LAHIR
dan mati adalah peristiwa harian. Tapi kematian dua orang pada akhir 2009
mendapat perhatian khusus karena bertepatan dengan penutupan tahun, dan karena
yang wafat adalah dua tokoh seperti Gus Dur dan Frans Seda. Gus Dur wafat pada
30 Desember pukul 18.45, dan Frans Seda menyusul sehari sesudahnya, pukul
05.00. Keduanya berpulang sebagai pribadi yang penting dan menarik, sebagai
pemimpin yang meninggalkan jejak, baik pemimpin golongannya maupun pemimpin berkaliber
nasional.
Gus
Dur tumbuh sebagai tokoh civil society. Bergerak dari Pesantren Tebuireng
sebagai pendidik, pemikir, dan penulis yang subur, ide-idenya tentang
pesantren, kiai, serta peran Islam kemudian berkembang menjadi gagasan yang
melampaui batas komunal ke arah demokrasi, hak-hak asasi, problem
mayoritas-minoritas, pentingnya pluralisme, pemerintahan sipil dan kedudukan
serta peran agama-agama dalam kehidupan dunia. Sebuah puncak penting kariernya
dalam civil society adalah ketika dia berhasil menduduki pucuk pimpinan
Nahdlatul Ulama untuk tiga periode selama 15 tahun, dan mencoba meng-embuskan
berbagai ide pembaruan ke dalam organisasi ini. Kalau sekarang diributkan
perhatian pemimpin na-sional terhadap kebudayaan dan kesenian, Gus Dur adalah pre-siden
yang pernah menjadi Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta,
1982-1985.
Pergeserannya
ke dunia politik dimulai dengan pembentukan Forum Demokrasi, pembentukan Partai
Kebangkitan Bangsa, pemberian akses dan kesempatan kepada kader-kader muda
untuk tampil dalam politik, sebelum akhirnya menjadi Presiden Republik
Indonesia untuk masa jabatan relatif singkat, yang kemudian ber-akhir tanpa
“happy ending”. Dalam masa demikian singkat dia sanggup memberikan kesempatan
kepada kalangan sipil untuk menjadi pemeran utama politik nasional, dengan
mendorong secara bertahap mundurnya ABRI dari keter-libatan sosial-politiknya.
Perubahan itu, yang sempat dikhawa-tirkan akan membawa pergolakan, telah
berlangsung -relatif da-mai, meskipun bukan tanpa persoalan. Gaya hidup dan
gaya kepemimpinannya pun sedikit-banyak membuat kekuasaan menjadi sesuatu yang
profan dan prosais, ser-ta dirontokkan auranya yang seakan-akan sakral dan
-eso-terik.
Sampai
tingkat tertentu, dia menunjukkan bahwa politik tidak harus diperlihatkan
sebagai sofistikasi yang tidak dipahami orang banyak, dan tidak perlu
dilaksanakan dengan gaya penuh citra agung dan mulia. Ucapannya yang menjadi
pameo politik, “Gitu aja kok repot”, memperlihatkan keyakinannya bahwa politik
melibatkan semua warga negara dan seluruh lapisan masyarakat, dan karena itu
harus bisa dipahami oleh sebanyak mungkin orang. Politics for everyone
sebaik-baiknya dihayati dan diungkapkan melalui good common sense. Itu
sebabnya, humor merupakan bagian yang utuh dari pergaulan sosial dan wacana
politiknya, karena humor membuat politik dapat dipahami dengan cara yang jenaka
seraya mengandung kecerdasan sekaligus populis.
Dalam
sosiologi agama dikenal dua kecenderungan pe-nguasa dunia dan penguasa agama.
Penguasa dunia dengan kekuasaan besar cenderung memperluas wilayah kekuasaannya
ke bidang agama, dan terjebak dalam caesaropapisme. Sebaliknya, penguasa agama
yang dipuja umatnya cenderung memperluas kekuasaannya ke bidang politik, dan
jatuh ke dalam hierokrasi yang berpuncak pada teokrasi. Gus Dur adalah pemimpin
agama dengan legitimasi tradisional yang kuat dari kakeknya sebagai pendiri NU.
