Se Kalimat "Coretan Tinta Merah" Akan Mengukir Seribu Makna Dalam Segala Fenomena Kehidupan.

Tampilkan postingan dengan label PORTAL PASIFIK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PORTAL PASIFIK. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Maret 2016

Profil : Republik Federal West Papua




Nama Negara        : Republik Federal West Papua
Negara Bagian       : Mamta, Ha Anim, Domberai, Bomberai, Saireri, La Pago, & Mee Pago
Lambang Negara   : Mambruk
Mata Uang             : Golden Papua
Lagu Kebanggsaan: Hai Tanahku Papua Papua Barat
                                    
SHDRP: Sekuriti Organisasi Sosial, Sekretariat bekerja sama dengan HOMAI AMPTPI Perlu kita ketahui bersama istilah dan atau pemahaman dari pada negara yang sudah dideklarasikan dalam Kongres Rakyat Papua (III) pada tanggal 19 Oktober 2011 itu adalah Negara Merdeka Utuh dan Berdaulat penuh terlepas dari kekuasaan atau kedaulatan negara manapun di dunia ini termasuk Indonesia. Kata lain adalah Papua Merdeka secara Politik dari Indonesia.
Republik berasal dari bahasa Junani yang terdiri dari kata ``RES`` dan ``PUBLIKA`` yang artinya RES adalah KEKUASAAN dan PUBLIKA adalah RAKYAT, dengan demikian pengertian REPUBLIK yang di Deklarasikan dalam Kongres Rakyat Papua (III) pada tanggal 19 Oktober 2011 adalah Kekuasaan atau kedaulatan ini ada pada Pundak Rakyat Papua dari 7 wilaya adat yang tak terkecuali.
Federal Arti kata Federal adalah ``BAGIAN`` di negara Amerika serikat mereka gunakan Negara bentuk Serikat dan Federal, di Eropa digunakan Un/Union, dan inggris disebut Pesemakmuran. Di Papua Barat digunakan dengan istilah lain yang menjadi ciri dan identitas tersendiri, yaitu FEDERAL. Papua menggunakan istilah FEDERAL bukan berarti Papua merdeka dan masih berada dibawa kekuasaan NKRI, tetapi istilah ini digunakan dengan alasan: BUDAYA dan SEJARAH menurut Emes Renan (1882) konsep kebangsaan setidaknya menampilkan dua hal, yaitu HISTORIS berupa kesamaan Nasip dan perjuangan masa lalu, dan kedua adalah aspek solidaritas berupa keinginan untuk hidup bersama, alasannya Budaya memberi kita inspirasi bahwa di Tanah Papua terdapat 257 suku lebih yang berbeda dan terbagi dalam 7 Wilaya adat yang selanjutnya disebut dengan 7 Negara Bagian. Sejarah menceriterakan kepada kita bahwa perjuangan rakyat papua telah dimulai dari tahun 1961. penggunaan Negara Federal lebih dimaksudkan untuk menjaga keutuhan, kesatuan, dan kekompakan.

Penjabaranya adalah
1. Karena kita ketahui bersama bahwa perancang profil Negara Republik Federal Papua Barat memang telah di pikirkan lalu dipertimbangtkan dalam konteks budaya dan sejara papua semenjak dahulu sekarang dan sampai untuk 100/200 tahun kedepan maka Papua dibentuk Negara Federal yang artinya Negara merdeka dan berdaulat penuh secara politik dan didalamnya di bagi menjadi 7 Negara bagian yang akan dibawa kendali oleh Perdana Mentri sesuai dengan versi budaya masing-masing sebagaimana telah ada 7 wilaya adat untuk tetap mempertahankan jati diri sebagai anak papua yang memiliki norma dan nilai budaya yang telah diberikan dari Tuhan kepada leluhur kita sampai yang ada ini dan tetap dipertahankan untuk jangka waktu yang tidak menentu.

2. Sejarah tela mencatatat bahwa di Papua telah ada 2 Blok yaitu Blok Gunung dan Blok Pante yang sementara masih gencar isu tetap terbangun dimana-mana dan hal ini merupakan salah satu hambatan buat penyatuan persepsi demi keutuhan Pulau Papua dan seisinya, sehingga sebagai alternativ pemikir menarik salah satu alasan dari bentuknya Negara Federal, agar tidak terjadi pemikiran Blok antara Papua Gunung dan Papua Pante lagi sehingga Papua utuh dalam segalah aspek untuk mengatur Negaranya.

3. Kami ketahui bahwa Papua dikenal sebagai multi pucuk pimpinan perjuangan Papua Merdeka baik yang ada didalam Negeri maupun diluar Negeri semuanya mempunyai ambisi untuk menjadi pimpinan/Presiden Papua sehingga oleh karena kencangnya ambisi maka perjuangan selalu mandek karena serba target dengan demikian di bentuknya Negara Federal agar setiap pimpinan yang mempunyai ambisi untuk menjadi pimpinan papua boleh dapat memimpin di Negara Bagiannya masing-masing sesuai gaya dan budayanya karena Negara Republik Federal Papua Barat adalah Negara yang Ideologinya menganut paham Budaya.

4. Negara Republik Federal Papua Barat, dikenal sebagai Negara yang menganut paham budaya dan di Papua terdiri dari 257 suku dan disertai dengan budayanya masing-masing yang sangat bertolak belakang jika disatukan budaya atau adat istiadat, maka dengan adanya pembagian Negara Bagian yang disebut dengan Negara Federal yang mana sudah di bagikan wilaya kekuasaan salah satu Negara Bagian sesuai dengan kesamaan adat istiadat /budaya sehingga dapat di sesuaikan dengan mudah menjalankan roda Pemerintahannya.

5. Dari beberapa uraian yang dikemukakan diatas ini merupakan pemikiran dasar untuk menjadi alasan sebabnya berdiri Negara Republik Federal Papua Barat yang telah Merdeka utuh bukan Merdeka dibawa pengawasan NKRI, dan sebuah NEGARA REPUBLIK FEDERAL PAPUA BARAT bukan bahan sosialisasi yang tidak-tidak, saya menghimbau kepada seluruh bangsa yang ada di belahan Dunia dan terutama kepada seluru lapisan komponen Orang Papua, baik dari TNI, POLRI, Penjabat Bupati, DPR, PNS, Pengusaha serta Rakyat Papua sekalian, bahwa Negara Republik Federal Papua Barat yang telah dipulihkan pada pasca Kongres Rakyat Papua (III) tanggal 17-19 puncaknya di lapangan sakeus Padang bulan itu merupakan wujud nyata yang di deklarasikan Kemerdekaan NRFPB SECARA PENUH DAN KEDAULATAN PENUH tidak ada cerita omong kosong bahwa Negara Federal diartikan sebagai negara merdeka dibawa kekuasaan NKRI lagi. Presiden NRFPB adalah Forkorus Yaboisembut, SE.

Sumber data dikutip dari:: SEKNEG Negara Republik Federal Papua Barat

Senin, 22 Februari 2016

Budaya, Ekonomi, Pariwisata dan Lingkungan dari Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia


Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia wilayah tidak begitu populer. Bagaimana orang-orang hidup dan bertahan sampai sekarang? Apakah mereka masih nomaden dan melakukan pengumpulan makanan? Dalam paragraf pertama artikel ini, penulis akan menjelaskan tentang aspek ekonomi. Mereka sebagian besar tergantung pada sektor primer seperti pertanian, perikanan pertambangan, dan. Kebanyakan dari mereka adalah petani subsisten dan nelayan. Mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan tanaman yang mereka tanaman seperti pisang, sukun, dan tanaman akar seperti ubi jalar, ubi, singkong, dan talas. Mereka beruntung karena memiliki tanah yang subur dan curah hujan lebih berat seperti yang diberikan.
Selama periode kolonial, perkebunan pertanian dan tanaman komersial diperkenalkan ke kepulauan tinggi, terutama benua besar pulau. Perkebunan kopi penting di Kaledonia Baru dan Papua Nugini; tebu adalah tanaman ekspor utama Fiji, vanili dinaikkan untuk ekspor di Tahiti, dan kakao, sumber cokelat, adalah penting di Melanesia. Jahe, kelapa sawit, dan karet juga diperkenalkan selama masa kolonial dan terus menjadi penting lokal pada beberapa pulau.
Tanaman yang paling umum dari pulau-pulau rendah adalah kelapa. Kelapa dipilih karena memiliki banyak fungsi seperti, nata de coco, untuk minum, untuk membuat Phyto-minyak, dll perkebunan kelapa adalah sumber luas kopra, atau daging kelapa kering, yang kadang-kadang ekspor utama pulau tersebut. Dataran rendah Vanuatu dan Kiribati, misalnya, sangat bergantung pada ekspor kopra.
Hutan hujan yang luas, dan dengan demikian kayu, hanya ditemukan di pulau-pulau tinggi yang lebih besar. Mayoritas Nugini ditutupi baik mangrove, hutan hujan, atau vegetasi alpin, dan kayu gergajian dari kelompok aktiva hujan hutan selama sekitar 5 persen dari pendapatan ekspor Papua New Guinea. Hasil hutan juga ekspor penting dari Kepulauan Solomon dan Fiji.
Perikanan adalah sumber penting makanan bagi hampir semua orang yang hidup di dekat perairan pantai. Ini juga merupakan penghasil ekspor utama untuk beberapa negara, seperti Kepulauan Solomon. Produk lain dari laut seperti mutiara yang penting di beberapa daerah, seperti di Polinesia Prancis, di mana mutiara budidaya memberikan pendapatan ekspor. Kadang-kadang bangsa di Kepulauan Pasifik telah telah memancing perselisihan dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang. Pada tahun 1986 sebuah perjanjian ditandatangani antara Amerika Serikat dan Forum Pasifik Selatan Perikanan Badan mengakhiri sengketa panjang berjalan lebih dari ukuran ikan menangkap AS di Pasifik.
Mineral dan pertambangan bahan baku lainnya adalah copius di lokasi ini. Kiribati Banaba (Ocean Island) dan Nauru telah menjadi sumber utama dari batuan fosfat. Namun, fosfat telah habis pada Banaba dan hampir pergi Nauru. Kaledonia Baru memiliki deposito yang kaya nikel, kromit, dan bijih besi. Fiji dan New Guinea tambang emas. Salah satu deposit terbesar di dunia tembaga dan cadangan besar minyak dan gas alam yang ditemukan di New Guinea. Pasifik dasar laut juga mulai dimanfaatkan untuk sumber daya yang luas mineral. Besar cadangan minyak bumi kebohongan di rak kontinental sepanjang Lingkar Pasifik. Pada patch bidang dasar laut kebohongan dari "nodul mangan," kentang berukuran nugget besi dan oksida mangan yang kadang-kadang juga mengandung tembaga, kobalt, dan nikel. Program sedang dilakukan untuk memeriksa kelayakan penambangan deposit ini. Potensi pertambangan ini belum dieksplorasi secara maksimal, mereka menggunakan alat sederhana untuk saya. Kontribusi pertambangan dan manufaktur untuk pendapatan dan lapangan kerja dari Kepulauan Pasifik bervariasi tetapi umumnya kecil, terutama dibandingkan dengan pertanian
Dalam sebagian besar Kepulauan Pasifik, manufaktur terbatas pada kerajinan tangan dan pengolahan makanan. Namun, ekonomi beberapa negara maju, seperti di Fiji, juga telah mendirikan industri yang berorientasi ekspor, termasuk tekstil dan pakaian. Tidak hanya sektor pertanian, aktivitas perdagangan juga terjadi seperti ekspor dan impor dari dan menyerahkan kepada mantan dan arus kekuasaan kolonial mereka-Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru, Australia, Jerman, dan Perancis-juga Kanada, dan semakin, Jepang .
Sebagian besar warga hidup di luar negeri, biasanya mereka mengirimkan uang untuk keluarga mereka. Memang di beberapa tempat, seperti Niue dan Tonga, lebih banyak warga tinggal di luar negeri daripada berada di rumah. Itu membuat kurangnya pekerja produktif di dalam negeri. Beberapa unit politik terkecil dari Oseania, termasuk Niue, Tokelau, dan Kepulauan Cook, mendapatkan jumlah yang signifikan dari pendapatan luar negeri dengan menjual prangko untuk kolektor dunia melebar.

Pariwisata dan Lingkungan
            Sub topik berikutnya adalah tentang pariwisata dan lingkungan, maksud saya untuk menjelaskan dua aspek sekaligus karena keduanya memiliki hubungan timbal balik. Pemandangan bersih dan indah membuat Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia daerah sebagai tujuan wisata alam, khususnya Hawaii yang terkenal di dunia dengan gadis menari. Pariwisata menjadi salah satu berpenghasilan besar dan majikan pekerja lokal di Pasifik. Banyak tujuan yang baik u dapat berkunjung ke sana, seperti Fiji dan Polinesia Prancis. Fiji menarik lebih banyak turis daripada bangsa Pulau Pasifik lainnya, dengan 549.911 pengunjung pada tahun 2005. Pada tahun 1989 pariwisata melampaui gula sebagai sumber utama Fiji pendapatan asing. Polinesia Prancis adalah tujuan wisata kedua yang paling populer. Pada tahun 2005 itu memiliki 208.067 pengunjung, yang sebagian besar tinggal di Tahiti. Seperti barang perdagangan, wisatawan datang ke Kepulauan Pasifik dari kekuasaan kolonial mantan dan negara-negara yang lebih besar di dekatnya. Jadi banyak wisatawan dari Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, dan New Zealand liburan di Kepulauan Pasifik. Baru-baru ini, Jepang telah menjadi sumber terbesar dari pengunjung, terutama ke negara pulau di Mikronesia paling dekat dengan Jepang.
Fasilitas wisata yang paling dimiliki oleh orang asing, namun, dan banyak keuntungan dari pariwisata meninggalkan Pasifik. Selain itu, banyak produk yang digunakan untuk pariwisata (seperti makanan, minuman, dan perabotan hotel) sering diimpor dan selanjutnya menguras sudah ekonomi miskin. Meskipun pariwisata merupakan sumber penting dari pekerjaan, pekerjaan sering musiman, dan biasanya hanya rendah keterampilan pekerjaan terbuka untuk penduduk pulau. Masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan wisata adalah degradasi lingkungan, khususnya terumbu karang dan hutan hujan. Banyak sekali yang masih asli daerah pesisir telah diambil alih oleh bangunan dan perkembangan lainnya. Jika mereka tahu bagaimana mengelola tujuan lokal yang mereka miliki, tentu saja, ada banyak pendapatan yang mereka dapatkan sebagai devisa.
Selain efek positif dari pariwisata, ada beberapa efek negatif karena risiko yang tidak boleh diabaikan oleh warga setempat dan pemimpin di sana. Mereka harus mencegah sebelum terjadi kerusakan yang lebih besar dan lebih besar dan mematahkan keindahan pulau alami mereka. Karena panjang panjang, dapat menjadi masalah lingkungan berbahaya, apalagi jika percobaan nuklir masih dilakukan di lokasi ini.

