“Pemerintah pusat melihat selama ini implementasi pembangunan di
Provinsi Papua dan Papua Barat itu belum dilaksanakan sebagaimana harapan
pemerintahan.”
Reba menambahakan, kebijakan UP4B mungkin tak pernah ada
jika kemudian pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua
maupun Papua Barat itu tercapai sebagaimana apa yang diharapkan
pemerintah pusat. Namun, lagi-lagi dia mengatakan, pihaknya optimis UP4B bisa
menyelesaikan persoalan di Papua dan Papua Barat, tetapi masyarakat harus
bersinergi dengan pemerintah daerah, provinsi maupun kabupaten/kota. “Ini
yang sebenarnya kita harapkan, sebab kalau tidak, saya juga agak ragu,
jangan sampai kemudian UP4B ini menimbulkan ketidaksinergian antara
pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dengan pemerintah pusat.
Dan jangan sampai muncul sikap acuh tak acuh rakyat Papua terhadap
berbabagai kebijakan yang dilakukan terkait UP4B,” tambahnya.
Hal senana juga dikatakan Ketua Pansus Otonomi Khusus Papua
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Paulus Sumino. Keputusan pemerintah
membentuk UP4B, kata Paulus, harus disikapi dengan baik. “Pembentukan UP4B
bertujuan mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat,
kami menyambut baik hal ini,” ujar Paulus di Jakarta, Jumat (18/11) lalu.
Paulus menambahakan, pem-bentukan UP4B jangan diartikan sebagai
bentuk kegagalan otonomi khusus. Studi referensi dari negara-negara lain
membuktikan, bahwa proses tercapainya kesejahteraan rakyat lokal di daerah
otonomi khusus memang membutuhkan waktu yang panjang.
“Pelaksanaan otsus di Papua yang baru berjalan 10 tahun belum
dapat dikatakan gagal, masih diperlukan adanya perbaikan-perbaikan agar
masyarakat Papua dapat mencapai kesejahteraan yang diimpikan,” kata Paulus. Dia
berharap, otsus Papua bisa diperbaiki dan dipercepat dengan adanya UP4B.
Sementara itu, bantahan datang dari tokoh gereja Papua, Socratez
Sofyan Yoman. Dia menolak UP4B yang dibentuk pemerintah pusat untuk
menangani berbagai persoalan politik dan Hak Asasi Manusia (HAM). Socratez
menilai UP4B tidak akan menyelesaikan persoalan di Papua. “Kami menolak
kehadiran UP4B karena tidak menyelesaikan masalah di Papua. Pemerintah pusat
segera berdialog dengan rakyat Papua dan dimediasi pihak internasinal yang
netral,” ujar penulis buku bertajuk Otonomi, Pemekaran dan Merdeka, ini.
Socratez menambakan, perjuangan rakyat Papua selama ini ialah
menentukan nasib sendiri. “Sejarah yang cacat harus diluruskan. Pemerintah
harus menjawab mengapa negara Papua yang telah ada tahun 1961 dianggap tidak
sah. Dunia internasional harus dihadirkan, termasuk Amerika, Belanda dan
organisasi dunia PBB, mari kita duduk bicara status Papua, itu saja,” tambahnya
Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persektuan Gereja-Gereja Baptis
Papua ini mengatakan, “Letak harga diri orang Papua ialah ketika dunia,
termasuk Indonesia menghargai hak hidup orang Papua, itu saja. Bukan malah
menawarkan UP4B yang sudah gagal bersamaan dengan otonomi khusus.”
Lalu apa yang harus dilakukan? Menurutnya, yang harus dilakukan
warga Papua saat ini adalah tenang dan menunggu dengan sabar. “Masalah Papua
sudah ditangani lewat mekanisme internasional, sehingga jangan bikin gerakan di
luar itu, biar dunia internasional yang menyelesaikannya,” katanya.
Dialog ditolak
Pemerintah sendiri dalam mengatasi gejolak Papua merdeka, telah
mengirim utusan khususnya. Orang yang dipercaya yakni Farid Husein. Dia diberi
tugas untuk mencari solusi secara kekeluargaan, dan menyeluruh.
Upaya dialog diharapkan bisa melahirkan hasil positif, paling
lambat Agustus 2012 ini. Penunjukkan Farid berdasarkan pengalamannya bersama
mantan Jusuf Kalla dalam mendamaikan Gerakan Aceh merdeka (GAM) di Aceh dan
sejumlah daerah konflik lainnya, seperti Poso dan Ambon.
Sementara itu, Lambertus Pekikir, Koordinator Umum Organisasi
Papua Merdeka, Senin (21/11). mengatakan, jangan bikin dialog macam-macam,
dialog tidak akan membuat Papua aman, justru yang terjadi nanti adalah polemik
yang sangat panjang.
Lambert mengatakan, terkait hari jadi kemerdekan Papua Barat
pada 1 Desember 2011 mendatang, OPM berjanji tidak akan mengibarkan Bendera
Bintang Kejora. “Itu sudah keputusan dari markas besar OPM, kalau ada yang
mengibarkan, di luar tanggung jawab kami dan polisi bisa menangkap mereka,”
kata Lambert.
Dia menambahkan, instruksi pelarangan pengibaran Bintang Kejora
diambil setelah berbagai insiden yang menewaskan warga sipil di Papua.
Pengibaran terakhir ketika pembukaan Kongres Papua III di Lapangan Zakeus,
Padang Bulan, Abepura, Jayapura, 19 Oktober 2011 lalu. Kongres tersebut
dibubarkan paksa kepolisian hingga menewaskan tiga orang warga.
OPM tetap berada pada jalurnya yakni menunggu peninjauan ulang
Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Papua. “Kita hanya menginginkan agar resolusi
2504 diubah oleh PBB, kalau itu sudah dilakukan, mau bikin kongres merdeka pun
terserah,” katanya.
Hotman J. Lumban Gaol
0 komentar:
Posting Komentar