Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
Nota
Kesepahaman
antara
Pemerintah
Republik Indonesia
dan
Gerakan Aceh
Merdeka
Pemerintah Republik Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian
konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi
semua.
Para pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui
suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi
Republik Indonesia.
Para pihak sangat yakin bahwa
hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan
pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai
kemajuan dan keberhasilan.
Para pihak yang terlibat dalam
konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.
Nota Kesepahaman ini memerinci
isi persetujuan yang dicapai dan prinsip- prinsip yang akan memandu proses
transformasi.
Untuk maksud ini Pemerintah RI
dan GAM menyepakati hal-hal berikut:
1.
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI ACEH
1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh
1.1.1. Undang-undang baru tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
akan diundangkan dan akan mulai
berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.
1.1.2. Undang-undang baru tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
akan didasarkan pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a) Aceh akan
melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan
bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang
hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter
dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan
tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan
Konstitusi.
b) Persetujuan-persetujuan
internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan
hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh.
c) Keputusan-keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan
dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
d) Kebijakan-kebijakan
administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan
dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.1.3. Nama Aceh dan gelar
pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh
legislatif Aceh setelah pemilihan
umum yang akan datang.
1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk
pada perbatasan 1 Juli 1956.
1.1.5. Aceh memiliki hak untuk
menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk
bendera, lambang dan himne.
1.1.6. Kanun Aceh akan disusun
kembali untuk Aceh dengan menghormati
tradisi sejarah dan adat istiadat
rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.
1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan
dibentuk dengan segala perangkat upacara
dan gelarnya.
1.2.
Partisipasi Politik
1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi
tidak lebih dari satu tahun sejak
penandatanganan Nota Kesepahaman
ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai
politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi
rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu
tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini,
akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal
di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota
Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud
tersebut.
1.2.2 Dengan penandatanganan Nota
Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan
memiliki hak menentukan
calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan
di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.
1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas
dan adil akan diselenggarakan di bawah
undang-undang baru tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan
pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legislatif
Aceh pada tahun 2009.
1.2.4 Sampai tahun 2009
legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk
mengesahkan peraturan
perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.2.5 Semua penduduk Aceh akan
diberikan kartu identitas baru yang biasa
sebelum pemilihan pada bulan
April 2006.
1.2.6 Partisipasi penuh semua
orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional,
akan dijamin sesuai dengan
Konstitusi Republik Indonesia.
1.2.7 Pemantau dari luar akan
diundang untuk memantau pemilihan di Aceh.
Pemilihan lokal bisa
diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar.
1.2.8 Akan adanya transparansi
penuh dalam dana kampanye.
1.3. Ekonomi
1.3.1. Aceh berhak memperoleh
dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak
untuk menetapkan tingkat suku
bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank
Indonesia).
1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan
memungut pajak daerah untuk membiayai
kegiatan-kegiatan internal yang
resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan
internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke
Aceh.
1.3.3. Aceh akan memiliki
kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di
laut teritorial di sekitar Aceh.
1.3.4. Aceh berhak menguasai 70%
hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan
sumber daya alam lainnya yang ada
saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar
Aceh.
1.3.5. Aceh melaksanakan
pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan
laut dan pelabuhan udara dalam
wilayah Aceh.
1.3.6. Aceh akan menikmati
perdagangan bebas dengan semua bagian
Republik Indonesia tanpa hambatan
pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.
1.3.7. Aceh akan menikmati akses
langsung dan tanpa hambatan ke negara-
negara asing, melalui laut dan
udara.
1.3.8. Pemerintah RI bertekad
untuk menciptakan transparansi dalam
pengumpulan dan pengalokasian
pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar
melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya
kepada Kepala Pemerintah Aceh.
1.3.9. GAM akan mencalonkan
wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh
pada semua tingkatan dalam komisi
yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR).
1.4.
Peraturan Perundang-undangan
1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara
badan-badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif akan diakui.