Budaya dan Masyarakat
            Topik sub terakhir adalah tentang budaya dan karakteristik orang Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia. Daerah ini dikenal karena kami dibagi berdasarkan ras mereka. Melanesia meskipun memiliki beberapa jenis berbeda dari penduduk pribumi, hampir semua berkulit gelap (mela awalan berarti gelap atau hitam) dan telah keriting rambut. Secara historis, penduduk asli Nugini bermigrasi ke pulau lebih dari 30.000 tahun yang lalu. Keturunan mereka jumlahnya sedikit dan bertahan hanya di pedalaman, terpencil pegunungan. Kelompok berikutnya, orang Papua, merupakan populasi dominan Nugini. Kelompok ketiga dari Melanesia ditemukan terutama di sepanjang pantai utara New Guinea dan pulau-pulau lain di seluruh Melanesia. Semua kelompok dianggap sebagai keturunan bangsa Australoid yang dihuni Australia dan sebagian Asia Tenggara, walaupun sudah ada campuran yang cukup besar dan beragam dengan kelompok lain dari waktu ke waktu. Pengecualian terhadap dominasi hitam berkulit Melanesia adalah di Fiji, di mana banyak dari masyarakat asli pulau paling timur Fiji menyerupai lebih tinggi, lebih ringan berkulit Polinesia. Juga, Fiji banyak keturunan India, keturunan India yang diimpor pada kapal-kapal Inggris antara 1879 dan 1916 untuk bekerja di perkebunan gula. Melanesia Kebanyakan petani subsisten, dan masyarakat mereka pada dasarnya patrilineal melalui garis laki-laki. Melanesia termasuk seni tembikar dan, di Fiji, kain tapa, yang terbuat dari kulit pohon murbei kertas.
Keyakinan awal mereka sebenarnya adalah politeisme namun pengaruh luar, terutama membuat mereka menjadi Kristen, banyak terus juga mempraktekkan unsur-unsur dari agama tradisional. Lebih dari 90 persen penduduk Papua New Guinea paling tidak secara nominal Kristen, termasuk Katolik, Lutheran, dan Baptis. Sebagian besar etnis Fiji juga orang Kristen, paling sering Metodis, dan mayoritas New Kaledonia beragama Katolik Roma. Imigran yang lebih baru untuk Melanesia, seperti Indo-Fiji Fiji, cenderung mempertahankan agama dari tanah air mereka, dalam hal ini Hindu atau Islam.
Sejak akhir abad ke-19 gerakan keagamaan setengah disebut kultus kargo sudah ada di antara populasi asli yang hanya memiliki kontak terbatas dengan peradaban Barat. Kepercayaan sentral dalam kultus-kultus adalah bahwa barang-barang manufaktur modern, yang penduduk asli sebut "kargo," dikirim dari dunia roh nenek moyang mereka tetapi disimpan dari mereka dengan orang kulit putih. Pada beberapa waktu mendatang, pengiriman kargo besar biasanya datang untuk mereka gunakan. Pulau-pulau di mana kultus kargo masih memiliki pengaruh beberapa biasanya mereka yang paling terkena dampak Perang Dunia II, (1939-1945) seperti Papua Nugini. Vanuatu juga dikenal karena kultus kargo.
Perlombaan berikutnya adalah Mikronesia, sepertinya Polinesia dalam waktu kedua tetapi sebenarnya tidak sama karena rambut mereka tidak menggulung. Keduanya adalah ras keturunan Mongoloid. Di pulau paling barat, bagaimanapun, tan berkulit Melayu dan berkulit gelap Melanesia ditemukan. Mencerminkan penekanan mereka pada perikanan dan perdagangan antar pulau melalui laut, Mikronesia umumnya hidup di desa-desa pesisir yang jarang memiliki lebih dari beberapa ratus orang. Tempat tinggal yang tipikal adalah jerami, satu kamar rumah dengan pondok memasak terpisah. Kecuali di Kiribati, keluarga Mikronesia kebanyakan matrilineal-yaitu, keturunan ditelusuri melalui keluarga ibu. Di semua wilayah keluarga cenderung erat, dan kewajiban antara anggota keluarga yang kuat. Dalam sebagian besar Mikronesia, prestise diukur dengan kekayaan.
Pada zaman kolonial pra, agama di Mikronesia adalah panteistik (terdiri dari banyak dewa). Dewa diyakini mengendalikan cuaca, kesehatan, dan kondisi lain, dan kepala yang diyakini sebagai keturunan para dewa. Misionaris Eropa dan Amerika sejak dikonversi Mikronesia paling ke Kristen, terutama Katolik Roma. Mikronesia seni termasuk ornamen shell, tikar, tato, dan kerajinan kayu.
Budaya terakhir dan orang-orang Polinesia yang paling homogen dalam budaya, bahasa, dan penampilan fisik. Polinesia, yang fitur Mongoloid, yang bertubuh tinggi dan umumnya lebih ringan berkulit dari Mikronesia atau Melanesia. Rambut mereka gelap dan baik lurus atau bergelombang namun tidak keriting. Meskipun nenek moyang kini Polinesia tidak logam, mereka mampu mengembangkan peradaban maju dengan menggunakan bahan tersedia bagi mereka. Sebagai contoh, Polinesia menempatkan telapak kelapa untuk berbagai penggunaan: mereka membuat anyaman dan atap ilalang dari daun palem, keranjang dari bahan berserat meliputi kelapa, wadah dan peralatan rumah tangga lainnya dari kerang, dan berbagai makanan dan minuman dari daging dan cair. Pra kolonial Polinesia juga menemukan berbagai alat penangkapan ikan, termasuk jerat, perangkap, jaring, tombak, dan kait khusus yang tidak tersangkut di terumbu bergerigi. Polinesia bertanggung jawab atas patung batu raksasa di Pulau Paskah dan untuk dipoles, klub perang indah diukir. Orang yang ahli dalam pengerjaan sering diturunkan keterampilan mereka melalui keluarga mereka dan jadi hari ini barang kerajinan tetap menjadi industri penting, terutama untuk perdagangan wisata. Tapa, semacam kulit pohon dibuat menjadi kain, adalah khas kerajinan tersebut. Bentuk-bentuk seni lainnya termasuk tarian seremonial dan bernyanyi, yang dilakukan sepanjang Polinesia dan sisanya dari Kepulauan Pasifik.
Kali terakhir, Polinesia menyembah banyak dewa, masing-masing mewakili beberapa aspek dari lingkungan mereka. Polinesia sering percaya nenek moyang pendiri mereka adalah dewa-dewa, dan Polinesia memiliki altar dan rumah-rumah bagi mereka serta tempat-tempat ibadah bagi leluhur mereka. Persembahan kepada para dewa kadang-kadang dimasukkan pengorbanan manusia seperti dalam tradisi kuno. Alat berharga atau kepala prajurit yang kuat atau kadang-kadang dianggap memiliki mana, kekuatan yang memberikan suatu obyek atau keunggulan orang. Seperti kebanyakan Kepulauan Pasifik lainnya, Polinesia hari ini kebanyakan orang Kristen. Mayoritas adalah Protestan dari berbagai kelompok, tetapi ada minoritas besar yang Katolik Roma. Polinesia Prancis adalah khas: 55 persen penduduknya adalah Protestan, dengan jumlah terbesar milik Gereja Injili Protestan, sementara 36 persen adalah Katolik.

Referensi
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/fp.html
Microsoft ® Encarta ® 2008. [1] Prof Dr CS Kansil, Catatan Perjalanan Wisata di Negara Pasifik Selatan
Spriggs, Matius. Pulau Melanesia. Oxford: Blackwell, 1997.
Prof Dr CS Kansil, Catatan Perjalanan Wisata di Negara Pasifik Selatan
[1] Microsoft ® Encarta ® 2008.
[2] Matius Spriggs. Pulau Melanesia. Oxford: Blackwell, 1997.
[3] Prof Dr CS Kansil, Catatan Perjalanan Wisata di Negara Pasifik Selatan
[4] https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/fp.html
[5] Op cit Encarta
[6] Spriggs, Matius. Pulau Melanesia. Oxford: Blackwell, 

Senin, 18 Juni 2012

LIP Geografi Kerajaan Belanda.

TERBITAN

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN GEOGRAFI
KERAJAAN BELANDA
AMSTERDAM

Pengurus / Penanggung Jawab
Prof Dr L. Rutten (Ketua); Dr. J. Van Hinte, Dr. A.N.J. Den Hollander, W.A.Hovenkamp, J.C. Lamster, J.L.H. Luymes, Ir. J.H.G. Schepers (Sekretaris), Prof.Dr. K. Oestreich, Ir. F.L. Schlingemann


_____


Edisi Kedua
Volume LVII
1940


Leiden
E.J. BRILL

1940
LAPORAN HARIAN TENTANG PERJALANAN EKSPEDISI DI WILAYAH BAGIAN UTARA DANAU PANIAI, TANGGAL 3-4 OKTOBER, 1939

Oleh
Dr. P.J. EYMA 1)

Sesuai dengan penjelasan pimpinan ekspedisi pada bagian ikhtisar maka tugas utama Sdr. Hoeka, pembantu ahli topografi, selama bulan Oktober Nopember adalah untuk mencari titik-titik observasi paling strategis di daerah sekitar ujung baratlaut Danau Paniai, yaitu di antara Danau Tage- dan Tigi dan lebih jauh lagi ke bagian utara Danau Paniai. Untuk mendapatkan titik-titik paling tepat tersebut penerbangan pohon-pohon perlu dilakukan terlebih dahulu. Sebagai seorang ahli ilmu botani pada ekspedisi sekaligus pembuat laporan ini, saya tentu ingin memanfaatkan kesempatan untuk mengumpul sebanyak mungkin contoh-contoh jenis pohon-pohon. Mengingat bahwa penebangan memakan waktu lama dan saya menguasai sedikit bahasa dan adat-istiadat penduduk daerah tersebut karena pernah tinggal disini kurang lebih selama 6 bulan sebelum kedatangan ekspedisi, saya berfikir tidak ada ruginya kalau sekaligus saya melakukan upaya untuk menjalinkan hubungan erat dengan penduduk setempat di daerah sebelah utara Danau Paniai, upaya yang mana sebetulnya termasuk bagian tugas saya sesuai rencana kerja ekspedisi.
Setelah tahap pertama program kerja ekspedisi berakhir dengan gemilang– yaitu dengan mendapatkan pos-pos pemandangan di Barara dan Moetaro dekat ujung baratlaut danau Paniai dan Tarapadimi di bg. Selatan danau Tare –, maka pada tanggal 3 Oktober regu kami dengan menumpangi kapal motor berangkat dari Pos Enarotali ke Pos Araboe di pinggir sungai Ara atau Araboe. Setibanya di Araboe ternyata perbekalan bagi patroli Timur mulai habis. Sehubungan dengan ini keputusan diambil untuk mengirim para tenaga kuli asal Antinjo, yang tujuan sebenarnya adalah untuk membantu patroli Utara, ke Kemandora sehingga kami terpaksa mencari 13 kuli Antinjo lain sebagai pengganti yang harus diambil dari jalur komunikasi di kawasan danau di pantai selatan.
Perjalanan ditangguhkan selama beberapa hari, tetapi pada tanggal 6 Oktober menjelang jam 5 sore terdengar suara nyanyian dari arah sungai Ara; terlihat sebuah kapal kecil yang digerakkan tenaga dayung- mungkin untuk mengirit bensin- kelihatan dari jauh menghampiri kami. Kapal kecil tersebut ternyata berpenumpang kuli-kuli Atinjo, beserta 3 orang petugas polisi lapangan dengan kepala mereka yaitu Sdr. Hiariej.
Karena para tenaga kuli Atinjo telah lelah karena didatangkan langsung dari jalur komunikasi, maka diputuskan agar hari esoknya tanggal 7 Oktober dinyatakan sebagai hari istirahat. Hari itu kami mengisi waktu dengan membagikan tugas dan mencari daging babi yang dapat kami beli dari penduduk Ekaris. Yang terakhir ini baru kami dapat melakukan menjelang malam hari yang sangat menyenangkan bagi para kuli Atinjo karena mereka suka makan banyak dan pada waktu tepat. Orang Atinjo berciri peramah, senang bersukaria, berbeda sekali dengan ciri penduduk daerah pegunungan sekitar pedanauan Wisselmeren yang cerdas. Harapan saya hari itu dapat berjumpa dengan Aimo di daerah pedanauan. Aimo adalah kepala suku Oehoendoeni Oewaginama di Kemandora Barat; menurut rencana dia sedang ditunggu mantunya di tempat tersebut untuk membicarakan usaha mereka bersama-sama. Saya sebetulnya ingin mengajak Aimo untuk menemani saya pulang. Tetapi karena dia tidak muncul ( kami tak ada perjanjian)- saya mengambil keputusan untuk mengajak seorang anak laki-laki berumur 9 tahun dari suku Moni, bernama Wissel, untuk menemani saya pulang. Wissel adalah anak yang pintar memasak sehingga saya beruntung sekali. Dia juga seorang pemandu yang pintar. Tiada orang yang lebih tepat menjadi pemandu di daerah Ekari daripada dia.
Dengan demikian anggota kelompok kami menjadi 24 orang, terdiri dari saya sendiri, ahli topografi Hoeka, asistennya, 4 petugas polisi, 3 orang terpidana, 13 kuli Atinjo dan 1 anak muda asal Moni.