Dia kemudian memegang kekuasaan politik tertinggi di republik ini, dan
memberikan contoh yang patut diingat, bahwa kekuasaan politik janganlah
dicampurbaurkan dengan otoritas keagamaan, meskipun pada suatu saat kedua
otoritas itu berada di satu tangan.
Sementara
Gus Dur bergerak dari civil society ke politik kenegaraan, Frans Seda menempuh
jalur sebaliknya. Perjumpaannya dengan Kasimo seusai studinya di Universitas
Tilburg, Belanda, merupakan semacam Wahlverwandtschaft dalam pengertian Max
Weber, yaitu bertemunya dua faktor yang saling menunjang, tanpa dapat
dipastikan hubungan sebab-akibat relasi itu. Apakah intuisi politiknya
menyebabkan Seda memilih Kasimo sebagai mentornya, atau Kasimolah yang
memperkenalkan politik sebagai cakrawala dengan tantangan yang menggoda bagi
seorang lulusan universitas yang siap bekerja? Seda bergabung dengan Partai
Katolik Indonesia pada 1950-an yang dipimpin oleh Kasimo, kemudian menjadi
ketuanya, masuk parlemen, kemudian ditunjuk Soekarno sebagai Menteri
Perkebunan.
Sejak
itu jabatan menteri demi jabatan menteri diembannya, juga setelah pemimpin
nasional beralih dari Bung Karno ke Soeharto. Tentu saja hal ihwal negara dan
bangsa bukan sesuatu yang baru buat dia, karena Seda telah terlibat dalam
perjuangan bersenjata menentang Belanda selagi bersekolah di Muntilan, sebelum
meneruskan pendidikan di HBS Surabaya. Lahir dan besar di pulau kecil, Flores,
yang masuk buku sejarah karena Soekarno pernah dibuang ke sana, dan menjadi
anggota kelompok Katolik yang merupakan minoritas, Seda selalu tampil mewakili
kelompoknya dengan mengibarkan bendera Katolik dalam politik Indonesia tanpa
bimbang dan tanpa kompleks rendah diri. Dia menghayati dan mewujudkan prinsip
moral politik yang diajarkan Mgr. Soegijopranoto, Uskup Semarang, yang dikenal
dekat dengan Bung Karno. Seorang Katolik Indonesia haruslah 100 persen Katolik
dan 100 persen Indonesia.
Dengan
asas itu dia menerobos ketertutupan kelompok-nya, bergaul dan bersahabat dengan
tokoh dan umat agama lain. Setelah Soekarno jatuh dan pemerintahan diambil alih
oleh Soeharto, umat Katolik harus menentukan orientasi, khususnya terhadap
kelompok Islam yang dihadapi sebagai mayoritas. Tanpa ragu Seda mengatakan
kepada kelompoknya bahwa umat Islam adalah teman seperjuang-an umat Katolik,
sama seperti sikapnya terhadap kelompok agama lain.
Sebagai
politikus, dia memberikan perhatian kepada penguatan civil society. Dia
melibatkan diri dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, dengan
mendirikan Universitas Katolik Atma Jaya pada Juni 1960. Dalam kalangan
pendidikan tinggi Katolik, inilah satu-satunya universitas Katolik di
Indonesia, dan mungkin salah satu dari sedikit universitas Katolik di dunia,
yang didirikan dengan prakarsa yang seluruhnya berasal dari kalangan nonklerus.
Universitas ini mencantumkan dengan jelas atribut “Katolik” dalam namanya
karena, dalam keyakin-an Seda, sebagai seorang Katolik, I have nothing to lose and
I have everything to gain, sebagaimana pernah dikatakannya kepada seorang
penulis asing.
