Studi Hubungan Internasional
lazimnya hanya berkaitan dengan hubungan antar negara beserta unsur pendukung
adanya hubungan antar negara itu sendiri, yakni kedaulatan, otonomi, perang, interest,
power, dan banyak lagi. Jika dikaji lebih lanjut, keseluruhan unsur-unsur
tersebut merupakan lambang dari maskulinitas, dimana sejatinya seorang
laki-laki identik dengan rasionalitas, kekerasan, dominasi, dan lain-lain.
Tidak sedikitpun terdapat unsur feminitas di dalamnya. Pada abad ke-20 pun
kajian dalam Hubungan Internasional tidak menyangkut pautkan feminitas dan
maskulinitas, karena hanya berfokus pada sebab-sebab terjadinya perang dan
adanya konflik, bagaimana tata cara berdiplomasi, hukum internasional, dan
terutama perdagangan yang saat ini menjadi alat perluasan globalisasi.
Menurut Rebecca Grant, teori
feminis berkembang berdampingan dengan teori HI pada abad ke-20 sejak
berakhirnya Perang Dunia I dan khususnya keberhasilan gerakan untuk menuntut
hak pilih bagi perempuan di Inggris dan Amerika Serikat (Grant, 1992. Namun pada umumnya feminisme
dianggap sebagai isu baru dan provokatif dalam teori dan praktek nyata pada
hubungan internasional. Teori feminis sebenarnya merupakan upaya untuk
mengkritisi studi yang menganggap bahwa laki-laki adalah aktor utama dan
dominan. Upaya-upaya tersebut kemudian diwujudkan dengan cara melakukan
transformasi atas tekanan struktural yang telah ada melalui penjabaran mengenai
perjuangan kaum perempuan terhadap tekanan yang selama ini mereka peroleh.
Ketika feminisme telah terlibat
dalam Hubungan Internasional, maka perihal yang terkait dengan maskulinitas
mulai berubah, dalam artian tidak hanya laki-laki saja yang berperan penting
melainkan juga kaum perempuan. Feminisme yang saat ini mulai berkiprah dalam
hubungan internasional merupakan bagian dari ‘Warisan Pencerahan Eropa’ dan
sebagai imbas dari adanya upaya universalisasi emansipasi, kebenaran, dan
rasionalitas, meskipun hal tersebut dianggap sebagai suatu bentuk perlawanan
(Spivak, 1992).
Dalam kajian feminisme, banyak
terdapat kontradiksi dan teori-teori yang tumpang tindih mengenai bagaimana
posisi, kajian, serta praktek dari teori-teori feminisme. Sehingga muncul
variasi feminisme, seperti feminisme konservatif, feminisme liberal, feminisme
marxis, feminisme sosial, dan banyak lagi dalam studi HI. Oleh karena itulah
para feminis berpendapat bahwa studi HI masih berkaitan dengan problematika
feminisme. Hal ini juga didukung dengan adanya praktek pemisahan gender dan
realitas hierarki gender, dimana perempuan dan kaum feminis diabaikan dari
ragam teori yang berkembang dalam Hubungan Internasional. Selama ini, kehidupan
dan pengalaman perempuan tidak pernah diteliti lebih jauh secara empiris dalam
konteks politik internasional, sehingga seolah-olah pengalaman dan kehidupan
perempuan tidak lagi dibutuhkan dan ilmuan perempuan dalam studi HI tidak
diakui eksistensinya. Jika dikaji lebih jauh, gender merupakan sebuah variabel
dan suatu konstitusi teoritis yang mampu membuat politik internasional
mengalami kerugian karena mengabaikan perspektif feminis.
Kajian mengenai feminisme tentu
saja diiringi dengan kajian mengenai gender karena kedua hal tersebut masih
saling berhubungan. Gender memiliki batasan-batasan tentang maskulinitas dan
feminitas, dimana maskulinitas menjadi hegemon sedangkan feminitas tidak diakui
keberadaan dan kontribusinya. Dengan demikian, lantas kaum feminis mencoba
menghilangkan kekuatan gender dan konstruksi dari dominasi dengan menciptakan
gerakan feminisme masing-masing. Mereka menekankan bahwa sebenarnya perspektif
feminisme dalam HI justru dapat memberikan kontribusi yang besar, terutama ‘dalam
batas’ politik internasional dan perspektif feminisme justru mempermudah dalam
menjalankan hubungan antar negara. Dengan segala pengetahuannya, perempuan
lebih mampu bersikap netral dan kritis, tidak terlibat atau dibutakan oleh
hubungan institusi dan kekuasaan (Syvester, 1994).