Tanggal 8 Oktober.
Saat matahari menyingsing tanda dibunyikan untuk berangkat . Mula-mula kami berjalan melewati kaki bukit, kemudian melalui kampong Wettamoti dan Koemopa. Dari kampong Koemopo jalur tiba-tiba menanjak menuju ke suatu jalan pintas panjang berliku-liku yang menerobos punggung bukit. Hari pertama ini saya masih merasa berada di daerah yang saya kenal. Sampai di Toeka jalur kami tetap sama seperti yang kam i tempuh pada bulan Pebruari yang lalu, tetapi mulai dari Toeka untuk seterusnya kami tidak menuju ke arah utara ( ke jurusan Kamandoram) melainkan ke arah dataran Oewoderedide mengikuti arah hulu. Karena dibekali beberapa foto udara maka kami kurang lebih dapat mewaspadai apa yang dihadapi. Secara pendek perjalanan kami pada awalnya melalui jalan pintas, kemudian di Kobetaraida (dimana kami dijamu seorang teman lama dengan mencicipi tebu), jalur turun ke bawah melintasi lembah Waperaba menuju ke hutan Opegitara. Pengawal kami yang berasal dari suku Ekari hanya bersedia mendampingi kami mulai dari jalan pintas melalui kampong-kampong bernama Bamoma dan Abatadi, sampai di kaki bukit : Dari sini kami harus mencari pemandu lain yang kami dapati di kampong Ipoowo. Untuk mencapai kampong ini kami terpaksa mengarungi genangan air dan melintasi dataran penuh rumput yang disela tumbuhan pandanus dan zingiberacee. Setelah memanggil satu kali beberapa orang langsung bermunculan: saya yakin mereka mengingat wajah saya, tetapi tak berani mengakuinya. Rupanya mereka merasa terganggu karena saat itu sedang sibuk membagikan daging, sesuatu kegiatan yang bagi mereka di pegunungan dianggap lebih penting daripada melayani orang luar. Karena saat itu kedua pemandu baru telah siap menemani kami, maka diputuskan untuk meneruskan perjalanan ke Toeka. Jalur kami kini lewat selatan melalui rawa yang disana sini disela tonjolan punggung tinggi yang merupakan daerah perpanjangan dari daerah pegunungan sebelah kiri. Di depan terlihat gunung Bebiari yang tinggi dengan lereng yang curam. Dari Toeka kami sampai di sungai utama di dataran ini, yaitu sungai Oewodere yang meskipun kelihatan tenang arusnya sanggup membanjiri hutan pandanus di dekatnya sampai ketinggian beberapa meter. Sungai Oewodere mengalir sepanjang sisi-sisi lereng curam gunung Bebiari. Satu-satu jalan yang dapat kami lewati adalah sebuah jembatan kayu yang menyandar terhadap dinding bebatuan lereng tersebut. Di luar hutan pandanus terdapat suatu dataran rumput yang terbentang sampai di kampong Bebiari. Dari kampong itu kami meneruskan perjalanan ke Wodapoerauto. Setibanya di sana saya melihat setengah penduduk desa sedang menongkrong di tengah pusatnya. Seorang laki-laki tua berparas Moni dengan mata berair, menyambut saya dan memperkenalkan saya kepada teman-temannya dengan cara khas mereka, yaitu saling menyentuh kepalan tangan. Orang laki-laki tua tersebut terkesan gembira dengan kehadiran kami, karena dia selalu berupaya berdiri depan muka saya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan berkata kepada putra-putranya saya adalah “toeani” sedangkan yang lain adalah “polisie”. Meskipun jam baru menunjuk setengah dua, tetapi anak buah saya telah merasa letih. Karena hati saya tersentuh oleh keramahan penduduk Ekaris , saya berkeputusan untuk bermalam di sana. Laki-laki tua mencari kayu bakar dan tebu bagi kami seregu dan setelah kemah kami selesai terpasang dia mohon agar saya keluar dari kemah sebentar: disertai putra-putranya dia berdiri di depan kemah sambil membawa hadiah-hadiah bagi seluruh regu berupa kladi atau tebuh. Sebagai tanda persahabatan kami membalas keramahannya dengan menawarkan mereka manik-manik yang kelihatan sangat berkenan di hati dan diterima mereka dengan rasa gembira. Hanyai kakaknya orang tua tersebut tidak mau menerima hadiah apapun, sedangkan hadiah yang saya terima darinya yang paling berharga. Kelakuan ini ciri khas orang Moni dan bukan orang Ekaris, sehingga dapat diambil konklusi pengaruh Moni sangat kuat di daerah orang Ekari ini. Kebanyakan penduduk disini juga mengerti bahasa Moni. Sementara itu, Sdr. Hoeka telah mulai mengukur posisi gunung-gunung yang berada keliling kami dari sudut kawasan bukit tanjung.

Tanggal 9 Oktober.
Perjalanan dilanjutkan pagi sekali. Kami melalui kampong di sebelah baratdaya yang becek dan berlumpur. Untuk mengatasi masalah ini para penduduk kampong telah membangun bendungan kecil dengan jalan sempit di atas melintasi lumpur. Ujung jalan sempit tersebut tergenang air setinggi beberapa desimeter dan keluar ke hutan rawa berpohon pandanus yang berbatasan dengan suatu lahan luas yang tak berpenduduk. Untung sekali kawasan yang dilalui kami selanjutnya dalam kondisi lebih baik
Kami kemudian beristirahat di kampong Kigoditali dimana kami dikerumuni sejumlah ekor binatang babi yang berlari kian kemari. Di kampong ini kami menjumpai 3 orang yang berasal dari Koemopa yang terletak berdekatan dengan perkemahan Araboe. Mereka saat itu sedang memikul sebuah jalar penuh sabut pohon jenis Gnetum yang mereka telah pungut di daerah Oewagimana di Kemandora Barat.
Melewati kampong Kigoditali kawasan sering disela punggung-punggung tanah sempit. Punggung pertama, dekat Namoedari, ibarat terpotong lorong-lorong berbentuk S setinggi badan manusia dan berdinding tinggi terdiri dari tanah liat merah. Lorong-lorong tersebut sangat sempit sehingga sulit dilewati 2 orang sekaligus. Bagaimana lorong-lorong tersusun bagi kami hingga kini masih merupakan tanda tanya. Bentuknya ibarat lorong yang menembus dinding sebuah benteng. Kemudian kami meneruskan perjalanan melalui Koparotali, dan setelah menyeberangi lembah melewati Komobepapoera akhirnya kami tiba pada suatu punggung bukit tanah rendah yang memisahkan lembah Oewoderedide yang mencakupi daerah aliran sungai Ara dan danau Paniai, dari lembah Bogidede yang meliputi daerah aliran sungai Kemaboe=Warenai. Di lokasi ini pemandu-pemandu kami berpisah setelah menyerahkan daftar nama semua kampong dan gunung dll. Mereka diganti seorang pemandu baru. Kami kemudian meneruskan perjalanan melewati bagian-bagian kering punggung bukit tanah rendah yang diapit hutan rawa. Setelah melewati sejumlah aluran berisi air berwarna merah-merahan serta sepotong lahan hutan lumpur akhirnya kami tiba di suatu dataran terbuka. Si pemandu menyuruh kami tunggu di lokasi ini sementara dia jalan ke sebuah kampong yang terletak tidak terlalu jauh. Tak lama lagi dia datang kembali didampingi sejumlah orang Ekaris yang beraut muka kurang ramah. Mereka segan menerima manik-manik. Senjatanya mereka telah letakkan agak jauh di pinggir jalur. Saya mengatakan saya ingin bermalam disini tetapi tampaknya mereka berkeberatan dan menawarkan tempat yang lebih nyaman tak jauh dari sini. Karena saya merasa curiga saya berkata tidak mau pindah sebelum saya melihat tempat yang mereka usul. Akhirnya mereka setuju dan saya diantar oleh salah satu dari mereka ke suatu tempat yang ternyata terletak jauh sekali di seberang dataran. Terkesan mereka sengaja memilih daerah ini agar supaya kami jauh dari mereka. Saya tolak tempat ini dan akhirnya kami kembali ke tempat semula dan mendirikan kemah. Saya beruntung mereka langsung terima keputusan saya tanpa lawan bicara. Tidak lama kemudian mereka mendatangi kami menawarkan ubi dan tebuh, tetapi tetap menolak diberikan hadiah-hadiah. Kami merasa beruntung sekali menolak tempat perkemahan yang mereka usul, karena ternyata di sebelah utara lembah yang pada suatu saat kelak saya berkesempatan pelajari lebih mendalam, meskipun ditinggali orang, terdapat tanah rawa yang paling jahat yang pernah saya jumpai.

Tanggal 10 Oktober.

Untuk mencarikan titik observasi langsung di bagian barat dan tidak melalui Oewagimama menurut perasaan saya akan jauh lebih efisien dan membuahkan hasil lebih baik. Tetapi begitu para calon pemandu-pemandu Ekaris dengar rencana tersebut mereka langsung segan menunjukkan kami jalan ke barat. Melihat kami ragu-ragu meninggalkan kampong mengikuti arah yang mereka tunjukkan –nama kampong ini hanya kelak saya tahu adalah Bogesiga,- tiba-tiba salah satu orang pemandu menawarkan jasanya, sementara yang satu lagi minta izin menjadi pemikul barang dengan bayaran satu kigi. Pemandu yang pertama berlagak bodoh waktu ditanyakan nama, sedangkan yang lain setelah dibujuk beberapa kali baru mau mengungkapkan sejumlah nama yang ternyata semuanya salah. Jalur perjalanan melintasi kawasan penuh alang-alang disamping vegetasi sekunder yang tumbuh secara bebas di tepi kali sebelah kanan. Setibanya di suatu kampong yang namanya saya belum berani menyebutkan karena saya tidak tahu betul atau tidak, muncul seorang penduduk yang menawarkan kepada kami seekor babi. Harga telah disepakati tetapi begitu dia melihat kigi di tangan kami, tiba-tiba dia berubah fikiran dan batalkan penjualan. Ciri penduduk-penduduk daerah ini bukan pemalu, tetapi mereka tidak mau menerima manik-manik sebagai alat pembayaran. Didampingi seorang pemandu baru, kami menaiki sepotong lahan perpanjangan dari hutan di dataran sisi utara yang menuju ke barat dan ke jurusan lembah Egoemide. Di sisi lereng ditemukan lagi lempengan batu tulis; ternyata kandungan batu tulis dalam tanah di dalam punggung lembah Kemaboe tinggi sekali.. Di depan kami tampak sebuah kampong terletak tinggi di atas tanjung. Keterangan pemandu bahwa kami bukan sembarangan orang rupanya tidak ditanggapi para laki-laki yang berada di atas, suatu pertanda yang kurang menguntungkan.. Tetapi bahwa mereka tidak langsung menghardik adalah tanda bagus: mungkin karena kelompok kami lebih besar. Fikiran ini ternyata betul karena meskipun mereka menawarkan kami tebuh, kami diminta dengan cara kurang menyenangkan untuk meneruskan perjalanan. Saya menanggapinya dengan mengatakan tujuan kami disini bukan mencari masalah dan sekedar beristirahat. Seperti hal yang biasa selalu ada orang yang dalam situasi demikian mau mencari masalah! Sebuah puncak gundul di atas punggung bukit seberang lembah yang terletak jauh di bawah titik lokasi kami berada sekarang, walaupun agak jauh ke selatan, bisa menjadi titik observasi. Seorang penduduk Ekari berparas muka ramah menawarkan jasa untuk mengantarkan kami melalui kampong-kampong yang mendatang. Sebagai appresiasi, saya menawarkannya kigi yang terbesar saya miliki. Kemudian dia mendampingi kami turun ke bawah melalui hutan sekunder dengan tanah penuh batu tulis ke dataran berisi ladang-ladang di tepi kanan sungai Egoeme. Hujan turun dengan deras dan kami berteduh di bawah pintu gerbang rumah tinggal seorang penghuni yang ramah. Waktu hujan mulai reda kami turun ke sungai melewati jalur yang curam dan licin . Kemudian kami menyeberangi sungai dan terus berjalan mengikuti arusnya dari tepi sebelah kiri. Ada beberapa penghuni kampong yang kami dulu pernah menduga kurang ramah ternyata telah mengikuti kami terus dan menawarkan jasa untuk mengganti tenaga pemikul yang telah lelah. Suatu tanda kami jangan selalu terburu-buru berprasangka. Perkemahan kemudian kami pasang di kawasan tepi sungai sebelah kiri. Akhirnya mereka terima juga manik-manik dan saya dapat membeli ubi.

Tanggal 11 Oktober.
Sebagian besar hari ini kami luangkan dengan menelusuri kawasan bagian hilir dimana kami menemukan fosil-fosil terumbu yang sangat menarik. Kemudian kami menanjak tepi sungai yang terjal. Baik penduduk yang tinggal di lembah sungai maupun yang di atas daerah punggung yang terjal berkelakuan ramah. Kami beristirahat di kampong di atas punggung yang bernama kampong Moeneiepa sambil makan tebuh. Kami menjelaskan kepada pemandu Ekaris bahwa kami ingin menuju ke ladang yang terletak di atas lereng bukit seberang dataran lembah. Mereka langsung mengerti apa yang kami maksud dan siap mengantarkan kami ke sana. Jalur yang paling cepat dan tepat adalah melewati punggung bukit yang akan berangsur-angsur turun ke arah barat. Di sana kami akan menyeberangi sungai yang berbelok ke sungai Kemaboe. Di titik ini dua pemandu ingin berpisah dan yang ketiga yang belum lama bergabung dengan kami akan mendampingi kami untuk seterusnya. Dia menggunakan siasat berlagak bodoh tak tahu apa-apa. Pertanyaan apa saja dijawabnya dengan ‘ani ewo’ (tidak tahu ya) sambil bersenyum. Membujuk dia tak ada guna. Tetapi yang penting dia menunjukkan jalan yang tepat: kami melintasi sebuah punggung datar penuh pasir dengan pohon-pohon jenis Agathis, kemudian berjalan berlawanan arah dengan arus sungai yang kecil. Dia juga membantu kami mendirikan jembatan darurat di lokasi yang sulit. Kawasan dimana kami berada tak berpenghuni. Tetapi kami yakin berada di jalur yang benar dan bahwa cepat lambatnya kami sampai di ladang yang dimaksud, karena si pemandu hanya bisa berkata: ‘potto beeuw, gappa beeuw’, yang berarti: tidak jauh, tidak dekat. Para pemikul kelihatan mulai lelah. Rupanya kami sudah semakin mendekati tujuan karena hutan sekunder sudah mulai berubah menjadi kawasan ladang bersemak-semak Tiba-tiba kami sampai pada sebuah rumah tinggal kecil yang terletak di pinggir di bawah sebuah ladang ubi. Beberapa penghuni setempat kelihatan tak takut pada orang asing. Karena daerah di sebelah kiri ladang ubi tersebut sangat cocok untuk mendirikan perkemahan saya pergi sebentar menelusurinya. Belum kembali dari sini mulai terdengar dari jauh suara orang bertengkaran; ternyata terjadi suatu insiden kecil. Hoeka bersama seorang pemandu memasuki ladang ubi mencari titik observasi yang cocok, tanpa menyuruh si pemandu berjalan di depannya. Ayah si pemandu tersebut yang karena merasa curiga bersembunyi di dalam kebun ladang, dan saat melihat Hoeka langsung mengarahkan busur panahnya ke sosoknya. Si pemandu, anaknya, langsung berteriak memohon agar bapaknya jangan melakukan apa-apa. Laki-laki tua tersebut dua hari kemudian menjadi perantara kami untuk membeli seekor babi!
Perkemahan kami dirikan sebelah kiri ladang. Tidak jauh darinya dan sedikit di bawah terdapat jalur yang biasanya dilalui penduduk setempat untuk pergi ke Wanewo yang terletak di pinggir danau Paniai.