Dia
juga menjadi perintis dengan peran yang menentukan berdirinya harian Kompas,
pada 28 Juni 1965. Beberapa kali dia bercerita dengan jenaka kepada penulis
tentang usul untuk mendirikan sebuah surat kabar Katolik yang disampaikannya
kepada Jenderal Achmad Yani. Sang jenderal mengatakan akan mempertimbangkannya
dengan syarat Seda dapat mengumpulkan 5.000 tanda tangan yang mendukung gagasan
itu. Dengan caranya yang praktis, Seda mengerahkan 5.000 tanda tangan yang
dikumpulkan dari para guru dan pegawai negeri sipil di Flores, dan di-serahkan
ke Jakarta.
Gus
Dur dikenal sebagai tokoh pluralis yang gigih membela hak-hak minoritas. Pada
pemakamannya, wakil-wakil minoritas itu hadir dan memberikan penghormatan
terakhir secara khusyuk. Sebagai pemimpin organisasi massa terbesar, dia
bergerak lintas komunal, dan membuat tiap orang, juga dari golongan-golongan
kecil, merasa at home di negeri ini. Pluralisme adalah cara seseorang dari
kelompok besar menempatkan diri secara wajar di antara saudara-saudara lain
dari kelompok kecil. Seda adalah pemimpin minoritas yang yakin bahwa seorang
dari kelompok kecil dapat menjadi bagian sah dari bangsa ini karena sumbangan
yang diberikan dalam perjuangan nasional. Maka nasionalisme adalah surat
jaminan bahwa sebuah minoritas berhak mendapat tempat yang layak di tengah
bangsa Indonesia yang besar.
Di
tengah industri pencitraan yang berkembang melalui media, juga untuk berbagai
kepentingan politik, perilaku dan kepribadian Gus Dur dan Frans Seda memberikan
kontras yang tajam. Mereka tampil apa adanya, tidak berusaha memperlihatkan
diri lebih unggul daripada yang sebenarnya, tapi dengan sikap percaya diri yang
membuat orang lain akhirnya menerima mereka seperti apa adanya. Pada Gus Dur
hal itu kadang kala menimbulkan kesulitan protokoler ketika dia menjadi
presiden. Pada Seda, seba-gaimana dilukiskan oleh rekannya, Emil Salim, dia tak
menyembunyikan diri sebagai anak desa yang berasal dari Flores, dan bahkan
memperlihatkan kebanggaan tertentu dengan atribut itu.
Citra
dapat menciptakan suatu simulakrum, kata para ahli post-modernis. Identitas
seseorang dapat dikonstruksikan melalui berbagai teknik yang menggarap
penampil-an, gerak-gerik, dan outfit. Tapi kehadiran dua tokoh itu di tengah
kita memberikan pengalaman sebaliknya: bukan citra yang membuat seseorang
menjadi pemimpin, tapi pemimpin sejati menciptakan citranya sendiri dan, kalau
dapat, juga citra bangsa yang dipimpinnya.
11
Januari 2010
*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Biografi singkat Ignas Kleden dari majalahbasis.com:
Dilahirkan di Waibalun, Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948. Sempat bersekolah di sekolah calon pastor berkat lulus dengan predikat terbaik disekolah dasar. Namun keluar dari sekolah tersebut lantaran tidak bisa berkhotbah dengan baik. Ia Lalu memilih menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi/STFT Ledalero, Maumere, Flores (1972), meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman (1982), dan meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).
Ketika masih di tinggal Flores, ia sudah sering berhubungan dengan majalah Basis di Yogya, Budaya Jaya di Jakarta, dan menulis artikel semipolemik untuk majalah TEMPO. Ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.
*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Biografi singkat Ignas Kleden dari majalahbasis.com:
Dilahirkan di Waibalun, Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948. Sempat bersekolah di sekolah calon pastor berkat lulus dengan predikat terbaik disekolah dasar. Namun keluar dari sekolah tersebut lantaran tidak bisa berkhotbah dengan baik. Ia Lalu memilih menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi/STFT Ledalero, Maumere, Flores (1972), meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman (1982), dan meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).
Ketika masih di tinggal Flores, ia sudah sering berhubungan dengan majalah Basis di Yogya, Budaya Jaya di Jakarta, dan menulis artikel semipolemik untuk majalah TEMPO. Ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.
http://majalah.tempointeraktif.com/