Namun Sandra Whitworth dan
Catherine Hoskyns mengamati adanya perubahan mengenai relasi gender, yakni
persamaan perempuan dan laki-laki dalam lingkup pekerjaan. Dan Maria Mies
menggambarkan secara jelas bahwa perempuan memiliki persamaan dengan negara
jajahan dan sumber daya alam, dimana eksploitasi sistematis dilakukan atas
ketiganya sebagai sumber yang dapat dihabiskan oleh laki-laki dan negara
kapitalis Dunia Pertama (Mies, 1986). Masuknya gender dan feminisme
dalam ranah hubungan internasional tidak dapat dikesampingkan begitu saja,
sebab kedua hal tersebut mempengaruhi pandangan tentang negara. Kaum realis dan
liberal menganggap bahwa laki-laki dan negara adalah eksklusif satu sama lain
dan mandiri, namun pada kenyataannya politik kekuasaan telah tergenderkan
hingga membentuk sebagian pemahaman bahwa politik dunia bergantung pada aktor
politik rasional laki-laki dan dikeluarkannya perempuan (True, 2001). Sedangkan
disisi lain, menurut para analis feminis, ‘negara yang baik’ dan masyarakat
internasional harus mengakui hak asasi perempuan dalam berbagai konteks,
termasuk dalam konteks hubungan diplomatik antar negara hingga konteks pasar
bebas dalam perdagangan internasional.
Pada akhirnya, perempuan turut
berperan penting dalam gerakan-gerakan kritik sosial, pengorganisasian
perdamaian, keadilan bagi lingkungan, bahkan dalam perjuangn kebebasan bagi
perempuan secara transnasional. Peranan penting yang dimiliki kaum perempuan
tersebut dapat dibuktikan, beberapa diantaranya adalah dengan adanya gerakan
hak pilih perempuan, puluhan konferensi PBB yang mengumpulkan berbagai instansi
pemerintah serta non-governmental organization (NGO) untuk mendiskusikan
dan merencanakan strategi dalam mendukung hak-hak perempuan, serta adanya
jaringan regional untuk pembangunan berkelanjutan pasca-kolonial. Para aktifis
perempuan pun memberi kontribusi besar sebagai kekuatan gerakan perdamaian di
wilayah konflik di seluruh dunia (True, 2001).
Studi HI lantas membahas lebih
lanjut mengenai signifikansi kaum feminis. Dalam pembahasan tersebut,
perempuan diartikan sebagai suatu kelompok identitas, sedangkan gender
merupakan sebuah unit analisis. Feminis lalu menjelaskan ulang mengenai
abstraksi kedaulatan laki-laki dan negara, serta membuka kesempatan untuk
mengemukakan teori-teori tentang status perempuan dalam perpolitikan dunia.
Dalam hal ini, perspektif feminis posmodernis dan perspektif feminis modern
memiliki peranan yang besar. Perspektif feminis posmodernis menyatakan bahwa
perbedaan gender masih berkaitan dengan pengetahuan politik, bagaimana dan di
posisi seperti apa kaum perempuan dapat mengetahui sesuatu. Jika teori yang
dicetuskan perspektif feminis posmodernis merunutkan gender sebagai suatu alat
analisis yang berkaitan dengan kekuasaan patriarkal dan ekslusifitas diri, maka
lain halnya dengan teori feminis modern yang menciptakan kategori gender untuk
menjabarkan bagaimana konstruksi sosial mengenai tekanan terhadap perempuan.
Pada intinya, feminis secara
konsisten mengamati adanya ketidaknyamanan dalam proses perubahan dan
dekonstruksi tatanan dunia termasuk pada tatanan patriarkal, sehingga mereka
melakukan berbagai upaya untuk menunjukkan eksistensinya dan menunjukkan bahwa
kaum perempuan juga dapat berperan penting dalam ranah hubungan internasional
yang pada awalnya substansi dalam hubungan internasional itu hanya berupa
hal-hal yang terkait dengan maskulinitas.
Reference (s):
True, Jacqui, 2001. Feminism, in;
Scott Burchill, et al, Theories of International Relations, Palgrave,
pp. 231-276.
R.Grant, ‘The Quagmire of Gender
and International Security’, dalam V.S. Peterson (Ed.), Gendered States
(Boulder: 1992), hal. 86.
G. Spivak, ‘French Feminism
Revisited: Ethnics and Politics’, dalam J. Scott dan J. Butler, eds., Feminist
Theorize the Political (New York: 1992), hal. 57.
Syvester, 1994, hal. 31;RO.
Keohane, ‘International Relations Theory: Contribution of a Feminist
Standpoint’, Millenium, 18, 2, 1989, hal. 245
Mies, 1986, 1988
0 komentar:
Posting Komentar