Tanggal 12 Oktober.
Pagi yang cerah menyusul malam yang dingin sekali. Hoeka dengan regu penebang di bawah penjagaan petugas polisi telah menuju ke daerah lebih tinggi untuk mencari jalan ke puncak gundul terbuka yang telah dipilih untuk kelak dijadikan pos observasi/pemandangan. Saya bersama dua petugas polisi dan beberapa tenaga kuli berkeputusan tetap tinggal di perkemahan agar kontak dengan penduduk setempat terus terpelihara. Saya berhasil membeli beberapa potong ubi dengan harga agak mahal. Laki-laki tua datang kembali membujuk kami membeli seekor babi dari dia. Sore hari Hoeka pulang ke tempat perkemahan. Dia merasa gembira karena berhasil menemukan suatu titik pemandangan yang menarik, meskipun sisi sebelah utara kawasan daerah yang bersangkuan masih perlu ditebang lagi. Ternyata titik ini sangat tepat sehingga pengukuran terhadap semua titik-titik yang pernah dipertimbangkan sebelumnya dapat mulai dilakukan.

Tanggal 13 Oktober.
Saya ikut naik bersama regu penebang ke daerah lebih tinggi. Hoeka serta 2 petugas polisi, seorang pembantunya dan 4 orang kuli Atinjo akan bermalam di atas untuk melakukan dua kali pengukuran yaitu sekali waktu fajar menyingsing dan sekali lagi saat matahari terbenam. Perjalanan menuju ke puncak gundul yang terbuka memakan waktu 5 perempat jam. Perjalanan menembus hutan, terdapat beberapa tanjakan ringan di sana-sini, dan satu dua kali kami juga menggunakan jalur yang biasanya dilalui penduduk Di atas puncak gundul vegetasi hanya semak-semak pendek, tak ada pohon. Tanah di daerah puncak ini adalah tanah humus (tanah gemuk) berwarna merah kehitaman berbantalan lumut beberapa lapisan dengan warna-warna bervariasi mulai dari kuning cerah, merah kecoklatan hingga merah cerah. Melalui lapisan lumut tersebut terlihat jalur-jalur binatang berkedalaman kurang lebih ½ meter yang menuju ke lubang-lubang di dalam lereng. Vegetasi disini bukan vegetasi alamiah. Puncak yang berjarak hanya beberapa meter dari puncak gundul ini dan terletak lebih rendah dan lebih ke arah utara seperti halnya dengan punggung tanah dari arah kami datang, semua tertutup vegetasi hutan. Puncak gundul terbuka terkesan sangat tinggi, meskipun ketinggiannya hanya kurang lebih 2.400 meter dan tertutup jenis vegetasi yang mudah terbakar. Karena alasan klimatologis dan edaphik maka lahan yang bebas tumbuhan jarang terdapat di daerah tropis! Meskipun udara cerah sekali, tetapi pembentukan awan hari ini lebih cepat daripada hari sebelumnya sehingga saya tidak pernah berhasil memperoleh pemandangan utuh dan lengkap. Orang-orang Atinjo segera mulai menebang lapisan bagian puncak tertutup hutan sedangkan regu yang bermalam disini mulai memasang perkemahan. Sementara itu langit mulai berawan. Waktu saya dengan regu penebang telah sampai di bawah, langit telah tertutup rapat. Sekembalinya di perkemahan saya mulai mengatur dan membereskan bahan-bahan materi dan barang-barang. Tiba-tiba sejumlah orang Ekari datang memberitahukan babi yang mereka bicarakan kemarin telah mereka antar kemari. Didampingi Wissel dan seorang petugas polisi saya pergi ke tempat simpanan kigi-kigi karena mereka ingin melihatnya sekali lagi meskipun baru mereka memeriksanya sehari sebelumnya. Sikap ini khas orang Ekari: mereka selalu ingin melihat dan memegang barang. Mereka selalu ingin ‘pekkado’, yang berarti ‘mau lihat dulu’.
Walaupun mereka tinggal jauh dari Pos mereka sangat rewel perihal mutu kigi: Umpamanya, kigi yang besar mereka tidak suka kalau simpul kigi tidak tampil dengan jelas. Aneh sekali bahwa di kawasan Mapia, di bagian baratdaya danau hanya kigi besar diberi nilai tinggi, sedangkan di daerah Jaba, dekat danau Tigi, orang telah puas dan tak peduli memiliki kigi palsu. Upaya penjualan babi oleh laki-laki tua akhirnya berhasil ditutup sesuai harga yang diminta sehingga binatang bersangkutan dibunuh dengan tembakan senapan. Hujan deras turun pada malam hari.

Tanggal 14 Oktober. Regu penebang naik ke daerah lebih tinggi.

Tanggal 15 Oktober. Udara cerah tetapi agak berawan dan saya sekali lagi ikut regu penebang ke atas. Tetapi sesampainya di puncak udara tiba-tiba berubah menjadi berawan khusus di arah baratlaut. Kegiatan penebangan tidak berjalan secepat yang diharapkan karena banyak pohon memiliki batang yang sangat besar. Kelompok penebang merasa kedinginan sehingga tidak sempat mewujudkan rencana menangkap binatang marsupal. Titik pemandangan yang kami ingini akhirnya ternyata jauh lebih dekat ke danau Paniai dari dugaan semula. Di bagian selatan terlihat dataran Wanewo dengan danau di belakangnya, sehingga Pos (Enarotatli di danau Paniai) dengan jelas terlihat melalui teropong. Ke arah barat seluruh wilayah di sebelah utara danau hingga pegunungan Weyland terlihat terbentang di depan mata kami, termasuk titik-titik yang telah kami kunjungi sebelumnya, sedangkan di sebelah timurlaut dan sebelah timur dari wilayah dataran Bogidide terbentang dengan punggung-punggung rendah dan panjang yang memisahkan dataran tersebut dari Kemandora. Waktu telah senja waktu kami sampai kembali di perkemahan. Tidak lama kemudian hujan lebat turun.

Tanggal 16 Oktober. Udara pagi hari di lembah cerah sekali dengan beberapa awan-awan kecil jauh di langit. Regu penebang cepat turun ke bawah karena pekerjaannya telah selesai, sedangkan regu puncak akan kembali besok. Di dalam sebuah jurang yang lembab dekat perkemahan saya menemukan sejumlah benda-benda yang sangat bernilai bagi penelitian saya. Hujan lebat turun lagi pada sore hari.

Tanggal 17 Oktober. Hujan turun pagi hari tetapi hanya sebentar. Sdr Hoeka puas sekali dengan hasil yang telah tercapai. Setelah dia kembali dari puncak gunung kami bermaksud menyusun rencana kerja selanjutnya bila perbekalan yang masih ada mengizinkannya. Tetapi Sdr Hoeka masih ingin memantau satu puncak lagi yang terletak sedikit lebih jauh ke arah timur pada garis perbatasan Bogidide dan Kemandora agar dapat melakukan pengukuran silang. Kami berfikir sebaiknya kami kali ini tak menggunakan jalur sama yang dipakai kami sebelumnya, melainkan melewati daerah kantong Oehoendoeni di Oewagimama agar kami dapat mengunjungi orang-orang Oehoendoeni yang pernah datang ke Pos Enarotali beberapa waktu yang lalu. Beberapa di antara orang tersebut pernah ikut pada perjalanan ekspedisi ke pantai selatan yang dibawah pimpinan Dr. De Bruyn. Kemungkinan besar bahwa niat kami tersebut telah sampai di telinga orang-orang di Oewagimama. Kalau memang begitu halnya, kami pasti diberikan suatu sambutan hangat. Dalam hal itu saya akan terdapat kesempatan mengumpulkan data lebih banyak tentang nama-nama dan lokasi -lokasi di wilayah ini. Disamping itu tak ada ruginya bila terdapat kampong dengan penghuni yang kami dapat andalkan dan siap membantu kami mencari bekal mengingat rencana kami mencari lokasi pemandangan/observasi kedua. Tetapi terlepas dari semua pertimbangan sebelumnya, kami yakin perlu sekali dilakukan penelusuran dari sudut topografis, karena lokasi Oewagimama diperkirakan sangat dekat dengan tempat masuknya sungai Kemaboe ke kawasan pegunungan.



Tanggal 18 Oktober.
Kami kembali ke sungai Egoeme melalui jalur yang sama yang ditempuh tanggal 11 kemarin. Tujuan utama kami sekarang mencari jalan terpendek ke Oewagimama, yang menurut data yang telah saya peroleh adalah via Ariepa. Beberapa orang Ekaris yang saya dekati untuk minta petunjuk jalan, berkata bahwa Ariepa bukan suatu jalan pintas. Tetapi setelah saya menjelaskan kepada salah satu di antara mereka bahwa saya mencari jalan ke Oewagimama dan bertanya apakah dia berminat ikut menemani saya, langsung dia setuju setelah melihat kigi besar di dalam tangan saya. Ternyata jalur yang harus kami lalui mulai di kampong tempat kami pernah menyeberangi sungai Egoeme, kemudian langsung menuju ke daerah pegunungan melewati daerah yang naik berangsur-angsur sampai di Ariepa, yang terletak di daerah yang datar. Sesudah Ariepa dataran berubah menjadi terjal sekali hingga lokasi puncak terbuka yang terletak pada pinggir sebuah lembah yang dilapisi tanah gemuk penuh bekas batang pohon jenis Gahnia yang terbakar, bekas tanda terjadi kebakaran besar di daerah ini. Kami dikerubuti nyamuk pada malam hari, tetapi hawa disini sejuk sekali.

Tanggal 19 Oktober.
Jalur perjalanan kami turun melalui hutan. Para pemandu yang semalam melanjutkan perjalanan menghampiri kami disertai beberapa orang Ekaris. Setelah bergabung dengan mereka kami melanjutkan perjalanan ke daerah lebih rendah, mula-mula menebus hutan melalui jalur yang tidakterlalu buruk, kemudian melewati ladang-ladang. Pada suatu lokasi yang penuh bekas tumpukan rumah terbakar kami menyeberangi sungai yang kecil. Diduga daerah ini tak lama berselang terserang penyakit wabah penyakit influenza. Menurut kebiasaan penduduk setempat sebuah rumah harus dibakar saat penghuni utama rumah yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Tanjakan ke atas mulai terjal kembali. Belum sampai di puncak saya dihampiri dua anak laki-laki kecil yang berbicara bahasa Moni: mereka datang dari Oewagimama dan disuruh menemui kami. Si Wissel yang tidak mengerti bahasa Moni telah mengamati kami dari jauh dengan penuh keragu-raguan, sampai saat saya memperkenalkan dia dengan mereka. Setelah itu mereka lansgung menjadi teman dan mengambil alih keadaan: seorang Ekari lain yang menghampiri kami untuk menawarkan kami beli tebuhnya langsung ditegor karena menjual tebuh sewaktu seorang melakukan kunjungan persahabatan adalah melawan aturan. Aturan agar seorang pengunjung menunggu beberapa saat sebelum memasuki kampong juga tak diberlakukan pada kami. Sedikit lebih jauh lagi kami dihampiri sekelompok anak, satu di antaranya masih kecil sekali tetapi telah menenteng busur panah, dan seorang laki-laki lebih tua yang saya kenal karena dia pernah mengunjungi Pos. Dengan demikian didampingkan sekelompok anak-anak, kami meneruskan perjalanan melintasi punggung datar penuh hutan ke arah Oewagimama. Mereka berebutan memegang tangan saya atau membantu saya menyeberang jembatan atau melintasi batang pohon. Hoeka dan para petugas polisi sangat terkesan dengan sambutan yang kami diberikan, karena belum pernah mereka menyaksikan hal serupa. Lokasi Oewagimama lebih jauh yang saya bayangkan, tetapi tak lama kemudian kami keluar hutan dan menginjak lahan sekunder dan ladang-ladang. Sepintas lalu terlihat juga pemandangan ke pegunungan tinggi seberang lembah Kemaboe dan tak lama lagi kami berada di Oewagimama di tengah lereng lembah yang terletak beberapa ratus meter di atas sungai. Sampai di perkampungan yang pertama kami disambut beberapa orang Ekaris dan wanita-wanita Oehoendoeni. Laki-laki Oehoendoeni berdiri berkelompok di tengah-tengah desa tidak jauh dari tempat kami berdiri. Penyambutan meskipun hangat tetapi tak berlebih-lebihan. Tiba-tiba wanita-wanita yang semua adalah orang Moni Zongoenoe dari Koegapa, melihat si Wissel yang langsung dihampiri dan dipeluk. Saya membagikan hadiah berupa manik-manik kepada anak-anak dan para wanita , tanpa melupakan orang-orang Ekaris. Waktu saya mau memotret sekelompok wanita dan anak-anak, tiba-tiba ada beberapa wanita langsung pergi sambil lari. “Oh, itu orang-orang Ekaris,” tutur mereka. Orang Aimo yang telah berumur menyesal sekali si Pak “toeani” Kontrolir, tidak ikut datang kemari. Kami diminta menginap di lokasi ini selama beberapa hari. Persediaan beras kami yang sudah mulai menipis tak usah dipermasalahkan, menurut mereka, karena para wanita nanti akan mengambil ubi, tebuh dan sayur-sayuran dari ladang. Tetapi hanya seekor babi tak mampu mereka berikan ke kami, karena baru-baru saja ada dua penduduk desa meninggal dunia dan menurut adat mereka harus memotong babi. Kami cepat sekali berhasil mendapatkan tempat untuk berkemah, yaitu dekat sebuah sumber air di sebelah timur kawasan di atas wilayah kampong. Oewagimama sebenarnya terdiri dari tiga kampung: Bagian tengahnya ditinggali orang Oehoendoeni, sebelah timur orang Ekaris dan sebelah barat ditinggali orang Ekaris dan Oehoendoenis bersama-sama dengan jumlah penghuni rata-rata sama. Sambil menunggu perkemahan selesai dipasang, saya mengobrol lama dengan penduduk-penduduk kampong dari siapa saya mendapat berita terakhir mengenai keberadaan patroli yang dipimpin Komisaris Van Krieken yang sudah lama tidak ada beritanya.