1.4.2. Legislatif Aceh akan
merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh
berdasarkan prinsip-prinsip
universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
1.4.3. Suatu sistem peradilan
yang tidak memihak dan independen, termasuk
pengadilan tinggi, dibentuk di
Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
1.4.4. Pengangkatan Kepala
Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi
harus mendapatkan persetujuan
Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota
kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan
atas persetujuan Kepala
Pemerintahan Aceh, sesuai dengan
standar nasional yang berlaku.
1.4.5. Semua kejahatan sipil yang
dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan
diadili pada pengadilan sipil di
Aceh.
2. HAK ASASI
MANUSIA
2.1. Pemerintah RI akan mematuhi
Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan
Politik dan mengenai Hak- hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi
Manusia akan dibentuk untuk Aceh.
2.3. Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
3. AMNESTI
DAN REINTEGRASI KE DALAM MASYARAKAT
3.1. Amnesti
3.1.1. Pemerintah RI, sesuai
dengan prosedur konstitusional, akan memberikan
amnesti kepada semua orang yang
telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari
sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.2. Narapidana dan tahanan
politik yang ditahan akibat konflik akan
dibebaskan tanpa syarat secepat
mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman
ini.
3.1.3. Kepala Misi Monitoring
akan memutuskan kasus-kasus yang
dipersengketakan sesuai dengan
nasihat dari penasihat hukum Misi Monitoring.
3.1.4. Penggunaan senjata oleh
personil GAM setelah penandatanganan Nota
Kesepahaman ini akan dianggap
sebagai pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang
bersangkutan memperoleh amnesti.
3.2. Reintegrasi kedalam
masyarakat
3.2.1. Sebagai warga negara Republik
Indonesia, semua orang yang telah
diberikan amnesti atau dibebaskan
dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh
semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara
bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.
3.2.2. Orang-orang yang selama
konflik telah menanggalkan kewarganegaraan
Republik Indonesia berhak untuk
mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.
3.2.3. Pemerintah RI dan
Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk
membantu orang-orang yang
terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam
masyarakat. Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi
mantan pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan
masyarakat yang terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan
Pemerintah Aceh akan dibentuk.
3.2.4. Pemerintah RI akan
mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda
publik dan perorangan yang hancur
atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.
3.2.5. Pemerintah RI akan
mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang
memadai kepada Pemerintah Aceh
dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam
masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena
dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:
a) Semua mantan
pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau
jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu
bekerja.
b) Semua
tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian
yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh
apabila tidak mampu bekerja.
c) Semua rakyat
sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima
alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak
dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
3.2.6. Pemerintah Aceh dan
Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama
Penyelesaian Klaim untuk
menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.
3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki
hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai
polisi dan tentara organik di
Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.
4. Pengaturan
Keamanan
4.1. Semua aksi kekerasan antara
pihak-pihak akan berakhir selambat- lambatnya pada saat penandatanganan Nota
Kesepahaman ini.
4.2. GAM melakukan demobilisasi
atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam
maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota
Kesepahaman ini.
4.3. GAM melakukan
decommissioning semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh para
anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM
sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata.
4.4. Penyerahan persenjataan GAM
akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan dilaksanakan dalam empat
tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005.
4.5. Pemerintah RI akan menarik
semua elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh.
4.6. Relokasi tentara dan polisi
non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan akan dilaksanakan
dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap
tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.
4.7. Jumlah tentara organik yang
tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan
polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.
4.8. Tidak akan ada pergerakan
besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua
pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya
kepada Kepala Misi Monitoring.
4.9. Pemerintah RI melakukan
pengumpulan semua senjata illegal, amunisi
dan alat peledak yang dimiliki
oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.
4.10. Polisi organik akan
bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan
ketertiban di Aceh.
4.11. Tentara akan bertanggung
jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh.
Dalam keadaan waktu damai yang
normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.
