dari http:www.tempointeraktif.com diakses pada 14 April 2010
[7] Stiglitz , Joseph. 2007. Making Globalization Work
: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil. Bandung: Mizan.
0 komentar:
Posting Komentar