Seorang Ekari yang baru tiba dari barat, yaitu dari daerah Biliboe (Siriwo) membawa berita bahwa beberapa ‘toean-toean” dan anggota polisi sedang ditunggu kedatangannya dalam 5 hari di Oewagimama dan akan meneruskan perjalanan ke bagian timur. Pembawa berita juga mengatakan dia disuruh mencari pemandu baru yaitu salah satu putra dari Aimo untuk menemani para ‘toean-toean’ ke bagian timur. Dia juga memberikan saya sederetan nama-nama yang tak banyak guna bagiku karena tak ada hubungan dengan daerah kunjungan. Sementara ini semua cerita-cerita yang disampaikan orang-orang Ekaris waktu di Egoemide yang saya duga hanya isapan jempol akhirnya ternyata benar-benar isapan jempol belaka; kebanyakan dari nama-nama tersebut bohong, ‘atau soempama’. Disini saya juga memperoleh informasi dari penghuni tentang suku-suku yang berada di bagian timur. Penghuni disini berasal dari Doegindora, dan pernah tinggal di sekitar Zotalu di Kemandora Tengah dan kemudian merantau ke Oewagimama banyak masalah yang dihadapinya. Di antara mereka terdapat juga seorang Dauwa, dengan mukanya berbentuk panjang dan sempit, yaitu ciri-ciri khasnya. Seperti juga halnya dengan orang Oehoendoeni yang dijumpai sebelumnya di Kemandora Tengah, mereka telah berasimilasi dengan penduduk Moni. Mereka semua mengawini wanita Moni dan juga berbicara bahasa Moni. Bahasa asli mereka adalah sama dengan yang bahasa yang telah tercatat di kawasan sebelah selatan Puncak Carstensz. Sangat jauh dari sini! Mengenai daerah asalnya belum banyak diketahui. Nama sukunya, yang menurut mereka adalah Hamoeme (me = orang) bagi saya tidak terlalu meyakinkan. Oehoendoeni adalah nama mereka dalam bahasa Moni, sedangkan Oerita adalah nama bahasa Ekari.
Menjelang sore hari para wanita pulang dari ladang membawa ubi, keladi, tebuh dan sayur mayur. Besok mereka akan membawa makanan lebih banyak lagi. Keadaan sekarang mirip seperti waktu kami berada di Kemandora Tengah: perkemahan kami menjadi tempat pertemuan umum bagi keseluruhan penduduk kampong, khusus orang-orang Oehoendoeni: Mereka membuat perapian kecil untuk berkumpul dan bercengkerama. Saya menekankan kepada semua anak buah bahwa orang-orang disini, berlawanan dengan perilaku penduduk Ekari yang telah kami alami sebelumnya, telah memberi kami kepercayaan mereka dan karena wanita dan anak-anak gadis mereka bebas masuk keluar daerah perkemahan kami jangan sampai kepercayaan mereka disalahgunakan.

Tanggal 20 Oktober. Sinar matahari menjelang fajar membuat pandangan puncak gunung Minimitara (tara=gunung) bagaikan api berwarna merah jambu. Para penghuni setempat mulai berdatangan lagi ke perkemahan dan tidak lama kemudian berangkat ke ladang untuk mengumpulkan disana hasil ladang tambahan berupa ubi dan pisang untuk dibawah kemari. Aimo minta saya menemani dia mengunjungi kakaknya yang sakit. Dia mempunyai obat berkhasiat tinggi tetapi dia kurang berani terapkan sendiri. Kakaknya Aimo memang kelihatan tak sehat dan lemah. Saya menduga dia menderita suatu peradangan.. Aimo kemudian memperlihatkan kepada saya obat yang diperolehnya dari Bapak Kontrolir. Obatnya dibungkus dalam botol keranjang. Isinya setelah diperiksa ternyata minyak kayuputih jenis cepat menguap. Karena Aimo percaya obat tersebut tidak mempunyai efek negatif, saya mengulasnya pada lengan dan lehernya orang tua tersebut dengan harapan dia lekas sembuh. Setelah ini di rumah tetangga sebelah, saya disuruh duduk dekat perapian dan kemudian diberikan kladi bakar. Sambil berjalan-jalan di kampong sebelah barat membuat saya mengetahui dengan pasti arah aliran sungai Kemaboe yang pada potret udara tidak jelas kelihatan disebabkan lapisan awan yang menutupi lembah waktu itu. Sekembali ke perkemahan dua orang laki-laki datang membawa dua jalur penuh dengan buah jeruk yang kami seorang diri tentu tak dapat menghabiskan.. Di kawasan ini saya juga untuk pertama kali melihat seorang laki-laki mengunyah daun sirih, yang saya menduga adalah pengaruh dari Timur. Aimo bertanya apakah kami suka makan sayur rebus. Dia dan putri-putrinya saat itu sedang sibuk menggali lubang dengan batu-batu yang kemudian dipanaskan untuk membuat masakan rebusan itu. Cara membuatnya lain dari cara yang pernah kami saksikan di Wandai. Di wilayah ini batu-batu dibungkus dengan dedaunan sedangkan lubang ditutup lagi dengan batu-batu. Malam itu saya tidak bisa tidur karena terlalu banyak makan sayuran rebus.
Sore hari menjelang jam empat hujan turun dan tiba-tiba Soalekigi dengan putranya Mauwekigi muncul di depan kami. Karena cape menunggu Aimo terlalu lama mereka berkeputusan menuju ke lokasi perkemahan. Tadi pagi menjelang fajar mereka berangkat berjalan kaki mulai dari Koemopa, dekat perkemahan Araboe, hingga Oewagimama yang benar-benar merupakan prestasi luar biasa karena jarak panjang tersebut mereka dapat tempuh dalam waktu kurang dari satu hari. Jika kami tidak jadi berangkat besok, tetapi lusa, mereka bersedia menunjukkan kami jalan pintas tersebut. Demikianlah diputuskan.

Tanggal 21 Oktober.
Sebagian besar hari ini diluangkan dengan upaya membujuk orang Ekaris menjualkan babinya kepada kami. Mereka ada bermacam-macam alasan untuk tidak menjualnya meskipun persediaannya lebih dari cukup. Kalau mereka tidak mau jual lebih baik terus terang saja daripada menyebutkan alasan yang tak masuk di akal. Biasanya orang Ekari tidak malu menolak sesuatu. Saya ambil keputusan untuk hentikan permainan tawar menawar mereka sehingga akhirnya mereka sepakat menjual. Hari sudah mulai malam waktu pembagian serta penyiapan daging telah selesai.

Tanggal 22 Oktober. Kami berpamitan dari Oewagimama. Saya membagi-bagikan segala peralatan saya yang tak saya perlukan lagi seperti pisau-pisau dan cermin-cermin kecil di antara penduduk Oehoendoeni. Suatu surat yang ditujukan kepada Tuan Van Krieken saya titipkan kepada putranya Pak Aimo. Setelah tiga kali mengucapkan ganio (= selamat tinggal) atas nama kami maupun orang-orang Atinjo, kami melanjutkan perjalanan naik ke gunung dengan bantuan seorang pemandu baru yaitu Mauwekigi. Kali ini kami tak melewati Piabeutara melainkan mengambil jalan ke arah timur menaiki Tarahoegiwi. Setelah menempuh jalur yang curam ke bawah, kami sampai di kawasan bagian hilir sungai Debaboe, dimana kami pada waktu perjalanan kemari pernah menyeberangi sungai, yang disusul sepotong lahan lebar berlapisan batu tulis dimana kami menjumpai sejumlah fosil Ammoniet di antara batu-batu. Pada jam 12 siang setelah berjalan kaki mengarungi air sungai, kami sampai di puncak Tarahoegiwi. Jenis vegetasi disinipun bekas kebakaran. Udara berbau asam semut tercium dimana-mana karena kami dikelilingi pepohonan Myrmecodia, tempat huninya binatang semut. Hujan telah turun, namun demikian kami melanjutkan perjalanan dalam hujan di atas jalur yang berangsur-angsur turun mengikuti arus sungai ke arah selatan. Cerita bahwa jalan ini yang termudah dan terenteng, dalam kenyataan sama sekali tidak demikian halnya! Tetapi bagi kami sekalian lebih baik berjalan daripada berhenti di bawah hujan karena dengan demikian hawa dingin akan lebih terasa. Mereka di deretan paling depan sewaktu-waktu harus berhenti untuk memungkinkan yang di belakang mengambil jarak agar jangan jauh ketinggalan. Hoeka karena putus asa akhirnya berhenti mencatat rutenya yang dia biasanya rajinmelakukan. Sungai tidak ada banyak jeramnya dan diapit lereng batuan tinggi dengan banyak air terjun-air terjun kecil penuh lumpur. Kami merasa lega sekali saat mencapai dataran; harapan kami jarak ke Bogisega dari sini tak terlampau jauh lagi. Seandainya malam nanti jarak tersebut tidak berhasil ditempuh, maka jalan ke perkemahan di Araboe akan bertambah jauh lagi. Lagipula, sifat tanah sudah mulai berawa. Beberapa rumah telah berdiri dalam tanah yang becek sekali, yang membuat daerah ini tak cocok untuk berkemah. Ini adalah lokasi yang kami ditunjuk oleh para penduduk di Bogesiga pada perjalanan kemari. Sekitar lokasi beberapa rumah yang berdekatan dengan rawa tercium bauh belerang sangat sengit. Bauh ini telah tercium beberapa kali waktu kami berada di dekat sungai. Tak jelas darimana sumber bauh tersebut tetapi kami tak ada waktu untuk mencarikannya. Tanah di atas dataran rumput sangat basah, tetapi untung sekali tak berlumpur. Bekas kerangka perkemahan kami di Bogesiga masih utuh, tetapi tanah yang basah disekitarnya kelihatan sangat menyedihkan. Setelah terpal perkemahan telah terpasang kami semua beristirahat. Peserta orang Atinjo yang rupanya terasa kedinginan berupaya membuat perapian. Suasana malam ini agak tertekan, tetapi setelah rasa dingin telah lenyap suasana di perkemahan berubah menjadi lebih nyaman dan tertib.

Tanggal 23 Oktober.
Hari ini lebih cerah daripada hari kemarin. Agar pengukuran di atas Digatara dapat terlaksana dengan mulus, diperlukan perbekalan untuk 10 hari. Karena itu sebaiknya saya dengan ke 13 orang Atinjo dan 2 petugas polisi berangkat duluan ke perkemahan Araboe, sedangan Sdr. Hoeka dengan 2 petugas polisi, pembantu dan ke tiga orang terpidana tinggal di perkemahan. Pemandu Mauwekigi akan menunjuk kami jalan pintas lewat pegunungan. Hingga Kigoditali, di daerah di sebelah atas Oewoderedide, kami menikuti jalan yang sama seperti rute jalan kemari. Daripada melintasi daerah rawa, si Mauwekigi kini mengambil arah jalan ke kanan. Suatu jalur bagus sepanjang pinggir sungai Koleboe akan membawa kami ke kaki pegunungan. Tanpa beristirahat kami melanjutkan perjalanan menanjak lereng gunung. Kami beristirahat sebentar untuk makan di suatu tempat sebelum naik ke puncak yang terletak sebelah kanan Kolemoele. Kondisi jalur seberang sungai bagus sekali karena datar dan terletak di atas punggung-punggung sempit. Pegunungan Aradide mulai tampak melalui hutan, tetapi jalan masih jauh untuk mencapai daerah ladang di bagian utara lembah Waparaba.
Kami kemudian mengikuti jalan sepanjang pinggirnya sebelah barat dan melalui Wettauwolagi akhirnya kami sampai di Kobeteraida, daerah yang tak asing lagi bagi kami. Jam masih pagi dan kami semakin dekat ke daerah tujuan, sehingga waktu cukup untuk beristirahat dan untuk makan tebuh. Tak lama kemudian langit mulai berawan dan sebelum hujan turun kami telah sampai di perkemahan Araboe. Orang pertama yang menyambut saya adalah seorang bocah kecil asal Moni bernama Torteroega, (Bahasa Maluku untuk penyu laut. Asal kata sebenarnya dari bahasa Spanyol). Bocah ini menyampaikan bahwa Bapak ‘Tuan” (Le Roux) dan Bapak Sitapa (Sitanala) telah berangkat ke Enarotali. Semua rasa kecemasan dan keresahaan yang selama ini berada di fikiran saya lenyap dengan kehadiran Boschma yang tiba-tiba keluar dari kemahnya dengan berita bahwa tugas patroli Timur berhasil menyelesaolam tugasnnya gemilang. Para tenaga kuli yang sebelumnya tak sempat terangkut dengan kapal orambaai harus diberangkatkan dengan kapal besar. Waktu berita ini terdengar orang Atinjo di dalam regu kami maka mereka mulai khawatir semua orang Atinjo disuruh pulang ke Pos , sehingga saya berkewalahan menjelaskan kepada mereka bukan demikian halnya. Perjalanan menyeberangi Tarahoegiwi masih segar di dalam ingatan mereka dan mereka telah sangat lelah.. Salah satu petugas polisi dalam regu saya, terpaksa saya harus lepaskan untuk ditugaskan ke kapal besar. Udara malam ini dingin sekali: angin dingin menyengat dibarengi hujan angin. Boschma dan anak buahnya sedang sibuk semalam suntuk melakukan persiapan.

Tanggal 24 Oktober. Hari istirahat di perkemahan Araboe. Udara pagi hari bagus sekali tetapi menjelang jam 12 siang hujan mulai turun lagi.

Tanggal 25 Oktober. Jam 7 pagi kami berangkat dari perkemahan Araboe disertai 2 petugas polisi baru dan 13 tenaga pemikul Atinjo. Ada satu dari kelompok Atinjo ini yang sejak 2 minggu berturut-turut menderita sakit gigi dan berlagak seakan-akan akan mati, diganti dengan yang lain. Karena orang-orang Atinjo hanya disuruh memikul satu kaleng beras atau kacang, maka beban pikulan mereka kini menjadi ringan sehingga laju jalan dapat dipercepat. Lagipula lereng Kolemoele menanjak berangsur-angsur. Tanah dataran kini lebih kering daripada di awal bulan ini. Langit tetap terang dan pada jam 3 sore lewat 10 menit kami telah sampai di Bogesiga. Mereka yang dulu tertinggal telah memindahkan posisi perkemahan ke tempat lain. Tempat yang lama kini ditempati rak-rak terisih daging. Kepala koki, Wissel, yang ditemui di antara rak-rak tampak sibuk membuat dendeng. Sementara itu kecurigaan penduduk Bogisega kepada kami telah lenyap dan mereka kini malah menjadi ramah sekali. Kami dibekali mereka dengan buah pisang dan ditawarkan babi dengan harga murah. Karena keadaan disini menyenangkan bagi semua fihak maka kami terasa aman menitipkan 4 kaleng beras dan 1 kaleng berisi kacang dengan si penjual babi tadi yang menawarkan jasanya sebagai petunjuk jalan ke Digatara hari esok. Namun demikian mereka hingga kini masih merasa segan menyampaikan kepada kami nama-nama.