4.12. Anggota polisi organik Aceh
akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh
dan di luar negeri dengan
penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.
5.
PEMBENTUKAN MISI MONITORING ACEH
5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM)
akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara- negara ASEAN yang ikut serta dengan
mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.
5.2. Tugas AMM adalah untuk:
a) Memantau
demobilisasi GAM dan decomissioning persenjataannya.
b) Memantau
relokasi tentara dan polisi non-organik.
c) Memantau
reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat.
d) Memantau
situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini.
e) Memantau
proses perubahan peraturan perundang-undangan.
f) Memutuskan
kasus-kasus amnesti yang disengketakan.
g) Menyelidiki
dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini.
h) Membentuk
dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak.
5.3. Status Persetujuan Misi
(SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah Nota
Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa,
dan kekebalan AMM dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta
yang telah diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis
penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.
5.4. Pemerintah RI akan
memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini,
Pemerintah RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang
ikut serta dan menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.
5.5. GAM akan memberikan semua
dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis
surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan komitmen
dan dukungannya kepada AMM.
5.6. Para pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga dan stabil bagi AMM dan menyatakan
kerjasamanya secara penuh dengan AMM.
5.7. Tim monitoring memiliki
kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang
tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para
pihak tidak memiliki veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan
operasional AMM.
5.8. Pemerintah RI bertanggung
jawab atas keamanan semua personil AMM di Indonesia. Personil AMM tidak membawa
senjata. Bagaimanapun juga Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian
bahwa patroli tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI.
Dalam hal ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan
bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut.
5.9. Pemerintah RI akan
menyediakan tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim pengumpul
senjata bergerak (mobile team) bekerjasama dengan GAM.
5.10. Penghancuran segera akan
dilaksanakan setelah pengumpulan senjata
dan amunisi. Proses ini akan
sepenuhnya didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.
5.11. AMM melapor kepada Kepala
Misi Monitoring yang akan memberikan
laporan rutin kepada para pihak
dan kepada pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau
kantor yang ditunjuk di Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.
5.12. Setelah penandatanganan
Nota Kesepahaman ini setiap pihak akan
menunjuk seorang wakil senior
untuk menangani semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota
Kesepahaman ini dengan Kepala Misi Monitoring.
5.13. Para pihak bersepakat atas
suatu pemberitahuan prosedur
tanggungjawab kepada AMM,
termasuk isu-isu militer dan rekonstruksi.
5.14. Pemerintah RI akan
mengambil langkah-langkah yang diperlukan
berkaitan dengan pelayanan medis
darurat dan perawatan di rumah sakit bagi personil AMM.
5.15. Untuk mendukung
transparansi, Pemerintah RI akan mengizinkan akses
penuh bagi perwakilan media
nasional dan internasional ke Aceh.
6. PENYELESAIAN
PERSELISIHAN
6.1. Jika terjadi perselisihan
berkaitan dengan pelaksanaan Nota
Kesepahaman ini, maka akan segera
diselesaikan dengan cara berikut:
a) Sebagai
suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini
akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para
pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala
Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
b) Jika Kepala
Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan
cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh
Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya,
Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
c) Dalam
kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu
cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan
secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik
Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management
Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah
berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management
Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.
***
Pemerintah RI dan GAM tidak akan
mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota
Kesepahaman ini.
***
Ditandatangani dalam rangkap tiga
di Helsinki, Finlandia, pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005.
A.n.
Pemerintah Republik Indonesia,
Hamid
Awaluddin
Menteri
Hukum dan HAM
A.n. Gerakan
Aceh Merdeka,
Malik Mahmud
Pimpinan
Disaksikan
oleh,
1) Martti
Ahtisaari
2) Mantan
Presiden Finlandia
3) Ketua Dewan
Direktur Crisis Management Initiative
4) Fasilitator
proses negosiasi
Sumber : http://acstf.org
0 komentar:
Posting Komentar