Tanggal 26 Oktober.
Si pemandu mengantar kami melalui lembah ke suatu kampong. Dia mengembalikan kigi besar yang telah kami berikannya sambil berkata dia tidak bisa meneruskan perjalanan. Alasan dibelakang tindakannya tersebut terungkap tak lama lagi setelah seorang pemandu baru mengantar kami ke jurusan daerah bagian hulu sungai yang sejajar dengan pegunungan dan bukan ke pegunungannya. Karena dia mengatakan daerah sepanjang jalan ke Digatara tidak berpenghuni, kami menjadi curiga sehingga menarik kesimpulan dia mau menipu karena pasti ada sebuah jalan pintas yang melewati perumahan dan ladang. Pemandu sebelumnya rupanya tidak setuju dengan rencana penipuan tersebut. Sambil bergerutu kami serombongan terpaksa kembali berputar arah ke kampong sebelumnya dimana kami memasuki jalur kecil yang menuju jurusan yang benar. Disini kami bertemu lagi dengan pemandu pertama yang akhirnya bergabung kembali dengan kami. Tidak lama kemudian kami sampai di sebuah kampong lumayan besar yang dibangun mengelilingi lapangan kecil. Si pemandu mengantar kami melewati ladang masuk kedalam hutan kemudian ke sebuah sungai kecil dimana dia akan berpamit. Dia berkata bahwa kami sudah mendekati tujuan. Sekali lagi dia menolak diberikan upah. Ternyata dia benar: di depan kami sudah terlihat jalur hutan yang menanjak yang menuju ke daerah lebih tinggi. Jalan in adalah yang termudah ke Kemandora. Waktu sedang beristirahat sejenak di suatu tempat sebelum mencapai puncak tiba-tiba terdengar suara-suara orang Ekari yang semakin mendekat. Karena saya kira perhatian mereka tertarik oleh suara-suara orang Atinjo, saya memanggil mereka. Tetapi saya mendapat reaksi yang tak diharapkan, karena orang Ekari yang berdiri terdepan karena terkejut tiba-tiba loncat ke dalam semak-semak di pinggir jalur. Saya tidak tahu apakah dia terus berada disitu atau membalik arah, sehingga saya menyuruh Wissel memanggilnya dalam bahasa Ekaris. Kemudian kami meneruskan perjalanan berpelahan-pelahan dan penuh waspada. Selama sisa perjalanan tak terjadi hal-hal yang aneh. Tetapi di atas tanah jalur kami terlihat beberapa tanda bekas telapak kaki orang yang membuat kami berkesimpulan ada manusia berjalan jauh di depan kami. Tak lama kemudian kami sampai pada kawasan pepohonan setingkat daerah puncak. Pemeriksaan sejenak menunjukkan terdapat jalur dari sini yang turun ke bawah. Perkemahan dipasang di tempat ini. Jam menunjukkan jam 12 siang. Udara sehari penuh tetap cerah. Pada malam hari kami terus dikerubuti nyamuk.

Tanggal 27 Oktober.
Sdr Hoeka telah berangkat dengan regu tebang pohon ke arah timur. Seperempat jam kemudian mulai terdengar suara-suara orang Atinjo disertai bunyi pohon-pohon tumbang: ini berarti puncak Digatara yang sesungguhnya belum tercapai. Tetapi tidak lama kemudian melalui pepohonan telah mulai terpapar pandangan bagus: puncak sesungguhnya yang terletak lebih tinggi yang kami duga terletak di seberang jurang yang curam. Waktu Hoeka kembali ke perkemahan sore hari itu dia beritahukan bahwa dia telah menemukan jalan ke puncak Digatara.

Tanggal 28 Oktober.
Setengah bagian dari perkemahan dipindahkan ke daerah lokasi puncak. Menyusul fajar menyingsing suhu turun secara drastis dan selama matahari tak muncul di atas pepohonan, hawa di perkemahan terasa sangat dingin.

Tanggal 29 Oktober. Udara pagi hari dingin sekali. Sekali lagi kami dengar suara orang Ekaris tetapi hanya seekor anjing yang memasuki perkemahan berulangkali, bukan manusia. Tidak jauh dari daerah perkemahan terdapat rumah tinggal tanpa ladang disekitarnya: apa mungkin tempat itu adalah pasanggrahan? Sore hari regu tebang tiba kembali ke perkemahan dengan membawa berita gembira, yaitu pekerjaan mereka telah selesai. Besok kami akan mengisi waktu dengan membuat koba kobas (semacam payung hujan terbuat dari daun pandan).

Tanggal 30 Oktober.
Saya ikut menyertai beberapa orang naik ke daerah puncak untuk mengantar perbekalan. Udara kurang bagus tetapi saya bertekad ikut untuk menyaksikan keadaan sebelum semua pekerjaan berakhir. Pemandangan dari atas puncak ke arah selatan meskipun tak terlalu cerah semakin terang meskipun pada bagian utara langit masih berawan. Sungai Kemaboe kelihatan jauh di bawah tempat kami berada dengan pinggirannya tertutup lapisan batu kerikil yang tampak dengan jelas. Di sebelah utara arus sungai Digatara jatuh lurus kebawah 90 derajat dari ketinggian 100 meter ke sebuah lembah berbentuk bundar dan padat tumbuhan yang terletak sepanjang arusnya. Bagian ini dari daerah Kemandora terkesan tak ditinggali manusia, begitu pula daerah di seberangnya, yaitu daerah penduduk Wolani, dimana tertampak hanya seberapa ladang saja. Walaupun perkemahan di atas terletak di udara terbuka regu kerja tak pernah berkeluhan terasa kedinginan. Saya melihat banyak pohon ditebang tetapi yang penting bahwa terdapat banyak pohon baru juga dalam proses pertumbuhan dan berbunga. Sewaktu-waktu pemandangan ke Oewagimama dan Piabeutara mulai kelihatan lagi tetapi tak lama kemudian tertutup kembali oleh awan yang memasuki lembah Kemandora dari arah barat, membentur dinding sungai Digatara dan cepat lenyap melewati puncak gunung.

Tanggal 31 Oktober. Malam hari yang panas disusul hujan di pagi hari. Ada berita bahwa pemandangan di atas lebih buruk daripada hari sebelumnya, sehingga kemungkinan adalah tipis sekali untuk melakukan pengukuran. Semua persediaan dan perbelakalan yang tertinggal di Bogesiga sebaiknya dipindahkan kemari. Sdr. Hiariej dibantu 1 petugas polisi dan 4 pembantu Atinjo ditugaskan kesana untuk membawanya kemari. Saat keberangkatannya ada dua pemuda Ekari berdatangan dari kawasan sebelah selatan. Pada awal kami menduga mereka mau mengantar surat tetapi bukan demikian halnya. Mereka membawakan kami makanan ubi-ubian. Dari gerakan tangan mereka terkesan mereka sangat terpesona dengan perkemahan kami. Tidak lama kemudian mereka meneruskan perjalanan ke arah utara. Pada jam 3 siang Hiariej telah kembali dengan membawa kaleng-kaleng. Bukan main cepatnya mereka kembali: 5 jam bolak balik, karena kondisi tanah rawa telah kering mereka dapat berjalan dengan lebih cepat. Menunggu di kawasan perkemahan sangat melelahkan karena tak ada pemandangan sama sekali. Para orang Atinjo sibuk membuat koba-koba, sementara si Wissel dan para petugas polisi membuat perapian besar yang nyaris membuat habis terbakar seluruh dapur. Hari tanggal 1 Nopember kami luangkan waktu dengan menunggu saja.

Tanggal 2 Nopember.
Udara cerah dan langit berwarna biru. Kalau pada hari ini kegiatan pengukuran tak akan berhasil pula, entah apa lagi yang kami harus berbuat. Tetapi pada jam setengah sembilan Si Hoeka tiba-tiba muncul. Semua pekerjaan telah selesai. Jam 10 perjalanan pulang dimulai dan tak lama kemudian kami telah sampai di Bogesiga. Di dalam hutan pada perjalanan ke bagian daerah aliran sungai, Wissel menutur ada orang berkenakan sepatu yang berjalan jauh di depan kami. Memang bekas jejak sepatunya jelas terlihat. Kalau ini bukan jejak sepatu kami sendiri, kemungkinan besar jejak tersebut adalah kepunyaan Tuan Van Krieken. Pada jam setengah dua titik tertinggi punggung pemisah daerah aliran sungai akhirnya tercapai. Perkemahan lantas didirikan berdekatan dengannya di atas lahan rumput dekat sungai kecil yang terletak di bawah kampong Koparotali. Seorang bocah menghampiri kami dengan buah frambozen, suatu hal yang aneh karena mereka tidak biasa makan buah tersebut: Dugaan saya permainan sulapan dengan buah frambosia yang pernah kami lakukan sewaktu di Araboe telah sampai disini juga. Ada satu keanehan lagi yaitu saya dipuji oleh seorang Ekari karena tak pernah terkena ulah tipuannya.

Tanggal 3 Nopember.
Kami pulang ke Araboe melalui jalur hutan. Perlu dicatat bahwa dataran kini jauh lebih kering dan air di Koleboe jauh berkurang.daripada sebelumnya. Hoeka masih sempat melakukan sejumlah pengukuran di Wettauwolago. Setibanya di Araboe ternyata memang benar Van Krieken berjalan di depan kami dan telah meneruskan perjalanan langsung ke Enarotali.

Tanggal 4 Nopember.
Dengan menumpangi kapal orambaai kami berlayar ke sungai bagian hilir dan kemudian menyeberangi danau menuju ke Pos Enarotali. Sementara itu para kuli Atinjo menunggu kapal angkutan berikutnya. Pada pertengahan pelayaran di atas sungai Ara kami menjumpai Van Krieken. Berdasarkan suratku yang telah dia terima, beliau menghubungi pos tersebut untuk melakukan beberapa pembicaraan dan mengadakan kontak dengan Ambon setelah berbulan-bulan tak ada hubungan sama sekali. Beliau kini sedang pada perjalanan pulang ke Oewagimama. Sepuluh menit kemudian kami melanjutkan perjalanan dan pada jam setengah tiga telah sampai ke Anarotali. Dengan demikian patroli perjalanan kami ke bagian Utara dapat dianggap telah selesai.
Di antara hasil prestasi yang tercapai selama perjalanan kami, dapat disebutkan antara lain: keberhasilan kami melakukan penerobosan ke wilayah yang sebagiannya berpenghuni padat dan sebagian lagi yang kurang padat berpenghunu, tetapi dimanapun kami berada kami selalu berhasil menjalinkan hubungan damai dengan semua penduduk setempat.
Menyangkut pekerjaan di bidang ilmu topografi, dapat kami laporkan disini bahwa semua upaya yang kami lakukan telah berjalan sesuai rencana. Hampir di seluruh wilayah kunjungan kami pengukuran silang berhasil dilakukan.
Disamping itu jumlah bahan-bahan penelitian di bidang ilmu botani yang berhasil saya kumpulkan jauh diluar dugaan saya semula. Tetapi besar nilai sesungguhnya baru dapat terungkap dan terukur setelah eksperimen ilmiah terhadapnya telah tuntas dilakukan.

PENJELAJAHAN NIEUW GUINEA
(Dengan Lampiran Peta No. XI)

Penjelajahan Militer

Nieuw Guinea Bagian Utara.
Pada bulan Januari dan Pebruari 1913 detasemen-penjelajahan di bawah pimpinan Kapten Ten Klooster melakukan kegiatan penjelajahan wilayah pantai utara Nieuw Guinea sebelah barat sungai Tor ( lihat peta di hal. 83 tahun edisi 1912).
Dari hasil kegiatan penjelajahan tersebut ternyata bahwa di seluruh wilayah pantai utara tersebut tak terdapat sungai yang bermuara di sana dengan arus air demikian besar sehingga dapat disangka bagian hulu sungainya adalah sungai Keerom. Dari kenyataan ini dapat diambil konklusi bahwa sungai tersebut yang bermuara di pantai utara bukan sungai yang berdiri sendiri.
Sungai –sungai utama yang bermuara di sebelah barat tanjung Sarmi – lihat peta No. 1 edisi tahun 1912- ddengan urutan dari timur ke barat adalah: sungai-sungai Wainatoem, Verkam, Berdowi, Aroeswar (Arsoewar?), Waimoewar, Apauwar dan Matabori. Yang bermuara di sebelah timur dekat tanjung Sarmi adalah sungai Ore dan Wiske (Waske atau Nowki).
Sungai-sungai Tor dan Apanwar berfungsi sebagai penyaluran bagi daerah pegunungan Gauthier, sedangkan sungai-sungai yang lain bersumber di dataran tinggi di bagian utara pegunungan tersebut. Di daerah pesisir jaringan sungai-sungai tersebut pada musim kemarau tak ada banyak manfaatnya karena kurang terpakai sebagai alat lalu lintas. Dengan demikian di daerah pedalaman kapal perahu jangankan jarang terdapat, malah tidak pernah kelihatan. Dimana tak terdapat sungai yang dapat diarungi, penduduk setempat menggunakan getek atau gedebok pisang sebagai alat penyeberang. Sungai Tor dan sungai Apauwar biasanya dimanfaatkan oleh pemburu burung pada musim berburu (bulan April- Oktober). Sungai Apauwar merupakan jalan teroboson terutama ke daerah pegunungan Gauthier yang dapat dihampiri dari samping dengan menggunakan perahu Dayak dan cara berjalan kaki selama waktu dua hari.
Panjangnya beting di depan muarsungai Mamberamo terbentang hingga muara sungai Matabori. Menurut informsi yang diperoleh dari pemburu burung, sungai Matabori adalah hasil pertemuan berbagai aliran sungai rawa dan khusus pada waktu air pasang terbentuk oleh sebuah kali kecil, bernama Air Soeboe yang berhubungan dengan Mamberamo. Melalui kali kecil ini penduduk Papua melayarkan perahu-perahunya yang kecil. Para penduduk sekitar sungai Apauwar mengatakan kepada penjelajah bahwa mereka tidak mengenal sungai Matabori, tetapi mereka kenal anak sungai Mamberamo, yaitu sungai Siamera, dimana tinggal suatu suku dengan siapa mereka sedang bermusuhan.
Berikut adalah salah satu tulisan Kapten Ten Klooster dalam buku laporannya:
Sepanjang seluruh pesisir mulai dari Tor hingga Matabori di tepi laut terbentang suatu wilayah luas berpasir yang terpotong hanya oleh daerah perbukitan Maffin yang melintas ke laut dan suatu peningkatan tanah dekat tanjung Sarmi, sedangkan presis dibelakang kompleks Sawar-Bagej Serwar terdapat bebatuan karang dengan ketinggian 30-40 meter yang menjulang lurus ke atas dan di atas mana penduduk setempat mengurus ladangnya. Di belakang wilayah pasir tersebut terdapat suatu dataran rendah lebar yang memerlukan 1-1 ½ hari berjalan kaki untuk menjangkauinya, sedangkan bagian selatannya adalah datar bergelombang dengan bukit-bukit berlereng terjal dengan daerah rawa di bagian rendahnya. Dari lembah Tor maupun lembah Apauwar pegunungan Gauthier langsung menjulang ke atas sampai ketinggian 1000 M atau lebih tanpa daerah pebukitan sedikitpun berada di depannya.
Dari daerah pantai banyak jalur pejalan kaki menjurus ke arah selatan ke masuk ke pedalaman.
Sepanjang kawasan pantai sampai di sungai Verkam terdapat banyak pohon kelapa, sedangkan di bagian sebelah barat sebagian besar vegetasi terdiri dari pohon kasuarina dan semak-semak padat. Di atas tanah rawa yang langsung berbatasan dengan daerah ini terdapat tumbuhan seperti pohon nipah, rotan, pandanus, sedangkan rawa-rawa sago dimulai di sebelah selatan yang disusul dengan daerah hutan yang terbentang ke seluruh jurusan. Di kawasan bagian hulu sungai Apauwar ditemukan kelompok-kelompok kecil pohon cemara, sementara di bagian pemisah daerah aliran sungai Aoauwar dengan sungai Verkam banyak terdapat pohon Damar.
Satu-satu jenis buah-buahan yang tumbuh di hutan dan layak dimakan adalah buah ‘matowa’, yaitu semacam buah sebesar buah biji dengan kulit licin berwarna kuning atau merah kecokelatan; biji buahnya berwarna kuning sangat mirip biji rambutan, hanya kurang berair dan kurang manis seperti buah rambutan. Buah matowa tumbuh bersetandan terhadap pohon-pohon tinggi dan teduh dan dimakan orang Papua bersamaan dengan sago.
Penduduk setempat sejak bertahun-tahun silam telah menjalin hubungan dengan pemburu-pemburu burung dari Ternate dan Tidore dan bertempat tinggal di desa atau kampong yang layak. Mereka hidup dari bercocok tanam dan berladang dan dianggap makmur. Di daerah ini tidak terdapat bekas tanda kanibalisme.
Burung mahkota masih jarang ditemukan disini.

Nieuw Guinea Bagian Barat
Dari tanggal 24 September sampai dengan 15 Desember 1912 diselenggarakan kegiatan penjelajahan di daerah bagian selatan kawasan yang diberi julukan “Vogelkop (Kepala Burung)”, terutama bagian-bagian daerah aliran sungai Kamoendan dan daerah aliran sungai Wiriagar yang bermuara di sisi utara teluk Maccluer.
Sungai Kamoendan adalah salah satu sungai terbesar di kawasan Vogelkop; bagian hulu sungai Kamoendan disebut Aifat. Dapat dinyatakan dengan pasti bahwa sungai Waisami adalah sumber air utama bagian hulu sungai Kamoendan. Oleh karena itu panjangnya seluruh alirannya adalah 20 mil geografis. Hampir dimana-mana lebarnya sungai kurang lebih sama, yaitu 80 meter ( menurut hasil ukuran pada waktu pasang naik). Sungai ini layak dilalui kapal perahu besar sampai di Mongge
( kurang lebih 55 km lebar langit di atas muara), dan untuk kapal perahu kecil sampai di desa Samariak ( kurang lebih 20 km lebih tinggi). Di desa ini peningkatan kecepatan arus air mulai dirasakan, dan pengendapan lumpur di dasar sungai semakin berkurang dan akhirnya diganti batu kerikil. Pada ketinggian air normal kecepatan arus sungai bisa mencapai kurang lebih 2 mil di bagian hilirnya.
Sungai Kamoendan mempunyai banyak anak sungainya; yang paling utama adalah sungai Oesim di tepi kirinya (bagian timur), dan sungai Womba dan sungai Arako di tepi kanan. Bagian hulu Kamoendan sebelum menyatu dengan Womba dinamakan Aifat.
Sungai Wiriagar yang bagian hulunya disebut Aimau kurang terkenal dibanding dengan Kamoendan. Sungai Wiriagar mengalir di kawasan timur. Alurnya hampir sejajar dengan Kamoendan, lebarnya pun hampir sama, hanya kedalamannya berlainan sekali. Hanya di bagian hilir kedalaman bisa mencapai 8-10 meter pada bagian terlebar yaitu 75 meter. Satu-satunya anak sungai (tepi sebelah kiri) yang terbesar adalah sungai Wainoeni, yang menjdi tempat penyaluran air dari danau Makiri dan Tanemot.
Menurut berita yang dimuat surat kabar Soer. Hbl, maka detasemen eksplorasi pada awal bulan Juli diperkirakan akan melakukan perjalanan penjelajahan selama 1 ½ bulan yang dimulai dari Asbakin ( di pantai baratlaut, dekat T. Asi) melalui arah timur ke Wai Papero (sebelah barat T. Manganeki), kurang lebih sejajar dengan pesisir. Dengan selesainya penjelajahan tersebut maka akan berakhirnya seluruh eksplorasi militer di bagian “Vogelkop”.

Nieuw Guinea Bagian Selatan.
Sejak ikhtisar sebelumnya kami masih berhasil mendapatkan suatu peta lagi yang berskala 1:250.000 yang ditandatangani Letnan Laut J.L. Chaillet yang dibuat berdasarkan hasil penjelajahan detasemen eksplorasi di daerah aliran sungai antara sungai Noordwest dan Otakwa. Berdasarkan peta tersebut kami membuat suatu peta lampiran, yaitu No. XI berskala 1:400.000. Peta terakhir ini tidak menyebutkan nama-nama dari wali-wali kota dan dari para peneliti yang namanya akhirnya tersandung kepada puncak-puncak gunung daerah pegunungan Nassau dan pegununungan yang terletak di depannya atau dikenal juga dengan nama pegunungan Eksplorateur. Hanya lokasi dan hasil ukuran ketinggian puncak-puncak pegunungan kami catat pada peta kami. Disamping itu kami juga menambahi beberapa masukan mengenai hasil perjalanan Dr.Wollaston ke pegunungan Carstensz dan sungai Lorentz, yang terakhir ini berdasarkan peta ekspedisi Lorentz yang kedua. Kami juga menandai pada peta beberapa lokasi perkemahan dari perjalanan ekspedisi ke pegunungan Oranye.
Peta hasil ciptaan kami bukan sempurna – karena keadaan kawasan tak digambarkan secara nyata; soalnya puncak-puncak gunung dalam peta tak dilengkapi gambar-gambar indah dari daerah pegunungan sekitarnya- semua yang terliput didasarkan pengetahuan seadanya saja.
Karena alasan-alasan tersebut maka pencerminan daerah pegunungan tengah dengan deretan pegunungan di depannya tak berhasil ditampilkan sesuai kenyataan.
Yang juga tak berhasil dimasukkan ke peta yaitu vegetasi – ini juga tak tampil pada peta-peta dasar sebelumnya, sehingga terkesan tak terdapat vegetasi berupa hutan dan semak-semak padat di daerah-daerah di antara sungai-sungai maupun di kawasan-kawasan lebih tinggi yang dalam kenyataan memang demikian halnya.
Namun demikian, Peta XI dengan jelas menampilkan daerah perairan luas di sebagian dari Nieuw Guinea bagian Selatan, beserta aliran-aliran serta mata air serta sumber-sumber sungai-sungai di daerah ybs., yang sebenarnya merupakan tujuan utama pembuatan peta itu.
Pada peta hasil ciptaan Chaillet terdapat sebuah lampiran berisi penjelasan berkaitan dengan peta kami yang dibuat oleh Kapten Weyeman, Komandan Detasemen sebagai berikut.
Semua kawasan yang berhasil dipetakan merupakan tanah rawa yang luas yang meliputi daerah pesisir sampai di kaki daerah perbukitan. Hanya sebagian kawasan yaitu di dekat perbukitan terletak sedikit di atas garis permukaan air pasang dan ini terbatas saja pada daerah sekitar aliran sungai.
Daerah melampaui perbukitan adalah datar yang akan naik menjadi lebih tinggi sekitar daerah aliran sungai. Di luar kawasan ini tanah rawa muncul lagi dengan daerah pegunungan di belakangnya.
Daerah perbukitan maupun pegunungan karena lereng-lerengnya yang terjal disamping proses penyusunan bebatuan, pada umumnya sulit sekali dilalui.

SUNGAI

Banyaknya sungai di wilayah ini tak terhitung jumlahnya. Di dataran sampai ke kaki perbukitan sungai merupakan satu-satu sarana transportasi. Tetapi di bagian sebelah utara perbukitan manfaat sungai tersebut semakin berkurang karena sering terdapat pohon-pohon yang tertumbang melintasi badan sungai, atau terjadinya percepatan arus air dan penumpukan batu kerikil atau beting bebatuan/karang, disamping fenomena banjir disebabkan oleh sungai bersama anak-anaknya.
Seperti telah diketahui di daerah pegunungan suatu banjir kecil tak berarti dalam sekejap mata dapat berubah menjadi kekuatan luar biasa yang tak dapat terbendung. Seringkali terjadi seorang komandan patroli tertangkap banjir dan tak sanggup mencari jalannya kembali ke perkemahan sehingga terpaksa menunggu cukup lama tanpa bekal apapun sampai keadaan reda.
Berhubung di wilayah ini perbedaan antara musim hujan dan kemarau tipis sekali, - hujan bisa turun sepanjang tahun-, fungsi sungai sebagai sarana transportasi selama kedua musim hampir sama besar. Tetapi bila permukaan air sedang rendah akibat musim kemarau, maka arus di bagian hulu sungai menjadi kurang layak untuk dilalui kapal.
Suatu fenomena aneh dari sistem perairan sungai disini adalah pembentukan pulau-pulau kecil sebagai akibat hubungan antar sungai melalui ‘antasan-antasan”.
Hubungan antar sungai tersebut sangat berguna selama berlangsungnya kegiatan eksplorasi, karena sekali hubungan telah terjalin kegiatan eksplorasi dapat berlangsung terus tanpa ketergantungan pada kapal pelayaran tradisional detasemen yang hanya dapat berlayar di atas laut.
Suatu hubungan antar sungai di daratan seperti dimaksud di atas dimanfaatkan kapal uap seperti Kapal “Kitty” (kedalaman 1 depa, panjang 25 M) pada trayek antara Eilandenrivier dan Otakwa (jarak kurang lebih 500 km); terdapat kemungkinan besar hubungan tersebut dilanjutkan dari Otakwa ke arah barat.

JALANAN

Sarana jalanan di atas daratan sama sekali tak ada. Jalur alamiah pun jarang terdapat. Biasanya jalur jenis ini digunakan untuk berburu dan hanya dijumpai di wilayah dataran sepanjang tepi sungai atau menuju masuk ke hutan belukar. Dalam hal terakhir ini jalur-jalur tersebut sering berjalan buntu. Dalam daerah pegunungan jalur-jalur biasanya mengikuti arah punggung-punggung dengan jalur-jalur lintasan menuju ke sungai kecil. Manfaat jalur-jalur semacam itu sebagai sarana penghubung sangat kecil nilainya karena kurang panjang.

KAMPONG

Banyaknya kampong di daerah ini sedikit sekali jumlahnya. Di wilayah dataran semua kampong-kampong terletak di tepi sungai; tempat tinggal penduduk dibangun berderetan satu disebelah yang lain sepanjang tepi sungai dengan depannya menghadapi sungai. Hanya tanah mengelilingi tempat tinggal adalah rata.
Menurut kebiasaan kampong selalu dibangun di tempat pertemuan suatu sungai dengan salah satu anaknya. Dalam hal ini rumah juga dibangun pada tepi anak sungai ybs.
Rumah tinggal penduduk berbentuk pondok-pondok atau gubuk-gubuk yang berada di tepi sungai biasanya dibangun di atas tiang; hanya di daaerah bagian hulu tempat-tempat tinggal dibangun dengan dindingnya bersentuhan dengan tanah.
Semua rumah tinggal suku-suku yang saya kenal didirikan atas tiang. Sebagai bahan penutup bagian atasnya digunakan daun pohon palem atau daun atap; kulit pohon biasanya digunakan untuk bahan dinding.

VEGETASI

Jenis vegetasi di wilayah ini berlimpah-limpah sedemikan rupa sehingga wilayah kurang bervegetasi (yang sangat jarang) bagaikan sesuatu pengalihan yang sangat mendahsyatkan.
Wilayah kehutanan termasuk vegetasinya meliputi luas masing-masing sebagai berikut:
Mulai dari batas laut memasuki ke pedalaman sejauh 75 Km vegetasi terdiri atas: hutan rawa yang meliputi jenis rizophora dan nipah. 40 km lebih jauh ke dalam terdapat pepohonan rendah dengan vegetasi bawah tanah (nipah, pandan, pakis, sago), tetapi 15 km sepanjang tepi sungai terdapat pohon-pohon besar dengan jaringan tanaman merembet (kloewe, pisang liar, palem rotan; jenis pepohonan lain yang belum terkenal bagi saya).
Dari wilayah perbukitan terus ke wilayah luas lebar yang terletak sepanjang sungai-sungai hingga pada kaki pegunungan: kayu bermutu tinggi dan keras, kayu bakar; bambu).
Kawasan yang berbatasan dengan wilayah luas lebar tersebut adalah tanah rawa dengan vegetasi hutan rawa.
Di wilayah pegunungan: dari sudut ukuran dan mutu, mutu kayu pohon turun semakin tinggi kawasannya (pandan, pinang liar, cemara, bambu; jenis-jenis yang lain kurang saya kenal), pada ketinggian 800 M malah banyak pepohonan telah gundul dengan ukuran dibawah ketinggian 3 m, dan juga pohon semak-semak).
Pada umumnya vegetasi wilayah ini mempunyai dampak negatif terhadap jalan-jalan di wilayah bersangkutan: “kawasan perbukitan…. Kaki pegunungan” merupakan satu-satu pengecualian yang berguna asal Anda jangan terlampau jauh dari sungai-sungai.
Dalam hal Anda terpaksa harus menebangi pohon atau semak-semak untuk melintasi wilayah yang Anda ingin menerobosi maka jarak yang Anda sanggup tempuh dengan cara tersebut tidak jauh, rata-rata 6 km, sedangkan di wilayah pegunungan jarak ini akan lebih berkurang lagi.

PENDUDUK

Jumlah penduduk di wilayah ini diperkirakan tak lebih dari 4.800 jiwa, suatu angka menyedihkan bagi suatu daerah dengan luas kurang lebih 18.000 KM2. Angka tersebut dapat diperincikan sebagai berikut: Di wilayah sebelah utara sungai Noord-west penduduk dibagi antara 3 kampong dengan jumlah penghuni masing-masing 500, 300 dan 600; di wilayah sekitar sungai P.leCocq d’Armandville terdapat 3 kampong dengan jumlah penduduk masing-masing 600,200 dan 50. Di tepi sungai Vetbuik terdapat satu kampong berpenghuni 600 jiwa.; Di daerah Bloemen-rivier terdapat 4 kampong masing masing berpenghuni 400, 200, 150 dan 400 jiwa. Mata pencaharian penduduk selain berburu dan menangkap ikan, berladang yang mereka lakukan secara serampangan, disamping memungut hasil hutan.
Yang mereka memburu yaitu apa saja yang bergerak, terbang, menjalar atau merangkak. Yang bagi orang Eropa tak layak dimakan seperti anjing, tikus dan ular, bagi orang suku Kaja merupakan makanan sehari-hari.
Air sungai di wilayah ini berkelimpahan ikan , penyu, kerang, kepiting dan remis; kepiting maupun remis bagi penduduk pedalaman merupakan makanan yang lezat.
Di atas ladang jarang sekali terdapat jenis tanaman lain daripada pisang, tebuh, ubi dan ketimun dan biasanya dengan mutu yang kurang memuaskan.
Di antara hasil hutan yang digunakan penduduk setempat adalah sago, kloewe, ara liar, buah pandan dan buah nipah.
Bahwa kebanyakan orang Kaja di wilayah ini berparas sehat walafiat meskipun makanan mereka sederhana sekali adalah karena kebiasaan mereka hidup di udara terbuka, cara hidupnya teratur dan badan secara fisik sehat sejak lahir, tetapi yang paling penting ialah mata pencaharian mereka tak menuntut ketegangan fisik luar biasa.
Pelaksanaan kekuasaan seseorang secara pribadi tak terdapat di antara penduduk di pedalaman. Walaupun dalam setiap kampong biasanya terdapat satu dua orang yang sangat vokal khusus selama perbincangan atau pembicaraan suatu persoalan, namun ini tidak berarti pendapat mereka langsung mewakili aspirasi seluruh kampong. Untuk menyelesaikan suatu persoalan atau masalah maka seluruh masyarakat berkumpul mencari jalan keluar bersama-sama.

FAUNA

Dari jenis binatang berkaki empat yang hidup di wilayah ini ialah: anjing, baik babi peliharaan maupun liar, koeskoes, tikus besar dan beberapa jenis kangguru.
Jumlah spesies burung di wilayah ini sangat beragam seperti: burung kasuaris, burung tahun, burung cendrawasih, burung kakatua, burung parkit, burung merpati, burung bangau, bebek, burung pegar, ayam hutan.
Spesies binatang melata diwakili oleh buaya ( tak terhitung jumlahnya), kadal dan beragam jenis ular.
Dari keluarga serangga patut disebut kelabang raksasa, semut, tawon, lalat menyengat, merutu, nyamuk, lintah dan laba-laba sebagai penantang utama manusia di daerah rawa maupun daerah pegunungan Nieuw Guinea bagian Selatan.

TUMBUHAN

Dari jenis hasil hutan yang biasa dijumpai di Hindia Belanda tidak semuanya terdapat di wilayah ini. Umpamanya rotan dan damar tidak selalu ditemukan dalam jumlah yang besar. Rotan dari mutu yang lumayan bagus terdapat hampir dimana-mana, tetapi menurut pendapat seorang ahli rotan dari Palembang yang kebetulan menjadi anggota detasemen, mutu rotan disini sangat buruk. Jenis-jenis kayu keras dan kayu bakar dari mutu pertama sering didapati di luar daerah-daerah rawa, kurang lebih 100 km dari pantai. Seluruh kawasan hutan disini tanpa kecuali tidak meninggalkan kesan mendalam seperti halnya hutan-hutan di bagian lain di kepulauan nusantara (seperti Sumatra dan Celebes).
Saya tidak menjumpai pohon kelapa satupun di wilayah ini. Saya yakin pohon ini harus ada di sekitar daerah ini karena waktu berada di sungai Noord-west maupun di sungai Otakwa kami pernah ditawarkan buah kelapa sebagai bahan tukaran.
Pohon sago tidak dijumpai dalam jumlah yang semestinya. Mungkin karena sago tidak merupakan makanan utama orang Kaja-kaja.
Di antara flora yang tumbuh di wilayah ini jenis bunga anggrek yang paling sering ditemui. Yang seringkali dikagumi adalah bunga polong berwarna merah gelap yang terdapat dalam bentuk rangkaian berkepanjangan 1 meter yang bergantungan dari liana-liana sepanjang kawasan tepi sungai. Bloemenrivier (sungai Bunga) mendapatkan namanya dari fenomena tersebut.

MINERAL

Dari berpuluhan mineral yang ada terselubung dalam bumi wilayah ini hanya batu antrasit, dan batu bara yang saya jumpai. Mineral tersebut banyak terdapat di sungai Noord-west maupun Bloemenrivier. Salah satu anak sungai dari Noordwest rivier merupakan sumber utama penemuan batu baru sehingga anak sungai tersebut diberi nama “Steenkool-rivier” (sungai Batu Bara).
Fosil bekas kerang laut dan fosil batu karang telah dijumpai di daerah bagian hulu Bloemen-rivier pada ketinggian 100 M di atas permukaan air.

Antara 26 Januari dan 2 Maret tahun 1913 detasemen menyelenggarakan suatu perjalanan penjelajahan ke daerah aliran sungai Boven Digoel, suatu kawasan di bagian utara yang terbentang sampai perbatasan Nieuw Guinea milik Inggris dan Jerman, dan di bagian barat sampai daerah aliran sungai bagian hulu Eilanden-rivier.
Di bagian pertama tulisan ini (hal. 535) perjalanan penjelajahan tersebut telah pernah dibicarakan berdasarkan cuplikan surat dari PIONIER yang dimuat surat kabar Nieuw Rott. Courant tanggal 18 Mei. Dari buku harian Kapten Weyerman dapat diambil konklusi bahwa sungai Boven Digoel telah berhasil dilalui sampai kurang lebih 130 KM (lebar langit) ke atas dan di sebelah utara dari tempat pertemuannya dengan sungai Oewimerah, terletak perkemahan ‘Zwaluw’. Di atas sebuah bukit dengan ketinggian kurang lebih 120 M sebuah pos observasi/pantauan dibangun yang dapat menghasilkan data yang sangat berguna tentang keadaan di pegunungan berkat udara yang selalu baik. Suatu gambar sketsa dari pemandangan pegunungan tersebut juga berhasil dibuatkan.
Pos observasi tersebut terletak kurang lebih 200 M ke selatan dari tempat pos observasi sebelumnya yang didirikan tahun 1909.
Di sebelah barat puncak Juliana terlihat juga beberapa puncak dari deretan pegunungan Eilanden-rivier yang tertutup salju tebal dan gletser-gletser yang dalam keseluruhannya oleh para penduduk pedalaman disebut Sagoewone. Puncak Juliana sendiri mereka sebut Dablon, sedangkan sungai Boven Digoel dikenal sebagai Oewimboe (bukan Oewimbar, seperti telah dinyatakan pada bagian pertama).
Di hari-hari kemudian sebuah pos observasi kedua digunakan yang berlokasi di tepi anak sungai sebelah kiri pada ketinggian kurang lebih 210 M dekat sebuah kampong yang lumayan besar (5 rumah tinggal dengan 100 penghuni). Dari lokasi tersebut suatu pemandangan yang sangat luas berhasil diperoleh dan melalui pengukuran silang sejumlah besar titik-titik tambahan berhasil ditetapkan. Bahkan suatu pegunungan baru yang terletak di atas wilayah milik Inggris juga berhasil terukur pada arah 95 derajat ke Utara (magnetis).

Pada tanggal 15 Maret Kapten Weyerman ditemani Letnan Laut Chaillet melakukan perjalanan ke Oewamerah, anak-sungai di tepi kiri sungai Digoel dan sungai Inggivahke, anak sungai sebelah timur Oewamerah, dengan tujuan mencapai sungai Alice melalui suatu titik yang telah berhasil ditetapkan secara astronomis sebelumnya di tepi Inggivahke. Meskipun telah diketahui bahwa sungai Alice adalah anak sungai sebelah kanan sungai Fly, tetapi tidak banyak diketahui mengenai arah arusnya; yang juga belum diketahui apakah sungai Alice melintasi wilayah milik Inggris atau Belanda. Pada peta hasil buatan Inggris sungai Alice selalu tergambar di dalam wilayah Inggris, begitupula pada peta Nieuw Guinea hasil ciptaan Dinas Topografi yang berskala 1:1000.0000 yang disesuaikan tahun 1912. Tetapi d’Albertis yang merupakan satu-satu orang Eropa yang berhasil memberlayarkan sungai tersebut (Juli 1876) telah menetapkannya pada arah 141 derajat, yaitu di wilayah milik kami.
Pada tanggal 10 Maret perkemahan didirikan di tepi sungai Inggivahke bagian kiri (140 derajat 50’ 20” garis bujur timur dan 6 derajat 5’ 4” garis lintang selatan) darimana dimulai perjalanan di daratan ke arah timur. Perjalanan ini mula-mula melalui tanah rawa yang dalam sekali akibat permukaan air sungai yang tinggi, kemudian melalui kawasan lebih tinggi dengan tanah bergelombang di atas mana terletak sebuah kampong dengan 6 pondok yang dibangun di atas tiang. Penduduknya pada awalnya terkesan malu dan takut, tetapi tak lama kemudian berubah dan mencari pendekatan bahkan akhirnya bersedia memberi bantuan kepada anggota ekspedisi untuk perjalanan pulang. Tetapi tak lama kemudian tanah kering berubah kembali menjadi tanah rawa luas dengan pedalaman yang bervariasi antara 0.5 dan 2 meter. Perjalanan yang sulit tersebut mengambil waktu kurang lebih 5 jam dan diakhiri pada suatu kawasan bertanah kering. Dari sini perjalanan menuju ke suatu rawa yang setelah dipantau dari atas pohon tinggi ternyata tak mungkin dapat dilewati maupun dilalui karena 30 m dari tepinya permukaannya turun sebanyak 3 meter. Tetapi kendala inipun berhasil diatasi para perintis dan dalam waktu dua hari rawa berhasil dijembatani sepanjang jarak kurang lebih 1000 M. Setelah sampai di seberang rawa detasemen harus mengarungi suatu kawasan rawa lagi untuk mencapai dataran lebih tinggi dengan jalur yang menuju ke suatu kampong besar dengan 7 rumah yang dibangun di atas tiang. Berkat kesabaran dan kebijaksanaan akhirnya hubungan baik berhasil terjalin antara para penjelajah dengan penduduk kampong yang bersedia mengantar mereka ke sungai Alice yang mereka sebut Bidah. Mereka juga mengetahui bahwa ada suatu sungai lebih besar di selatan yang akan bertemu dengan Bidah. Sungai besar tersebut diberi nama Gowa.1)
Lebarnnya sungai Alice, atau Bidah, pada arus kencang terukur 80-90 meter di tempat dimana dia ditemukan pertama kali. Di bagian timur sungai Alice membelok tajam ke timur kemudian ke utara dan ke arah barat.
Karena kesehatannya terganggu Let. Chaillet terpaksa pulang pada saat penjelajahan dimulai sehingga pada saat sungai Alice ditemukan posisinya tak berhasil diukur secara astronomis. Berkat upaya observasi Kapten Weyerman dapat ditentukan dengan pasti bahwa sungai di tempat dimana dia ditemukan mengalir di wilayah milik Inggris. Beliau menulis bahwa bila posisi sungai pernah terukur lebih timur dari yang telah ditentukan pada peta topografis, maka dapat diasumsi bahwa bagian sungai sebelah utara posisi tersebut berada di sebelah timur garis batas 141 derajat.
Dalam bulan Mei suatu bagian lain dari detasemen yang dibawah pimpinan letnan Brogesius melakukan perjalanan ekspedisi di daerah sepanjang sungai Boven Digoel untuk menentukan lokasi mata air sungai tersebut. Setelah hasil penjelajahan terakhir tersebut telah siap dan diserahkan kepada kami, suatu peta lebih lengkap dari Sungai Digoel serta anak-anak sungainya secara keseluruhannya dapat disusun.

Perjalanan Ekspedisi ke Puncak Carstensz

Pemimpin ekspedisi tersebut adalah Dr. Wollaston. Beliau mengabarkan bahwa setibanya di Inggeris dia terjangkit penyakit malaria sehingga sejak lama tak dapat menjalankan tugasnya sebagai peneliti. Tetapi kini kesehatan beliau telah pulih kembali dan pada bulan Nopember y.a.d. akan siap menghadapi anggota “Royal Geographical Society” untuk memberi ceramah mengenai hasil perjalanan ekspedisi yang dipimpinnya.
Beliau berjanji mengirimkan kami salinan dari ceramahnya untuk dianalisa datanya agar yang paling menarik kelak dapat dimuat dalam majalah kami.
Kami juga berhasil memperoleh sejumlah sketsa peta hasil ciptaan Letnan Van De Water tentang perjalanan ekspedisi mulai dari Setekwa hingga dataran salju. Hanya data-data pada sketsa-sketsa tersebut yang dianggap perlu kami masukkan pula ke dalam peta No. XI disamping semua lokasi dari perkemahan yang ada di antara kedua titik tersebut disertai ketinggian posisinya masing-masing.

Tanggal 31 Agustus 1913

Tertanda.
J.J.S.
_________
Beranda

Media Text

Media Text

Profil Text

Seiring dengan berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Tegnologi (IPTEK), belahan dunia lain (terutama Negara-negara Maju) berlomba-lomba meraih Impian yang di dambakan pada setiap Negara. Belahan dunia lain masih terbelakng; hal ini melatarbelakangi dari berbagai faktor; salah satunya adalah terbatasnya layanan IPTEK terhadap masyarakat umum. Melihat segala fenomena dalam kehidupan bangsa dan negara, maka Blogspot "WAIKATO NEWS" hadir untuk mencoba mengemukakan Opini, gagasan, ide melalui tulisan dari berbagai aspek kehidupan.

 

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Visitor

Flag Counter

Music Papua

Post Populer

 

Templates by Kidox Van Waikato | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger